Indonesia.go.id - Menjadi Tangguh tanpa Mengeluh

Menjadi Tangguh tanpa Mengeluh

  • Administrator
  • Sabtu, 4 September 2021 | 08:30 WIB
INSPIRASI
  Devon Kei Enzo Mischka Aoki, jawara di Olimpiade Matematika Internasional. Dokumen Pribadi
Bagi sebagian orang, mengalami situasi pandemi Covid-19, ibarat dunia runtuh. Ketika sakit hinggap dan pendapatan menurun, emosi pun membuncah, semangat hidup melemah.

Bagi sebagian orang, mengalami situasi pandemi Covid-19, ibarat dunia runtuh. Ketika sakit hinggap dan pendapatan menurun, emosi pun membuncah, semangat hidup melemah. Namun bagi sebagian orang lainnya, situasi kelam justru disikapi sebagai peluang dan tetap kreatif di tengah keterbatasan. Mereka tetap produktif dan menggapai prestasi.

Sejumlah sosok inspiratif dan tetap tangguh di kala pandemi inilah yang dihadirkan dalam Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Tangguh Tanpa Mengeluh" yang disiarkan secara virtual dari Jakarta, pada Rabu (18/8/2021). Para narasumber diskusi kali ini akan menceritakan pengalaman mereka agar menjadi inspirasi masyarakat agar tetap semangat dan tangguh menyikapi kondisi saat ini.

Ada seorang penyandang disabilitas yang sukses sebagai wirausaha kuliner, duo kakak beradik pelajar peraih Olimpiade Matematika, dan peraih First Step to Nobel Prize in Physics 2004 yang kini pegiat pendidikan vokasi di Papua. Siapa saja mereka? Mari simak kisahnya. 

Dalam kehidupan sehari-hari penyandang disabilitas masih mendapatkan perlakuan dan sikap yang tidak adil dari sebagian keluarga dan masyarakat sekitar. Penyandang disabilitas sering diidentikkan dengan orang yang sakit, yang lemah tak berdaya, dan tidak produktif.

Demikian halnya seperti yang dialami oleh Putri Santoso. Ia adalah seorang perempuan yang memiliki keterbatasan pendengaran sejak usia balita. Sebelum mendirikan Kopi Tuli, Putri pernah ditolak oleh sejumlah perusahaan karena keterbatasan komunikasi yang dialaminya.

Kegagalan demi kegagalan tidak membuat Putri patah arang dalam hidupnya. Dari kegagalan itulah, Putri mendirikan warung kopi. Dinamakan Kopi Tuli, bersama dua sahabatnya sejak kecil yang juga tuli, M Adhika Prakoso dan Erwin Syah Putra.  Kopi Tuli didirikan pada Mei 2018.

"Tujuan Kopi Tuli ada tiga. Pertama, soal pendidikan untuk menjembatani komunikasi menggunakan bahasa isyarat, kedua sosialisasi dan peningkatan kesadaran serta pemberdayaan teman-teman tuli serta ada ruang interaksi antara teman tuli dan dengar, ketiga pemberdayaan dari dan untuk teman-teman tuli sendiri," ujar Putri.

Diakuinya, sebelum Covid-19 mendera banyak orang-orang yang berdatangan bertemu teman-teman tuli untuk mempelajari bahasa isyarat di Kopi Tuli. Semenjak pandemi datang, jumlah pengunjung berkurang dratis. Meski demikian, Putri dan kawan-kawan tetap kreatif dan produktif.

Mereka beralih menjajakan produk mereka via daring (online). Promosi gencar dilakukan lewat media sosial. Produk Kopi Tuli dikemas dalam botol 1 liter hingga ukuran yang lebih kecil. Warung tetap buka sembari berjualan lewat daring.

Masa pandemi juga menyadarkan masyarakat untuk lebih mengonsumsi makanan dan minuman bernutrisi sehat. Untuk itu, Kopi Tuli terus meningkatkan kualitas dan rasa produk-produk kuliner mereka.

Tak pelak, berkat kegigihan Putri dan kawan-kawan tuli, mereka kini telah memiliki beberapa cabang, antara lain di Depok, Jawa Barat, dan Duren Tiga, Jakarta Selatan.

 

Juara Olimpiade Matematika

Prestasi luar biasa direngkuh kakak beradik, Mischka Aoki (12 tahun) dan Devon Kei Enzo (11 tahun). Terakhir bulan lalu di masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), mereka menjadi jawara di Olimpiade Matematika Internasional WMI (World Mathematics Invitational) 2021. Devon Kei mendapatkan penghargaan terbaik Diamond Medal dan Mischka Aoki, sang kakak, meraih medali Silver.

Setidaknya mereka berdua meraih 10 medali ajang kompetisi matematika internasional tersebut di masa PPKM. Total selama 2021 ini, mereka telah berhasil mengumpulkan 32 medali untuk Indonesia.

Mischka dan Devon, siswa kelas 8 dan 7 di SMP ACS Jakarta Timur. Keduanya mengaku sejak pandemi mempunyai banyak waktu luang untuk belajar dan mengikuti olimpiade. Masa pandemi tidak membuat mereka patah semangat untuk menorehkan prestasi.

Devon dan Mischka mengaku senang ikut Olimpiade matematika karena sangat menyenangkan dan menantang. Lebih dari itu, olimpiade membuat mereka dapat belajar lebih baik, lebih teliti, dan bisa belajar matematika yang lebih dari seharusnya. Meski bertanding secara online, bagi mereka berdua, tidak mengurangi keseruan Olimpiade tersebut. Apalagi, orang tua mareka amat mendukung kegiatan ini.

Kedua kakak beradik ini mengatakan, telah mengikuti pelbagai lomba matematika sejak duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar (SD). Bagi Devon dan Mischka, keterbatasan akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk terus mengejar prestasi, bahkan hingga ke tingkat internasional.

Kelak Devon dan Mischka menginginkan bisa berkuliah di salah satu universitas terbaik di Indonesia atau luar negeri. Jika kuliah nanti, sang kakak Mischka ingin masuk ke jurusan public speaking. Sedangkan sang adik Devon lebih menyukai jurusan yang berkaitan dengan teknologi.

Bekal disiplin belajar sejak usia dini membuat Septinus George Saa meraih banyak prestasi di bidang sains. Puncaknya ketika ia menjadi pemenang First Step to Nobel Prize in Physics pada 2004. Saat itu, ia pelajar kelas III SMA 3 Jayapura, Papua.

Bakat jenius George (35 tahun) mulai terendus karena kerap menjuarai lomba sains di tingkat daerah sampai nasional. Keberhasilannya meraih berbagai prestasi itu, menarik perhatian Profesor Yohannes Surya (pendiri Surya University). George akhirnya dilatih untuk mengikuti lomba riset tingkat internasional pada tahun 2004.

Dengan pelatihan yang diberikan kepadanya itu, Georga Saa kian percaya diri untuk berlaga dalam kompetisi riset internasional itu pada saat itu.

Pencapaian George di tingkat internasional itu pun, menginspirasi dirinya untuk membawa perubahan di tanah Papua. Khususnya, dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Papua di masa mendatang. Sepulang dari kuliah di Inggris, George fokus mengelola pusat pelatihan, riset teknik, dan pelatihan vokasi di Timika, Papua.

 

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari