Perkemahan lintas agama adalah sebuah forum yang menjadi wadah berdiskusi, menumbuhkan rasa toleransi, menyebarkan nilai positif dan perdamaian, dengan cara-cara sehat, segar dan kreatif.
Sepanjang waktu, bulan bermain riang gembira bersama bintang, di tengah hamparan langit. Tapi, mereka tak pernah melupakan tugasnya untuk menerangi malam. Bulan juga tidak pernah absen menjadi penanda waktu, dan bintang menjadi pemandu arah bagi pelaut yang berlayar di tengah malam gelap. Mereka selalu merasa ingin berguna bagi alam semesta.
Suatu kali, wajah bincang pucat pasi, badannya dingin gemetar. Cahayanya meredup. Bulan tahu bahwa bintang sakit. Tanpa diminta, bulan pun membagi cahayanya. Bintang sembuh, cahayanya kembali berpendar, cerlanggemilang. Keduanya kembali bermain dan terus melakukan tugasnya.
Cerita ringan itu menjadi begitu menarik ketika disampaikan oleh Eklin Amtor De Fretes, 30, seorang pemuda asal Ambon. Pada beberapa bagian, dongeng itu menjadi terasa begitu mengharukan, dan tak jarang anak-anak yang mendengarnya sampai menitikkan air mata. Tapi pada bagian lain, mereka juga bisa tertawa tergelak-gelak.
Tidak terhitung lagi banyaknya Eklin membawakan dongeng itu untuk komunitas anak-anak di dusun-dusun di berbagai pelosok Kepulauan Maluku. Ia mendongengkannya bersama Dodi, boneka ventriloquist, yang pandai menggerakkan mulutnya ketika bicara. Eklin menjadi bulan dan Dodi bintangnya. Keduanya berdialog, dan Dodi berbicara lewat suara perut.
Eklin de Fretes keluar masuk dusun bukan asal membagi dongeng. Ia menyiapkan cerita-cerita itu dengan cermat, yakni yang menyampaikan pesan-pesan persahabatan, saling tolong, saling bantu, saling menyayang dan menghargai, toleran, dan bisa menerima perbedaan. Cerita ditutup dengan happy ending, cerita bahagia.
Sering kali, Eklin mendatangi kampung-kampung yang pernah porak-poranda akibat konflik Ambon (1999--2003), yang ternyata menyebar ke sejumlah pulau di Maluku. Konflik berdarah yang berlarut-larut itu melahirkan komplikasi jangka panjang. Bentrokan fisik telah terhenti, namun cerita-cerita tentang aksi kekerasan, kebencian, kemarahan, kepedihan, intoleransi, sektarianisme, bahkan baku bunuh, masih saja dituturkan.
Tak terhindarkan, cerita-cerita kelam itu merembes melewati batas usia dan terwariskan pada anak-anak. Tak pelak lagi bocah-bocah yang tumbuh di (bekas) wilayah konflik rentan mengalami depresi, kecemasan, dan perasaan tidak aman. Mereka menjadi korban tidak langsung dari letupan konflik sosial yang kemudian tergelincir menjadi pertikaian masif yang berkedok agama. Konflik berdarah itu masih menyisakan trauma yang terpelihara dengan segala prasangka.
Dalam masa tumbuh kembangnya, anak-anak Maluku itu justru bak dijauhkan dari perasaan kasih sayang, penghormatan satu sama lain, dan nilai-nilai positif. Mereka seolah malah dibentuk untuk mewarisi kebencian, kemarahan, prasangka, dan segala perbedaan. Narasi semacam itu yang sering diterima oleh bocah-bocah dari daerah (bekas) konflik. Maka, perlu narasi ada tandingan dalam bentuk dongeng yang membangkitkan semangat kasih sayang, kesetaraan dan penghormatan satu sama lain, timbal balik, dengan segala macam perbedaaan asal usul dan identitasnya.
Sejak 2017, bersama Dodi, Eklin berkelana dari satu desa ke desa lain, dari satu komunitas ke yang lain. Di lapangan, Eklin masih bisa merasakan adanya rasa takut dan curiga di antara mereka yang pernah bertikai. ‘’Yang membahagiakan ialah, secara umum, dengan medium dongeng anak-anak itu kami bisa datang ke komunitas yang berbeda-beda tanpa hambatan dan tanpa kecurigaan,’’ katanya.
Dongeng anak-anak juga seperti menjadi sarana pelepasan sisa-sisa perasaan terbelah di kalangan anak-anak. ‘’Kalau mereka bisa tertawa lepas lima menit saja, itu sudah bermanfaat meringankan beban yang mereka tanggung,’’ kata Eklin seperti disampaikan dalam kanal youtube LVE Indonesia. Ia yakin dongeng anak-anak yang positif itu bisa mengurangi dampak tekanan akibat cerita-cerita kelam dari masa lalu yang masih saja dituturkan orang-orang dewasa.
Dongeng Damai
Keinginan Eklin mendongeng didorong oleh pengalamannya pribadinya. Pada awal konflik di tahun 1999, Eklin masih berusia delapan tahun. Dia menyaksikan kerusuhan tersebut dari mata seorang anak. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan. Ayahnya seorang anggota militer, yang juga tokoh masyarakat setempat. Eklin dan keluarga tinggal di lingkungan yang beragam.
Dari konflik kekerasan yang memilukan itu Eklin belajar, betapa warga yang berbeda keyakinan itu bersepakat untuk teguh menolak terseret ke dalam konflik sosial yang kemudian berubah menjadi pertikaian agama. Mereka terus saling berpegang tangan, saling menguatkan, saling melindungi, menjaga toleransi, dan mempertahankan persatuan. Ternyata mereka bisa. Lingkungannya selamat.
Kisah yang kemudian lahir dari lingkungan kecilnya itu adalah cerita tentang persahabatan, saling menghormati dan saling menyayangi. Namun tak jauh dari sana, Eklin melihat kehancuran akibat konflik. Dari sana, lahir cerita yang amat berbeda, cerita yang menarasikan kebencian, kemarahan, kecurigaan, intoleransi, bahkan glorifikasi penghancuran terhadap orang lain.
Pada 2016, Eklin de Fretes mengikuti training tentang Living Values Education (LVE) di Bogor. Pelatihan itu bertujuan membangkitkan kesadaran akan pentingnya persatuan di tengah perbedaan latar belakang dan kepercayaan. Ia sangat terkesan. Terinspirasi pelatihan tersebut, Eklin de Fretes membentuk Youth Interfaith Peace Camp pada 2017 di Ambon.
Perkemahan lintas agama itu adalah sebuah forum yang menjadi wadah berdiskusi, menumbuhkan rasa toleransi, menyebarkan nilai positif dan perdamaian, dengan cara-cara sehat, segar dan kreatif. Forum ini diikuti sejumlah muda-mudi Maluku lintas-iman. Ada yang memeluk Islam, Kristen, Katolik, sampai kepercayaan dari suku di Nuaulu. Saat ini forum Youth Interfaith Peace Camp sudah diikuti oleh 90 orang. Mereka menyebarkan semangat perdamaian dengan cara masing-masing.
Eklin memilih cara mendongeng. Agar lebih atraktif, ia perlu teman dialog, dan dipilihlah si boneka Dodi. Banyak pesohor melakukan hal itu, seperti Ria Enes, artis asal Surabaya dengan boneka Susan-nya pada awal 1990-an, dan hingga kini pun masih banyak yang melakukan itu, termasuk Eklin. Ia harus bersusah-payah belajar bicara dengan suara perut selama beberapa minggu dari Youtube.
Sejak itulah ia menjadi pendongeng. Bukan hanya untuk anak-anak di bekas kawasan konflik, Eklin juga biasa mendatangi area terdapak bencana alam dan ruang rawat anak-anak di rumah sakit.
Pada 2019, Eklin mendirikan program belajar di Rumah Dongeng Damai, yang dimaksudkan untuk memberi pendidikan nilai-nilai perdamaian dan toleransi pada anak-anak. Para alumni dari Youth Interfaith Peace Camp bisa mengisi acara di sana. Jadi, rumah dongeng adalah tempat netral yang tak dikoptasi kepentingan apapun atau agama apapun.
Menurut Eklin, anak-anak yang biasa mendengar cerita konflik dan kekerasan dari orang tua mereka, rentan memiliki paham serupa dan berpotensi mengulang konflik di masa dewasanya. Di salah satu daerah yang disambanginya, anak-anaknya terbiasa menyebut orang-orang dengan istilah “Acang”, sebutan untuk ‘Hasan’ untuk mengidentifikasikan orang Islam, dan “Obet”, sebutan untuk ‘Robert’ yang merujuk ke orang Kristen. Sebutan itu berkonotasi negatif dan menempatkan kedua sosok itu dalam posisi berseberangan.
Bisa jadi, para orang tua membebani anak-anaknya dengan cerita kelam tersebut karena mereka tak paham dampaknya di kemudian hari. Eklin berusaha melawan beban cerita kelam itu dengan cerita lain yang kreatif, positif,dan menyenangkan. Melalui Dongeng Damai, dia mengolah kisah mengenai isu-isu di dunia nyata dengan cara yang mudah diterima anak-anak.
Rumah Dongeng Damai juga menghadirkan program pelajaran bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan kelas seni, untuk mempermudah penyampaian dongeng untuk anak-anak dengan berbagai bahasa. Komunitas Rumah Dongeng didukung oleh kelompok muda lintas keyakinan, lintas etnis, yang tak mau terus menengok ke belakang. Mereka ingin menemukan masa depan yang membahagiakan.
Namun perjalanan Eklin dalam memperkenalkan Dongeng Damai tak selamanya menyenangkan. Ia sempat mengalami penolakan saat mendatangi sebuah desa di Pulau Seram. Ia ditolak warga karena ia dicurigai berniat melakukan kristenisasi. Eklin sendiri adalah seorang lulusan sekolah teologi dan berstatus pendeta. Dalam situasi semacam itu, Eklin memilih mengalah, bergeser ke desa lain, dan lebih sering diterima dengan baik.
Dalam melakukan perjalanan mendongeng, Eklin tak pernah sendirian. Ia dibantu tim relawan Jalan Merawat Perdamaian (JMP), kelompok lintas keyakinan. Ia juga selalu mengajak Dodi sebagai teman ikonik untuk kegiatan mendongeng.
Berkat hasil karyanya, Eklin de Fretes menerima apresiasi dari berbagai pihak, salah satunya melalui program kontribusi sosial berkelanjutan dari Kelompok Astra, lewat aksi bertajuk ‘’Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards’’ sebagai sosok muda inspiratif penerima apresiasi Bidang Pendidikan pada 2020.
Sekarang Eklin sudah menjajaki ratusan desa dan mendongeng di hadapan puluhan ribu anak-anak di dalam dan luar Maluku. Ia bertekad masih akan terus melakukannya, menyeberang laut, meniti jalanan kampung, menemui anak-anak, dan menyampaikan dongeng-dongeng yang menginspirasi. Eklin mendongeng dengan bahasa Indonesia, bahasa yang dipahami dengan baik oleh anak-anak Maluku itu.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari