Indonesia.go.id - Membenahi Tata Kelola Sampah Nasional

Membenahi Tata Kelola Sampah Nasional

  • Administrator
  • Selasa, 23 Februari 2021 | 12:12 WIB
LINGKUNGAN HIDUP
  Petugas menyemprotkan cairan Eco-Enzyme saat peringatan Hari Peduli Sampah Nasional di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, Denpasar, Bali, Minggu (21/2/2021). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Pemerintah pusat telah memperkuat komitmen dan peran aktif dari seluruh lapisan, termasuk pemerintah daerah dalam melaksanakan pengelolaan sampah dan menjadikan sampah sebagai bahan baku ekonomi.

Sampah adalah masalah bagi setiap orang, karena selalu dihasilkan setiap harinya dan sepanjang tahun. Bank Dunia dalam sebuah laporannya medio September 2019 melansir data mengenai produksi sampah global. Lembaga keuangan internasional tersebut mengklaim bahwa pada 2016 terdapat 2,01 miliar ton sampah menumpuk di dunia.

Jika melihat dari laju pertumbuhan penduduk Bumi, terutama pertumbuhan urbanisasi hingga 70 persen, maka menurut prediksi lembaga yang berpusat di Washington DC, Amerika Serikat itu, pada 2050 timbalan sampah akan mencapai 3,4 miliar ton.

Bagi negara-negara maju, sampah sudah menjadi bagian penting dari sebuah industri pengelolaan dan pemanfaatan kembali. Namun tidak demikian dengan negara-negara berkembang, di mana masih mengalami kesulitan dalam penanganan permasalahan sampah.

Anggaran pengelolaan sampah di tiap negara, menurut Bank Dunia, bisa mencapai 20-50 persen dari total biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui bahwa pada 2020 total produksi sampah nasional telah mencapai 67,8 juta ton. Artinya, ada sekitar 185.753 ton sampah setiap harinya dihasilkan oleh 270 juta penduduk. Atau setiap penduduk memproduksi sekitar 0,68 kilogram sampah per hari.

Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2018 saja, produksi sampah nasional sudah mencapai 64 juta ton dari 267 juta penduduk. Sampah-sampah tadi pada akhirnya berkontribusi besar menambah makin menggunungnya timbunan di tempat-tempat pembuangan akhir (TPA).

Timbunan sampah yang menggunung itu, selain menimbulkan pencemaran lingkungan, juga menambah produksi gas metana dari sampah. Kasus ledakan gas metana di gunungan sampah TPA Cireundeu, Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Januari 2005 telah membuka mata banyak pihak. Terutama soal bagaimana tata kelola sampah semestinya dilakukan.

Bukan saja karena telah memicu terjadinya longsor di Kampung Cilimus dan Kampung Pojok, ledakan metana itu juga mengakibatkan 157 orang kehilangan nyawa. Mereka umumnya adalah para warga, tak sedikit dari mereka berprofesi pemulung, salah satu pengurai sampah paling berjasa.

Sejak peristiwa itu, seluruh pemangku kepentingan dalam penanganan sampah pun mencari cara untuk terus mengurai sampah-sampah. Karena pemandangan gunungan sampah belasan meter tingginya itu bukan hanya milik TPA Cireundeu, melainkan hampir terjadi di TPA seluruh Indonesia. Termasuk di Bantargebang Bekasi. TPA Bantargebang merupakan yang terbesar di tanah air sebagai penampung mayoritas dari 8.000 ton produksi sampah milik warga Jakarta setiap hari.

Momentum di Leuwigajah itu juga dijadikan oleh KLHK sebagai Hari Penanganan Sampah Nasional (HPSN) setahun setelahnya. Lima belas tahun setelah pencanangan HPSN, beragam cara masih terus dilakukan untuk membenahi tata kelola sampah nasional. Mulai dari mendaur ulang sampah menjadi sumber pembangkit listrik, memproduksi kembali sampah-sampah berbahan dasar daur ulang, hingga kampanye nasional pengurangan pemakaian kantung plastik untuk pembungkus saat berbelanja alias diet plastik. 

 

Tingkatkan Daur Ulang

Namun, kondisi itu belum mampu mengurangi jumlah sampah nasional karena faktanya penimbunan sampah baik dengan pola open dumping serta landfill masih berkontribusi sebesar 69 persen dari pola pengelolaan sampah. Kepala Sub Direktorat Barang dan Kemasan, Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK Ujang Solihin Sidik pun mengakui bahwa pengelolaan sampah di Indonesia belum optimal.

Menurut Ujang Solihin, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, kapasitas pengelolaan sampahnya rata-rata di bawah 50 persen, kecuali di kota-kota besar, sudah 70-80 persen. Namun, polanya belum juga berubah, masih terpaku pada pola lama, katanya, dalam jumpa pers daring terkait Peringatan HPSN 2021, Kamis (18/2/2021).

Pola lama itu adalah kumpul-angkut-buang, alias pola linear. Itu membuktikan pola pengelolaan sampah di Indonesia sudah ketinggalan zaman. Pola terkini semestinya mengadopsi konsep ekonomi sirkular, yakni memanfaatkan nilai ekonomi sampah secara maksimal dengan menerapkan reduce, reuse, recycle (3R).

Meski diakui belum berubah, ia menyebut sudah ada pergerakan dalam adopsi pola sirkular, terutama lima tahun terakhir. Memaksimalkan sistem formal dalam pengelolaan sampah sudah mendesak untuk dilakukan, misalnya lewat daur ulang dan bank sampah.

Ketua Kajian Ekonomi Lingkungan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Alin Halimatussadiah menyebutkan, pemulung memberi kontribusi besar untuk industri pengelolaan sampah sebagai bisnis informal. Peran mereka disebutkan mencapai 80 persen, meski pekerjaannya masih dipandang sebelah mata.

Namun, keberadaan para pemulung belum mampu untuk meningkatkan angka pengumpulan sampah di Indonesia. Data statistik menyebutkan collection rate sampah di Indonesia kurang dari 40 persen, di bawah negara-negara Asia Tengah dan Pasifik yang rata-rata sudah 70 persen.

Masalah kedua terkait pengelolaan sampah di Indonesia adalah masih rendahnya daya serap dari kegiatan daur ulang. Kementerian LHK menyebut angka itu baru berkisar 11 persen. Bandingkan dengan Korea Selatan yang mencapai 50 persen dari total produksi sampah nasional mereka atau masih lebih rendah dari Kolombia (20 persen).

 

Bank Sampah

Aktivitas memilah sampah memang masih belum membudaya di masyarakat Indonesia. Karena itu pemerintah pusat pun memperkuat komitmen dan peran aktif pemerintah daerah dalam melaksanakan pengelolaan sampah, termasuk menjadikan sampah sebagai bahan baku ekonomi. Demikian dikatakan Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun KLHK Rosa Vivien Ratnawati dalam webinar menyambut HPSN 2021 di Jakarta, Kamis (18/2/2021).

Sebanyak 60 persen dari produksi sampah nasional berasal dari limbah rumah tangga. Karenanya, harus ada pengelolaan yang baik di rumah tangga. Salah satu solusinya adalah dengan bank sampah. "Kita juga akan mendorong partisipasi publik untuk ikut memilah sampah dan memperkuat program bank sampah," kata Rosa.

Sejauh ini KLHK mencatat bahwa kegiatan bank sampah baru berkontribusi sebesar 1,7 persen terhadap penanganan sampah nasional melalui lebih dari 10 ribu bank sampah. Meski kontribusi bank sampah dalam industri daur ulang juga masih rendah, perannya dalam mengedukasi masyarakat akan pengelolaan sampah juga tidak boleh dianggap enteng. 

Pengelolaan bank sampah dilakukan oleh masyarakat baik secara mandiri, menggandeng pemerintah daerah atau bersama korporasi dengan skema tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Salah satu contohnya dilakukan Pemerintah DKI Jakarta melalui Peraturan Gubernur nomor 77 tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkungan Rukun Warga (RW). "Di Jakarta Timur saat ini terdapat 428 RW dari 710 RW dengan bank sampah aktif," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Timur, Herwansyah.

Begitu pula dengan PT Unilever Indonesia, Tbk yang menghimpun sekitar 4.000 bank sampah aktif di tanah air melalui Yayasan Unilever Indonesia (YUI). Bank sampah pertama yang dibantu pendiriannya oleh YUI terjadi pada 2008 dan berkembang pesat hingga saat ini. Melalui YUI, disusun juga pedoman mengenai pengelolaan bank sampah dalam bentuk buku panduan elektronik.

"Tahun 2008 menjadi penanda bagi kami untuk memulai program terkait pengumpulan sampah dan salah satunya adalah bank sampah," kata Head of Corporate Affairs and Sustainability Unilever Indonesia, Nurdiana Darus.

Dalam kurun 10 tahun sejak 2008 hingga 2018 saja, YUI bersama mitra bank sampah binaan mereka berhasil mereduksi sampah ke TPA sebesar 7.779 ton. Angka itu juga melonjak saat 11 bulan fase pandemi berlangsung dimana sebanyak 13 ribu ton sampah mampu dijaring untuk diolah kembali oleh 4.000 bank sampah binaan YUI.

Upaya untuk berperang melawan peningkatan jumlah sampah sudah semestinya sama besarnya dengan upaya menghadapi virus corona. Namun, tentunya harus ada kesamaan visi dan niat dari segenap pemangku kepentingan agar timbunan sampah tidak semakin meninggi dan menjadi beban bagi anak cucu di kemudian hari. Selamat Hari Penanganan Sampah Nasional. 

 

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari