Di ujung Sulawesi Tengah, ada satu kabupaten yang terkenal dengan keindahan lautnya, pantai, dan gugusan pulau yang memesona. Daerah itu bernama Banggai Kepulauan (Bangkep). Selain beken dengan lautnya yang eksotis, Bangkep juga populer dengan ubinya yang khas. Namanya ubi banggai (Dioscorea).
Ubi satu ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bangkep. Selain dimanfaatkan sebagai makanan pokok, spesies endemik dari Kabupaten Banggai, ini juga berkait erat dengan tradisi masyarakat asli di sana. Ubi ini termasuk tanaman langka karena hanya bisa dijumpai di Pulai Banggai. Di pulau ini, masyarakat membudidayakannya dengan baik. Meminjam data 2009, Bangkep memproduksi hampir 9.000 ton ubi banggai. Dan ubi banggai ini banyak terdapat di Kecamatan Banggai dan Lainang.
Bentuknya mirip dengan ubi jalar dan ubi kayu. Rasanya seperti percampuran antara ubi jalar degan singkong. Tapi ukurannya tergolong besar. Ubi ini bisa dinikmati dengan cara digoreng, direbus, atau dijadikan cemilan. Bisa juga diolah menjadi tepung. Dan tepungnya bisa diolah menjadi kue, brownis, dan panganan lain, seperti payot, yang merupakan kuliner khas dari Bangkep. Panganan khas ini biasa dijumpai pada acara ritual tradisi Banggai.
Ubi banggai tumbuh dengan menjalar. Batangnya menjalar ke atas, tidak seperti ubi rambat yang merambat di atas tanah. Sehingga para petani harus mendirikan cabang-cabang kayu hutan sebagai media membelit (lanjaran) batang ubi ke atas. Sama seperti ubi lain, umbi dari ubi banggai tersembunyi di dalam tanah. Untuk menanamnya, penduduk menggunakan bejik, sejenis tongkat kayu yang ujungnya diruncingkan, guna mengorek tanah sebelum benih ubi banggai ditanam.
Purnomo, dari Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada (2010), pernah meneliti pemanfaatan Dioscorea, sp oleh Masyarakat Luwuk dan Banggai Sulawesi Tengah dengan telaah etnobotani. Hasil penelitiannya dimuat dalam prosiding Seminar Biologi UGM yang diketuai Dr Suwarno Hadisusanto. Dalam prosiding itu, Purnomo menulis Dioscorea sp digunakan sebagai makanan basis karbohidrat bagi penduduk Banggai dan Luwuk. Di dua kabupaten itu dihuni tiga suku, yakni suku Banggai (Bangkep), Saloan (Luwuk), dan Balantak (Luwuk).
Di dua kabupaten ini ada juga umbi-umbian lain, seperti ubi opa atau dolungun, ubi hutan, ubi alas, dan ubi gadung. Namun hanya ubi banggai yang dijadikan sebagai makanan pokok oleh penduduk di dua kabupaten tersebut. Sedangkan opa dimanfaatkan sebagai sayuran, dan ubi hutan maupun gadung dipakai sebagai obat-obatan tradisional.
Secara morfologi, tulis Purnomo, ubi banggai mirip dengan ubi jawa namun berbeda dalam hal ukuran daun yang relatif lebih kecil, jarak toreh pangkal daun tinggi, batang tanaman lebih kecil dan pendek. Warna daun dan pola batang memiliki pola warna hijau dan pucat. Bentuk umbi dibandingkan dengan umbi dari Jawa, memiliki permukaan lebih halus namun lebih padat.
Menurut Purnomo, secara historis ubi banggai dibawa oleh keluarga Raja Ternate yang terusir. Raja ini migrasi ke Banggai Kepulauan dan menjadi penguasa di sana. Karena jenis tanah di Bangkep berupa lempung berpasir, khususnya di Tomini dan Peling Barat, maka tanaman yang cocok tumbuh adalah umbi-umbian. Tak heran, mata pencarian penduduk setempat umumnya menanam kelapa, sayur, buah serta budidaya umbi-umbian secara tradisional. Kebiasaan menikmati umbi di Ternate tetap dibawa ke Bangkep oleh keluarga raja.
Pada zaman Kerajaan Banggai, ubi ditanam dengan ritual yang dinamakan Bapidok. Ubi bangkep ditanam di lahan miring dan usia idealnya adalah 6 bulan bisa dipanen. Hasil panen pada umumnya dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri. Kelebihannya baru dijual ke pasar tradisional di Bangkep atau di wilayah lain seperti pasar tradisional Luwuk. Pasar tradisional yang banyak memperdagangkan ubi bangkep ada di Kecamatan Toli, Bamtui, Kintom, Luwuk, Mendono, dan Buwon. (K-DH)