Indonesia.go.id - Sinergi Nasional untuk Pemajuan Kebudayaan dan Kesejahteraan Pelaku Seni 2025

Sinergi Nasional untuk Pemajuan Kebudayaan dan Kesejahteraan Pelaku Seni 2025

  • Administrator
  • Kamis, 13 November 2025 | 13:53 WIB
SEBI BUDAYA INDONESIA
  Acara bertajuk Bakti Negeri untuk Pelaku Seni dan Budaya 2025 itu diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Penguatan Karakter dan Jati Diri Bangsa Kemenko PMK bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. (Foto InfoPublik/Andrea F)
Amanat Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia.

Embusan angin sejuk pagi mengiringi suara gamelan yang bergema lembut di halaman Gedung Sate, Jalan Diponegoro Nomor 22, Kota Bandung. Puluhan pelaku seni dari berbagai daerah di Jawa Barat tampak berbaris rapi, membawa alat musik dan kostum tradisional, Jumat (7/11/2025).

Wajah-wajah mereka memancarkan kebanggaan. Di tengah deru aktivitas pagi, sebuah pesan besar lahir dari pelataran bersejarah ini: "kebudayaan adalah fondasi pembangunan manusia dan kesejahteraan bangsa."

Acara bertajuk “Bakti Negeri untuk Pelaku Seni dan Budaya 2025” itu diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Kegiatan tersebut menjadi momentum bersejarah bagi para pelaku seni budaya, terutama mereka yang berasal dari kalangan disabilitas dan tenaga kerja informal.

Sejak pagi, area Gedung Sate telah dipadati oleh ratusan peserta yang datang dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Barat. Mereka mengenakan pakaian adat, membawa alat musik, serta karya seni hasil kreasi lokal masing-masing.

Sebelum acara resmi dimulai, panggung utama menampilkan suguhan kesenian khas Jawa Barat, mulai dari tari jaipong hingga rampak kendang yang energik. Penampilan itu dibawakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, seolah menjadi salam pembuka bagi para tamu kehormatan yang hadir.

Di antara barisan kursi tamu, terlihat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon, serta Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.

Ketiganya datang dengan wajah ramah dan langkah ringan, menyapa peserta satu per satu. Dalam pandangan mata mereka, terlihat kehangatan dan kepedulian yang sama: mengangkat martabat pelaku seni sebagai garda depan kebudayaan bangsa.

Udara Bandung pagi itu terasa berbeda. Tidak hanya aroma kopi dari tenda UMKM yang tercium, tapi juga semangat dari ribuan jiwa yang berkumpul untuk satu tujuan membangun kebudayaan yang menyejahterakan.

Di panggung utama, pembawa acara mempersilakan Gubernur Jawa Barat untuk memberikan sambutan. Suasana seketika hening.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melangkah ke podium berseragam putih dengan ciri khas ikat kepala putih disebut totopong budaya Sunda . Suaranya tenang namun tegas, menyapa hadirin dengan sapaan khas Sunda, “Sampurasun!” yang langsung dijawab serentak, “Rampes!”

Dalam sambutannya, Gubernur Dedi menjelaskan bagaimana Pemerintah Provinsi Jawa Barat berkomitmen melindungi pelaku seni dan pekerja informal melalui program asuransi sosial.  “Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah memberikan asuransi ketenagakerjaan kepada satu juta tenaga kerja informal, termasuk para seniman,” ujar Dedi. “Kami ingin memastikan bahwa mereka yang bekerja di sektor kreatif dan kebudayaan mendapatkan perlindungan sosial yang layak.”

Ucapan itu disambut tepuk tangan panjang. Di barisan depan, beberapa pelaku seni disabilitas tampak tersenyum haru.

Tak berhenti di situ, Gubernur Dedi juga menyinggung kebijakan efisiensi anggaran yang akan diterapkan mulai November 2025. Ia menegaskan bahwa meski efisiensi dilakukan, pembangunan dasar tetap menjadi prioritas.  “Mulai November ini, kami berlakukan sistem kerja Work From Home (WFH) bagi pegawai non-pelayanan. Tujuannya bukan untuk mengurangi produktivitas, tapi agar anggaran bisa dialihkan untuk pembangunan jalan, sekolah, dan infrastruktur dasar yang harus tuntas pada 2027,” jelasnya.

Ia menyampaikan bahwa meskipun pemerintah provinsi tengah menghadapi penurunan daya dukung fiskal, pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, sekolah, irigasi, dan penerangan jalan umum akan terus dikebut. “Pemerintah Jawa Barat harus mampu membuktikan bahwa keterbatasan anggaran bukan alasan untuk berhenti melayani rakyat,” ujar Dedi.

Selain berbicara soal kebijakan fiskal, Gubernur Dedi Mulyadi  juga mengumumkan rencana pengembangan infrastruktur transportasi berbasis ekonomi kerakyatan.

Ia menyebutkan tiga rencana proyek kereta baru hasil diskusi dengan Direktur Utama PT KAI: Kereta Tani “Mukti Tani”, Kereta Cepat “Kilat Pajajaran” (Jakarta–Banjar), dan Kereta Wisata “Jaka Lalana” (Jakarta–Cianjur).  “Transportasi bukan hanya soal mobilitas, tapi juga ekonomi rakyat. “Kami ingin hasil panen bisa diangkut cepat, wisatawan bisa datang lebih mudah, dan para pekerja budaya bisa lebih leluasa berkarya,” imbuh Gubernur Jabar dengan wajah semringah.

Sambutan Dedi pagi itu terasa seperti pengantar bagi seluruh tema acara. Ia tidak hanya berbicara sebagai kepala daerah, tapi sebagai budayawan yang memahami bahwa kemajuan manusia dimulai dari nilai dan karya.

Setelah Gubernur Dedi Mulyadi menutup sambutannya dengan pesan inspiratif tentang pentingnya karakter dan jati diri budaya Sunda, hadirin berdiri memberi tepuk tangan panjang. Di udara terasa semangat kebersamaan yang kental—semangat yang mengikat pemerintah dan masyarakat dalam satu napas: gotong royong memajukan budaya.

Pemajuan Kebudayaan

Suasana menjadi semakin hangat ketika Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, dipersilakan naik ke podium. Dengan tenang ia menyapa hadirin dari berbagai kalangan: pelaku seni, pejabat daerah, mahasiswa, hingga penyandang disabilitas yang duduk di barisan depan. “Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan, Rahayu, dan tentu saja  Sampurasun!” sapa Fadli yang langsung disambut teriakan “Rampes!” dari seluruh peserta.

Dalam pidatonya, Fadli Zon menegaskan kembali amanat Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Ini bukan sekadar pasal, tapi mandat moral dan jati diri bangsa,” tegasnya.

Ia menjelaskan, hingga 2025 Indonesia telah memiliki lebih dari 2.200 Warisan Budaya Takbenda (WBTb) yang tercatat secara nasional. Tahun ini, akan ditambahkan sekitar 550 warisan budaya baru, di mana 60 di antaranya berasal dari Jawa Barat.

Namun, lanjutnya, dari jumlah tersebut baru 16 warisan budaya yang tercatat di UNESCO, di antaranya angklung, batik, jamu, pencak silat, gamelan, dan kebaya. “Ini baru permulaan,” ujarnya. “Kita masih punya ribuan warisan budaya lain yang menunggu diakui dunia.”

Menurut Fadli Zon, pengakuan internasional bukan sekadar kebanggaan, tetapi peluang besar untuk menjadikan budaya sebagai kekuatan ekonomi dan diplomasi. 

Ia mencontohkan Amerika Serikat dengan Hollywood, India dengan Bollywood, dan Korea Selatan dengan Hallyu Wave semuanya menggunakan budaya sebagai soft power untuk memperkuat posisi negara di dunia. “Indonesia juga bisa,” katanya penuh semangat. “Kita punya modal besar: keragaman budaya, kreativitas anak muda, dan pasar yang luas. Sekarang saatnya menjadikan budaya bukan hanya warisan, tapi sumber kesejahteraan.”

Fadli Zon kemudian memperkenalkan konsep Cultural and Creative Industries (CCI) atau Industri Budaya dan Kreatif, sebagai paradigma baru pembangunan ekonomi berbasis kebudayaan. “Budaya itu bukan beban anggaran, budaya adalah mesin pertumbuhan ekonomi,” ujarnya disambut tepuk tangan meriah. “Kita ingin budaya menjadi engine of growth, penggerak ekonomi nasional berbasis nilai dan kreativitas.”

Ia juga menyinggung berbagai program strategis yang dijalankan Kementerian Kebudayaan: mulai dari Gerakan Seniman Masuk Sekolah, Program Maestro Seni, hingga Dana Indonesiana yang dikelola bersama LPDP untuk mendukung 2.800 komunitas budaya dengan total bantuan mencapai Rp465 miliar tahun ini. "Kami ingin memastikan pelaku budaya, termasuk mereka yang berkarya di daerah dan komunitas kecil, mendapat dukungan negara. Karena dari mereka lah kebudayaan hidup,” ujar Fadli dengan nada penuh empati.

Pidato Fadli meneguhkan keyakinan bahwa kebudayaan bukan sekadar simbol masa lalu, melainkan fondasi masa depan. Di tengah arus globalisasi yang serba cepat, budaya menjadi jangkar yang meneguhkan identitas bangsa.

Setelah memberikan sambutan, Fadli turun dari podium. Ia menghampiri beberapa pelaku seni disabilitas yang sedang memamerkan karya mereka di sisi panggung. Salah seorang di antaranya, Anggi, tersenyum lebar ketika Menteri memberikan semangat dan menepuk lembut bahunya. “Kamu adalah bagian penting dari kebudayaan Indonesia,” katanya hangat.

Usai sambutan penuh semangat dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon, suasana Gedung Sate kembali bergemuruh oleh tepuk tangan dan alunan musik angklung. Namun kehangatan belum berhenti di situ. Pemandu acara kemudian mempersilakan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pratikno, untuk naik ke panggung.

Negara Hadir

Dengan senyum ramah dan langkah tenang, Menko PMK Pratikno menyapa hadirin. Ia berdiri tegap di depan podium, menatap deretan pelaku seni yang duduk rapi di barisan depan, termasuk mereka yang berkursi roda atau mengenakan tongkat bantu. 

Ia mengawali sambutannya dengan refleksi yang mendalam. “Kita sering bicara tentang pembangunan manusia dan kebudayaan sebagai dua hal yang berbeda, padahal keduanya adalah satu napas. Kebudayaan adalah jiwa pembangunan manusia,” ujar Pratikno.

Menurutnya, pembangunan manusia tanpa akar budaya ibarat pohon tinggi tanpa akar mudah tumbang oleh angin perubahan. Sebaliknya, budaya tanpa kemajuan manusia hanya akan menjadi artefak. “Kita harus menjulang tinggi, tapi juga berakar kuat,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Pratikno memberikan apresiasi tinggi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dinilai menjadi pelopor dalam kebijakan kesejahteraan bagi pelaku seni dan pekerja informal. “Jawa Barat adalah provinsi pertama yang mengalokasikan anggaran cukup besar untuk jaminan sosial pekerja informal, termasuk pelaku seni budaya,” katanya disambut tepuk tangan meriah.

Kebijakan tersebut, lanjutnya, merupakan contoh nyata dari sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam memastikan perlindungan sosial bagi mereka yang selama ini bekerja di sektor informal  sektor yang sering luput dari jaring pengaman sosial konvensional.  “Ini bukan sekadar bantuan, tapi pengakuan atas kerja keras dan kontribusi pelaku budaya bagi bangsa. Mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga menjaga identitas kita sebagai bangsa,” ujar Pratikno.

Menko PMK juga menyoroti pentingnya menjadikan seni dan budaya sebagai medium untuk menyebarkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Ia menceritakan pengalamannya menghadiri Festival Anak Nasional, di mana anak-anak dari berbagai daerah tampil memainkan wayang, tari, dan musik tradisional. “Wayang bukan hanya hiburan, tetapi pendidikan karakter,” katanya penuh makna.

Selanjutnya, Pratikno menyampaikan rasa bangganya kepada Kementerian Kebudayaan di bawah kepemimpinan Fadli Zon, yang terus berinovasi memperluas akses dan dukungan bagi komunitas seni di seluruh Indonesia. “Saya sering bilang, Pak Fadli ini orang paling beruntung. Hobinya dijalani sebagai pekerjaan, dan dibiayai negara,” ujarnya disambut tawa hangat audiens.

Setelah sambutan singkat namun sarat makna itu, acara berlanjut ke momen yang paling menyentuh hati penyerahan simbolis bantuan alat bantu dan santunan sosial bagi pelaku seni dan budaya disabilitas.

Satu per satu nama dipanggil oleh pembawa acara. Pratikno turun dari podium, didampingi oleh Fadli Zon dan Gubernur Dedi Mulyadi. Mereka bertiga berdiri sejajar, siap menyerahkan bantuan secara simbolis kepada penerima.

Yang pertama dipanggil adalah Mawar, seorang penari disabilitas yang telah lama aktif dalam komunitas tari inklusif Bandung. Ia menerima kursi roda elektrik (CP Anak), diserahkan langsung oleh Menko PMK. “Terima kasih, Pak Menteri,” ucap Mawar haru sambil menundukkan kepala.

Berikutnya, Syafiq Zaidatul Arzad Fadiyah, seorang seniman teater anak, menerima alat permainan edukatif dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon. “Ini bukan sekadar alat, tapi simbol bahwa setiap anak punya hak untuk bermain dan berkreasi,” ujar Fadli sambil tersenyum.

Sementara Fitri Agustina, penyair tunanetra asal Garut, menerima tongkat lipat pintar dari Gubernur Dedi Mulyadi. “Karya Fitri luar biasa, puisinya membuat kita semua menunduk,” ucap Dedi dengan nada bangga.

Selanjutnya, Hildan, musisi muda tunarungu, menerima alat bantu dengar digital. “Mudah-mudahan alat ini bukan hanya menambah pendengaran, tapi memperkuat semangat,” ujar Pratikno sembari memakaikan alat bantu itu di telinga Hildan dengan penuh perhatian.

Dan tak kalah menyentuh, Anggi Jepika, pemahat kayu dari Cirebon yang kehilangan kaki karena kecelakaan kerja, menerima kaki buatan prostetik. Ketika bantuan itu diserahkan, suasana menjadi hening. Anggi menitikkan air mata bahagia. “Terima kasih, Pak. Sekarang saya bisa berdiri lagi untuk berkarya,” katanya dengan suara bergetar.

Selain bantuan alat bantu, diserahkan pula santunan jaminan kematian dan kecelakaan kerja dari BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan kepada ahli waris tiga pelaku seni: Sti Setiwati Mulyadi, Ida Kurniawati, dan Kuswanto. Santunan tersebut diserahkan langsung oleh ketiga pejabat utama secara simbolis di atas panggung.

Momen itu menjadi simbol nyata dari kolaborasi lintas kementerian dan pemerintah daerah: antara Kemenko PMK, Kementerian Kebudayaan, BPJS, dan Pemprov Jawa Barat. Semua bersatu untuk satu tujuan memastikan kesejahteraan pelaku seni budaya tidak hanya diakui, tetapi juga dilindungi.  “Negara hadir bukan hanya untuk mengagumi karya mereka, tetapi juga untuk menjamin kehidupan mereka,” ujar Pratikno menutup sesi penyerahan bantuan. Kalimat itu menggema di antara tepuk tangan peserta, seolah menegaskan komitmen pemerintah dalam menghadirkan keadilan sosial bagi pelaku seni.

Interaksi dengan Budayawan dan Industri Kreatif

Seusai acara simbolis, ketiga tokoh utama Pratikno, Fadli Zon, dan Dedi Mulyadi  berjalan bersama meninjau booth-booth pameran seni dan layanan sosial di area pelataran Gedung Sate. Langkah mereka sejajar, seperti simbol harmoni antara pusat dan daerah, antara kebijakan dan budaya, antara kesejahteraan dan kemanusiaan.

Mereka berkeliling dari satu stan ke stan lainnya, menyapa para pelaku seni yang memamerkan hasil karya mereka. Ada pengrajin wayang golek, pembatik, pembuat alat musik tradisional, hingga mahasiswa seni rupa yang melukis langsung di atas kanvas terbuka.

Di setiap langkah, tawa, dan sapa, terlihat hubungan yang lebih dari sekadar formalitas pejabat dan warga. Ada penghargaan yang tulus, ada pengakuan terhadap kerja keras, dan ada kesadaran bahwa seni adalah denyut nadi bangsa.

Di sisi lain, Menteri Fadli Zon berbincang dengan komunitas teater muda. Ia mendengarkan keluhan mereka soal keterbatasan panggung dan pembiayaan produksi. “Negara tidak boleh diam. Karya kalian adalah cermin zaman, harus tetap hidup,” katanya sambil menepuk pundak salah satu aktor muda.

Sementara itu, Gubernur Dedi Mulyadi berdiri di depan panggung ekspresi budaya, tempat para seniman jalanan menampilkan tari tradisional dan musik etnik. “Lihatlah, ini wajah Jawa Barat — penuh semangat, penuh cinta, dan penuh ide,” ujarnya kepada awak media yang mengelilinginya.

Tak lama kemudian, panggung kembali hidup. Sejumlah pelajar menampilkan tarian kolaboratif yang menggabungkan unsur pencak silat, tari topeng Cirebon, dan iringan musik gamelan Sunda modern. Para pejabat pun berdiri memberi tepuk tangan.

Fadli Zon terlihat terharu. “Inilah makna sejati kebudayaan: ruang yang menyatukan semua manusia tanpa membeda-bedakan kemampuan,” ujarnya lirih.

Menko PMK Pratikno menimpali dengan senyum. “Kebudayaan adalah jalan bagi kita untuk memahami kemanusiaan. Kalau seni berhenti, nurani bangsa juga ikut beku,” katanya, membuat suasana panggung makin hangat.

Sementara Gubernur Dedi menegaskan bahwa momentum “Bakti Negeri untuk Pelaku Seni dan Budaya” bukan sekadar seremoni, tapi langkah strategis. “Kita ingin memastikan bahwa budaya tidak hanya dipamerkan, tapi dijaga, dikembangkan, dan mensejahterakan masyarakat,” tegasnya.

Program ini memang menjadi simbol kolaborasi nasional yang konkret — di mana pemerintah pusat, daerah, lembaga sosial, dan komunitas seni berjalan seiring. Tak hanya menyentuh isu ekonomi, tapi juga martabat, identitas, dan masa depan bangsa.

Di penghujung acara, ketiga tokoh kembali ke panggung utama. Dengan tangan saling menggenggam, mereka menghadap ribuan pelaku seni yang hadir. “Mari kita jaga api budaya ini agar terus menyala,” ujar Fadli Zon. “Dan mari kita pastikan setiap pelaku seni hidup dengan layak dan terhormat,” sambung Pratikno.

Langit Bandung yang biru seolah ikut bersaksi atas sinergi itu  sinergi yang lahir dari keikhlasan, dari tekad bersama untuk menempatkan manusia dan kebudayaan sebagai pusat pembangunan. Hari itu, Gedung Sate bukan sekadar bangunan bersejarah, melainkan panggung kebangkitan seni dan solidaritas nasional.

Dan ketika acara resmi ditutup, senyum para pelaku seni yang menenteng alat musik, lukisan, dan kain batik menjadi simbol harapan baru. “Negara hadir untuk kami,” kata salah satu penenun tua sambil melambaikan tangan. Di bawah cahaya sore yang lembut, semangat sinergi nasional benar-benar terasa hidup — mengakar di bumi, menjulang di langit budaya Indonesia.

 

Penulis: Wandi
Redaktur: Kristantyo Wisnubroto

Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/sorot-sosial-budaya/946072/sinergi-nasional-untuk-pemajuan-kebudayaan-dan-kesejahteraan-pelaku-seni-2025