7-10 April 2015, berlangsung sebuah konferensi internasional di Bern, Swis. Diselenggarakan oleh Oeschger Center for Climate Change Research, konferensi ini bermaksud memperingati peringatan 200 tahun letusan Tambora 1815. Forum ini setidaknya diikuti sekitar 130 ilmuwan, empat di antaranya dari Indonesia.
Menariknya, latar belakang para partisipan ini bersifat multidisipliner. Bukan semata pakar di bidang yang terkait langsung seperti vulkanologi, geologi, fisika atmosfer, dan kimia, klimatologi dinamis, paleoklimatologi, melainkan juga diikuti oleh para pakar di bidang disiplin ilmu sejarah, etnologi, dan bahkan seni.
Semua ingin melihat kembali letusan yang hampir menyetuh level supervolcano itu dari perspektif pengetahuan. Pasalnya, letusan super dahsyat yang terjadi di abad modern ini tampaknya belum lama disadari dampak sesungguhnya bagi iklim dunia saat itu. Tentunya, setelah ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan dilakukan riset terhadap berbagai peristiwa letusan gunung api di masa lalu.
Para ahli sepakat, letusan Tambora berdampak luas bagi kehidupan masyarakat manusia. Letusan tipe plinian membentuk cerobong abu ke angkasa dan membentuk payung cendawan di atasnya, diperkirakan mencapai ketinggian lebih dari 25 km dan bahkan mencapai lapisan stratosfer. Debu berupa aerosol asam sulfat yang dimuntahkan ditaksir 400 juta ton. Di angkasa raya abunya beredar terbawa angin ke seluruh dunia dan berpengaruh pada iklim dunia.
Akibat langsung dari letusan Tambora pada April 2015 itu ialah terjadi musim dingin berkepanjangan. Erupsi ini memiliki efek sangat besar terhadap iklim global dan menyebabkan munculnya fenomena ‘Year Without a Summer’ di tahun 1816.
Sebagian dunia yang mempunyai empat musim khususnya di Amerika Utara dan Eropa, tidak mengalami musim panas sepanjang 2016. Akibatnya di negeri-negeri itu terjadi gagal panen. Dan gagal panen itu bukan saja berdampak lanjutan pada terjadinya kelaparan, tapi juga munculnya penyakit sebagai imbas tertutupnya bumi dari paparan sinar matahari yang bermuara pada kematian.
Fragmen Kisah Sedih Dunia
Mari disimak beberapa fragmen peristiwa sejarah dunia, yang diduga oleh banyak orang sebagai memiliki korelasi dengan erupsi Tambora di dua ratus tahun lebih yang lalu itu.
Momen sejarah yang paling terkenal ialah berakhirnya perang yang sohor disebut “Perang Napoleon” dan kekalahan Napoleon Bonaparte. Salah satu peperangan yang paling berpengaruh di Eropa atau bahkan di dunia, antara Prancis berhadap-hadapan dengan negara-negara Eropa. Kekalahan Napoleon terjadi di medan pertempuran Waterloo, Belgia.
Saat itu 18 Juni 1815. Sialnya, hujan deras mengguyur Belgia semalaman penuh dan menimbulkan banjir. Tanah pun jadi becek atau bahkan berlumpur. Walhasil, medan itu susah untuk dilalui meriam-meriam berat pasukan Prancis. Padahal untuk merebut kemenangan dalam perang seratus hari setelah kebebasannya, pasukan Napoleon harus segera menggempur pasukan koalisi Inggris dikomandani Laksamana Wellington yang bertahan di Waterloo.
Menunggu tanah mengering, Napoleon akhirnya menunda jadwal penyerbuan. Namun seiring penundaan itu, pasukan musuh berhasil membangun konsolidasi dan menjadi bertambah kuat, terlebih setelah pasukan Prusia juga ikut koalisi.
Lalu sejarah mencatat, seluruh kegemilangan strategi perang Napoleon selama beberapa waktu pun kandas di Waterloo. Napoleon harus pulang ke Paris hanya untuk menandatangani pakta kekalahan. Kemudian dia juga harus menjalani pengasingan kembali, dibuang ke pulau terpencil di Samudera Atlantik, St Helena. Walhasil, berakhirlah Perang Napoleon 1799 – 1815.
Catatan dari Belanda. Seorang pastur bernama Aloysius Hubert Borret (1751-1839) yang tinggal di Velp, Propinsi Noord-Brabant, memberikan catatan kondisi iklim di Eropa saat itu. Oleh Courrier de la Meuse, catatan harian pastur ini dibukukan berjudul ‘Beknopt dag verhaal der lotgevallen van A. Borret, 1792-1830’, dan kini tersimpan di Perpustakaan Sociaal Historisch Centrum Limburg di Maastricht, Belanda.
Apa yang menarik disimak dari catatan harian pastur ini? Selain tampak terjadi anomali iklim di negeri empat musim itu, hujan dan hujan salju terjadi tanpa berkesudahan, badai terjadi terus-menerus, sungai meluap, dan banjir merendam ladang-ladang gandum. Tercatat banyak binatang peliharaan seperti sapi, babi, dan kuda mati, serta terjadi peningkatan populasi nyamuk dalam jumlah sangat besar. Borret menulis, setidaknya selama 13 bulan, sang mentari tidak pernah muncul.
“Pada 8 Desember, semuanya membeku. Udara terus-menerus dingin. Sejak Maret, semua kekurangan bahan makanan. Sejak Mei hingga Juli 1816, api perapian harus selalu dinyalakan. Pada 13 Mei, hujan salju turun begitu lebat. Hujan berlangsung sejak 3 Mei dan baru reda pada 10 Agustus.
Pada 7 Agustus, ketinggian air Sungai Maas, yang mengalir dari Prancis, Belgia, dan Belanda menuju Laut Utara, naik. Gudang bawah tanah milik saya terendam air. Semua hancur. Pada 12 Agustus, cuaca mulai reda dan membaik. Hujan tidak turun sampai 1 September. Kemudian terjadi lagi hujan yang sangat deras. Bahkan kemudian membuat Sungai Maas dalam waktu 32 jam meluap mencapai ketinggian tujuh kaki (sekitar 2,3 meter). Ini luar biasa.
Kemudian Borret melanjutkan, “Pada akhir September, hujan turun lagi, untuk kedua kalinya, kebanyakan kebun gandum terendam. Bulan Oktober, saya melihat tanaman menjadi busuk. Mendung terus menerus sampai 9 Maret 1817.
Bulan Februari adalah yang paling buruk. Badai hampir terus-menerus. Guntur lebih keras. Pada hari ke-27, semuanya sudah di luar batas (tak terkendali). Pada 3 Maret, hujan es. Atap rumah saya rusak parah. Jendela-jendela di gereja hancur. Pada 8 Maret, hujan lebat dan hujan salju. Sangat mengerikan.
Pada 9 Maret, diadakan doa secara khusyuk di seluruh wilayah Ravenstein dan Megen. Dalam semua ibadah, (misa) wajib memanjatkan pujian dan doa memohon cuaca yang baik dari surga. Pada keesokan harinya, matahari yang tidak pernah dilihat manusia dalam 13 bulan muncul. Meskipun air masih sangat tinggi, (kondisi buruk) mulai mereda.
Pada 1 September, cuaca mulai hangat. Gandum hitam, gandum, terigu, biji-bijian, kacang polong, biji minyak, kentang, dan sayuran di kebun mulai tumbuh. Karena itu, kita harus selalu mengucapkan syukur kepada Tuhan.”
Masih kisah sedih dari Eropa. Merujuk tulisan Gillen D’ Arcy Wood yang berjudul ‘Tambora: the eruption that changed the world’, antara 1817-1818 terjadi wabah penyakit tifus. Di Jerman, selama April hingga September--di mana Juni-September lazimnya ialah musim panas--justru mengalami masa hujan dan salju panjang. Wood mencatat, tahun 1816 diingat orang Jerman sebagai ‘Tahun Kesengsaraan’.
Walhasil, seperti di Belanda, di sana juga terjadi gagal panen. Gandum, kentang dan buah-buahan membusuk, juga roti cepat rusak. Konsekuensinya, di beberapa daerah, misalnya di Baden, Württemberg, dan Bayern, harga gandum naik drastis sehingga berdampak pada kemelaratan. Wood mencatat, fenomena kelangkaan pangan dan kelaparan juga melanda Irlandia.
Di Eropa secara umum masa ‘Year Without a Summer’ diingat sebagai ‘Poverty Year’ yang muram. Di Inggris kondisi itu menjadi rahim sejarah yang melahirkan novel kelam 'Frankenstein’ karya Mary Shelley. Sedangkan di Amerika, kisah muram masa itu menjadi bahan legenda, yang diceritakan lisan antargenerasi ke generasi penduduk desa. Tahun tanpa panas ini juga dikenang oleh masyarakat negeri itu sebagai fenomena ‘The Eighteen Hundred and Froze To Death’.
Dampak di wilayah lain, di sepanjang tepian Sungai Gangga di daerah Benggala. Pada 1817 merebak endemi kolera. Bermula dari Benggala wabah kolera yang mematikan itu kemudian menyebar ke dunia melalui beberapa fase.
Menyebar ke seantero dunia lewat jalur pelayaran, pada 1819-1820 wabah kolera mewabah ke Myanmar dan Thailand. Memasuki 1822-an, lantas menyebar ke Filipina, Jepang, Cina, dan Persia. Kemudian wabah ini menjangkiti Rusia di 1829, Paris di 1830, Inggris 1831, dan pesisir Amerika pada 1832.
Di daratan China tak kecuali. Bahkan di wilayah Yunnan, yang di Cina dikenal sebagai daerah sentral produksi pangan karena hampir sepanjang tahun daerah itu baik untuk ditanami, pada 1815-1818 juga melewati tahun tanpa panas. Walhasil, sepanjang periode itu, Cina juga mencatat terjadi tahun-tahun kegagalan panen dan kasus kelaparan, juga kematian. (W-1)