Kabupaten Jayapura memiliki keunikan tersendiri dari kabupaten atau daerah-daerah lain di Papua maupun Papua Barat. Sejak jabatan periode pertama 2012–2017, Mathius Awoitouw mendorong peran aktif masyarakat mulai dari masyarakat adat, kampung, hingga distrik.
Mathius membangkitkan semangat masyarakat adat untuk ikut mengambil bagian dalam pembangunan.
“Saya lihat di Jayapura ini dibandingkan sebelumnya sudah mulai menaruh harapan besar terhadap pemerintah. Kita punya tantangan bagaimana merespons itu dengan cepat. Kalau lama, mereka akan kembali lagi. Sistem birokrasi kita kan sulit berkomunikasi dengan kelompok mereka. Pemerintah harus bertanggung jawab, tapi sekarang... pemerintah harus beri faslitas. Ini yang harus kita benahi,” tuturnya.
Mathius Awoitouw dalam visi pembangunannya menyebut akan menjadikan Kabupaten Jayapura berjati diri. Ini berarti masyarakat Jayapura akan menunjukkan karakteristik dirinya pada kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan pemerintahan mulai dari kampung, distrik hingga kabupaten.
Selama itu, menurutnya sejak begabung dengan RI, masyarakat adat ada, tetapi tidak diberikan ruang oleh negara dalam sistem pembangunan. Tapi sekarang di Kabupaten Jayapura, masyarakat adat didorong untuk memiliki peran besar dalam menggerakkan pembangunan.
Mathius berpendapat, di Papua, masyarakat adat harus menjadi pemain utama, kalau tidak pembangunan tidak akan jalan. Atau bisa jalan, tapi bisa jadi akan ada masalah.
“Tidak mungkin kita bangun ini di udara, harus di atas tanah, ini problem. Pemerintah bilang negara bisa diatur, sesuai UUD, tapi masyarakat tidak paham, karena adat lebih dulu hadir daripada negara,” kata Bupati Mathius Awoitauw.
Kesadaran masyarakat adat untuk membangun bersama Kabupaten Jayapura sebenarnya sudah ada. Karena itu pemerintah kabupaten tinggal menyambut dengan memberi pendampingan kepada masyarakat.
Sementra itu pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sudah termaktub dalam konstitusi dan peraturan perundang-perundangan, termasuk dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua dan produk hukum daerah lainnya. Namun, sejak Perdasus diterbitkan pada 2008 mengenai masyarakat adat dan hak-haknya, sampai saat ini belum secara utuh dilaksanakan. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hak masyarakat adat dan permasalahan terkait dengan pengelolaan sumber-sumber kehidupan masyarakat adat dan pemberdayaannya.
Namun demikian, Pemerintah Kabupaten Jayapura tidak tinggal diam. Mereka telah menerbitkan produk hukum daerah untuk mengakui keberadaan dan menguatkan jati diri masyarakat adat. Pemerintah Kabupaten Jayapura mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura No 8 tahun 2016 tentang Kampung Adat.
Pembentukan Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai upaya menata pemerintahan kampung dan adat, pemerintah kampung adat, musyawarah adat, dan peradilan adat dalam rangka mengoptimalkan peranannya dalam penyelenggaraan dan pembangunan kampung adat serta pelayanan kepada masyarakat adat.
Adapun tujuan dibentuknya perda tentang kampung adat ini adalah, pertama, penguatan peran pemerintahan kampyng adat dalam system pemerintahan dan pembangunan daerah. Lalu kedua, pelestarian dan perlindungan terhadap adat istiadat yang hidup dan dipeliata di dalam masyarakat secara turun temurun. Kemudian yang ketiga memberikan ruang yang lebih luas kepada pemeritahan kampung dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah serta pelayanan kepada masyarakat.
Untuk percepatan pelaksanaannya, pemerintah membentuk Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA). Sebuah kelembagaan yang secara khusus menjalankan berbagai mandat dari produk hukum dan kebijakan terkait pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.
Ada tiga pilar yang menjadi dasar Pemerintah Kabupaten Jayapura dan para pihak yang tergabung dalam GTMA Jayapura. Ketga pilar tersebut adalah pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, pemetaan dan pengakuan wilayah adat, serta perencanaan pembangunan berbasis wilayah adat.
“Pemetaan ini perlu dilakukan dari awal, batas-batas wilayah adat, kampung. Kita kadang-kadang mengutamakan batas secara adminstratif. Kita tidak pernah memberi ruang atau perhatian terhadap batas wilayah adat. Padahal ini yang harus dipetakan sejak awal karena tanah dan hutan di sini dimiliki masyarakat adat,” tutur Mathius.
Untuk pemetaan wilayah Adat, pemerintah kabupaten Jayapura dibantu oleh Aliansi Masyarakat Adat (AMAN). Mengapa pemetaan ini penting, mengapa pemerintahan ini harus dikelola secara adat? “Karena masalah tanah, hutan, ini terus jadi konflik. Ada investasi besar datang ke sini juga tidak jadi jaminan. Investor jadi khawatir, karena tidak ada kepastian hukum, karena itu hal ini kita perhatikan, agar ada kepastian percepatan pembangunan,” tutur Mathius Awoitouw.
Di periode kedua kepemimpinannya 2017-2022, Mathius ingin lebih mensinergikan gerakan dari bawah. Mulai dari masyarakat adat, kampung, gereja, hingga distrik. Ia yakin, pembangunan di Kabupaten Jayapura pasti akan berjalan sesuai dengan keinginan jika ada sinergi atau koordinasi yang baik dari bawah hingga atas.
“Saya pikir kita harus ketemu. UUD 45 sudah memberi pengakuan, juga UU Otsus, UU Desa. UU No 6 tahun 2014 ini sangat memungkinkan, dan mudah di mana pemerintah dikelola secara adat”, kata Mathius. (E-2)