Berdasarkan data statistik kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada kurun 2003—2004, saat kegiatan napak tilas Jalur Kayumanis dilaksanakan, menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Jika pada 2003 angka kunjungan wisatawan mancanegara baru mencapai 4,47 juta orang, pada 2004 jumlah pengunjung dari berbagai negara itu melonjak menjadi 5,32 juta orang.
Jika potret statistik lebih difokuskan lagi pada situs Candi Borobudur, lonjakan angka kunjungan turis dari mancanegara memperlihatkan lonjakan yang sangat fantastis pascasuksesnya Kapal Borobudur Samudra Raksa menjelajahi samudra luas hingga ke Ghana, Afrika. Jika pada 2003 angka kunjungan turis asing ke Borobudur baru mencapai 62.776 orang, maka pada 2004 jumlah pengunjung dari berbagai negara itu naik menjadi 90.524 orang. Dalam kurun waktu 1998 hingga 2004, jumlah kunjungan turis asing ke situs Candi Borobudur pun mengalami puncaknya, sesaat sebelum krisis moneter terjadi pada 1998, yang angkanya mencapai 115.309 orang.
Jumlah kunjungan melorot menjadi 80 ribuan wisman akibat badai krisis. Namun, angka kunjungan tersebut kembali melonjak di angka 110 ribuan setelah berlalunya krisis ekonomi. Diduga akibat serangkaian aksi terorisme yang banyak menelan korban warga negara asing pada tahun 2002, jumlah turis mancanegara (wisman) di Borobudur kembali merosot di angka 60 ribuan orang. Kondisi inilah yang memaksa pemerintah Indonesia berpikir ekstra keras untuk kembali meyakinkan dunia internasional bahwa situs-situs kebudayaan di tanah air, termasuk Candi Borobudur sudah sangat aman untuk dikunjungi.
Langkah cepat untuk menyelesaikan penanganan hukum aksi terorisme dan menggelar promosi pariwisata budaya di level internasional secara simultan, akhirnya berhasil meyakinkan komunitas internasional. Perlahan namun pasti, kepercayaan kepada Indonesia diperlihatkan dengan kembali naiknya jumlah kunjungan turis. (lihat tabel).
JUMLAH KUNJUNGAN WISATAWAN KE OBJEK WISATA CANDI BOROBUDUR
PADA TAHUN 1998-2004 (ORANG)
Tahun | Wisnus | Wisman | Total |
1998 | 1.279.460 | 115.309 | 1.394.769 |
1999 | 1.764.934 | 86.258 | 1.851.192 |
2000 | 2.559.527 | 114.440 | 2.673.967 |
2001 | 2.470.647 | 111.136 | 2.581.783 |
2002 | 1.998.355 | 107.972 | 2.106.327 |
2003 | 2.007.917 | 62.776 | 2.070.693 |
2004 | 1.935.918 | 90.524 | 2.026.442 |
Soekarno, Suharto, dan Unesco
Upaya memperkenalkan Borobudur ke publik dunia bahkan telah dilakukan sejak negara baru saja merdeka dan pertumbuhan ekonomi nasional masih membutuhkan penataan. Eksistensi Borobudur ketika itu telah dibangga-banggakan oleh Presiden ke-1 RI Soekarno. Presiden bahkan selalu mengajak setiap tamu negara berkunjung ke Candi Borobudur. Salah satu tamu negara yang tercatat pernah datang ke Indonesia dan berkesempatan mengunjungi Borobudur adalah tokoh revolusioner yang sangat ikonik, Ernesto Che Guevara, pada 1959. Sang legenda kelahiran Argentina itu mengunjungi Indonesia antara Juli sampai Agustus 1959.
Che memimpin sebuah delegasi untuk melakukan kunjungan persahabatan ke-14 negara-negara Asia dan Afrika, khususnya negara-negara yang menandatangani “Deklarasi Bandung” pada 1955. Sebagai tuan rumah, sekaligus sebagai salah satu penggagas Konferensi Asia Afrika, Indonesia termasuk dalam daftar negara yang dikunjungi oleh tokoh revolusioner Amerika Latin itu. Che mengunjungi Candi Borobudur pada 31 Juli 1959 di mana ia mengambil banyak foto dan kelihatan sangat serius menyimak kondisi di lokasi wisata itu. Mungkin, ia terpesona dengan kekayaan heritage Indonesia. Pada saat kunjungan Che itu, Indonesia belum membuka hubungan diplomatik dengan Kuba. Baru setelah kunjungan itu Indonesia secara resmi membuka hubungan diplomatik dengan Kuba, yaitu pada 22 Januari 1960.
Sebelumnya, ancaman kerusakan akibat pengaruh alam dan penjarahan, sempat membuat Presiden Soekarno meminta bantuan Unesco. Merespons permintaan resmi Indonesia pada 1956 itu, Unesco mengirim delegasi ke Indonesia dipimpin Profesor Dr C Coremans dari Belgia guna meneliti sebab-musabab kerusakan Candi Borobudur. Setelah kunjungan Coremans, Unesco sesungguhnya telah memberi sinyal lampu hijau kepada Pemerintah RI untuk segera dilaksanakan pemugaran situs candi Borobudur. Hal itu ditandai dengan terbitnya surat keputusan Pemerintah RI untuk pelaksanaan pemugaran candi pada 1963. Namun, suhu politik di dalam negeri dengan cepat memanas diwarnai dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September yang menyebabkan rencana restorasi Borobudur mustahil untuk dilaksanakan.
Pada era pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden HM Soeharto, upaya untuk memulihkan monumen Candi Borobudur dilakukan secara lebih intens dan fokus. Secara tekun, tim pemerintah melanjutkan lobi ke Unesco, badan dunia di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), untuk merealisasi bantuan guna merestorasi situs Borobudur secara menyeluruh.
Ketekunan pemerintah membuahkan hasil. Pada konferensi ke-15 yang digelar di Prancis pada 1968, Unesco secara resmi mengumumkan persetujuan untuk membantu Pemerintah Indonesia menyelamatkan Borobudur. Menyambut keputusan itu, Pemerintah RI pada 1971 membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai oleh Profesor Ir Rooseno. Setahun kemudian, yakni pada 1972, dibentuk International Consultative Commitee dengan melibatkan banyak negara dan diketuai oleh Rooseno. Komite yang disponsori Unesco itu menyediakan dana sebesar USD5 juta dari anggaran pemugaran sebesar USD7.750. Sisanya sebesar USD2.750 juta ditanggung oleh pemerintah Indonesia.
Restorasi besar-besaran atas bantuan Unesco ini dimulai pengerjaannya pada 10 Agustus 1973. Restorasi dimulai dengan memperkokoh pondasi dan pembersihan seluruh 1.460 panel relief. Tim pemugar juga membongkar limar teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan kedap air ditambahkan. Proyek kolosal yang sangat prestisius ini melibatkan 600 orang untuk pemulihan monumen. Setelah melalui kerja keras tanpa henti, pada 1984 restorasi Borobudur dinyatakan selesai sempurna.
Untuk kesekian kalinya, dunia kembali dibuat berdecak kagum oleh keindahan dan kebesaran situs candi ini. Unesco tak berhenti pada bantuan pendanaan saja. Pada 1991, badan dunia ini memasukan Borobudur dalam daftar Situs Warisan Dunia. Pilihan Unesco jatuh kepada Borobudur lantaran situs ini dinilai, pertama, mewakili mahakarya kreativitas manusia yang jenius. Kedua, menampilkan pertukaran penting dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lanskap. Ketiga, secara langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa.
Penulis: Ratna Nuraini
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari