Sejak awal persiapan kemerdekaan, tema tentang ibu kota negara (IKN) tidak menjadi isu yang dianggap krusial. Undang-Undang tentang Jakarta sebagai IKN pun baru muncul pada 1999.
Ihwal Ibu Kota Negara (IKN) Republik Indonesia (RI) pernah dibahas dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) atas usulan Mr Mohammad Yamin. Namun, dalam sidang pada Juni 1945, mayoritas anggota BPUPK menolak pencantuman nama IKN ke dalam konstitusi negara. Risalah sidang hanya menyatakan, soal IKN itu nantinya dapat diputuskan oleh pemerintah atas persetujuan parlemen.
Maka, ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, isu IKN pun belum mengemuka. Yang penting merdeka dulu. Badan-badan kelengkapan negara pun segera dibentuk, seperti Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebagai parlemen sementara, dan kementerian-kementerian. Meski ada di Jakarta, tak semua punya kantor.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berkantor di rumah dinas masing-masing. Rapat kabinet dihelat di Kediaman Bung Karno di Jl Pegangsaan Timur nomor 56. Badan Pekerja KNIP menggelar sidang kadang kala di Jl Pejambon, yang kini menjadi Kantor Kementerian Luar Negeri, dan kadang pula di Jl Cilacap, pada sebuah bangunan bergaya kolonial yang kini masih utuh dan menjadi The Hermitage Hotel.
Republik muda ini belum bisa menunjukkan kekuasaannya. Sebagian bangunan perkantoran masih diduduki oleh bekas penguasa militer Jepang, dalam transisi penyerahan diri ke tentara sekutu. Mewakili pasukan sekutu yang menjadi pemenang perang Pasifik, tentara Inggris pun mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 29 Septembember 1945, yang disambut secara kooperatif oleh Pemerintah RI yang baru lahir.
Misi mereka melucuti pasukan Jepang dan membebaskan tawanan orang barat yang ada di tangan Nippon. Namun, di belakang pasukan Inggris itu ada kekuatan militer Belanda datang membonceng. Bukan hanya di Jakarta, penyusup juga masuk ke kota besar di Indonesia, seperti di Medan, Padang, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar, pada kurun September–November 1945.
Setelah melucuti pasukan Jepang, mereka pun menduduki bangunan-bangunan strategis di Jakarta, atas mandat untuk menegakkan ketertiban hukum. Pada saat yang sama, militer Belanda bergegas memperkuat diri seraya membentuk pemerintahan sementara yang disebut Nederlandsch Indische Civiele Administratie (NICA). Mereka berniat membangun kembali kekuasaan kolonialismenya dan secara terbuka menyatakan tak mengakui kemerdekaan Indonesia.
NICA terus mencoba membangun jejaring pemerintahan baru di Indonesia, tapi gagal memperoleh dukungan rakyat. Di Jakarta, menjelang akhir 1946, NICA menghidupkan lagi Kantor Burgemeester (Wali Kota) Batavia. Pejabat lama yang baru bebas dari status tawanan Jepang, Archibald Theodoor Bogaart, diangkat menjadi wali kota. NICA juga menolak penyebutan Batavia sebagai Jakarta, nama yang baru disematkan sejak era pendudukan Jepang awal 1942.
Jadi, di Jakarta ada dua pemerintahan daerah. Yakni, Wali Kota Jakarta Suwiryo di satu sisi yang mewakili RI dan Burgemeester Boogart yang mewakili NICA. Tak lama berselang, pecah perang pada Juli 1947 (Clash 1). Suwiryo ditangkap dan “diekstradisi” di Yogyakarta. Sedangkan, Theodoor Boogart bersiap-siap membangun kota satelit Batavia di kawasan Kebayoran pada 1948.
Ibu Kota Negara Berpindah
Di tengah upaya Pemerintah RI untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya, NICA pun menebar ancaman nyata. Provokasi berbau kekerasan mulai dilancarkan, dan mengancam jiwa para pemimpin republik muda itu. Bung Karno, Bung Hatta, dan sejumlah pemimpin lain pun hijrah ke Yogyakarta, pada awal Februari 1946 , dan menggelar pemerintahannya dari kota budaya tersebut.
Perpindahan para pemimpin itu diikuti oleh arus besar hijrah dari segenap aparatur pemerintahan dan berbagai unsur pendukungnya. Biasa disebut kaum republiken yang ribuan jumlahnya. Pusat pemerintahan pun pindah ke Yogyakarta. KNIP menyusul kemudian.
Namun, Yogyakarta rupanya tak bisa cepat menyediakan akomodasi untuk KNIP. Maka, sidang pleno KNIP 1946 digelar di Solo dan Sidang Paripurna 1947 dihelat di Kota Malang.
Pada akhirnya, NICA pun memberikan pukulan secara militer langsung ke jantung Pemerintahan RI. Yogyakarta diserbu dan diduduki oleh militer Belanda pada 19 Desember 1948. Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Mr Syafruddin Prawiranegara, yang berada di Bukit Tinggi, Sumatra Barat, untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Meski kawat resmi belum diterima, dan baru mendengar mandat itu melalui radio, Mr Syafruddin Prawiranegara pun membentuk PDRI. Deklarasinya dilakukan di Perkebunan Teh Halaban, sekitar 15 km dari Payakumbuh, Sumbar, pada 22 Desember 1945. Ia resmi menjabat sebagai Ketua PDRI.
Esok harinya, rombongan pemimpin PDRI itu bergerak ke Koto Tinggi, wilayah yang dianggap cukup aman dari potensi serangan prajurit NICA. Hari-hari berikutnya, Pemerintah PDRI itu berpindah dari satu nagari ke nagari lain, selama lebih dari enam bulan. Gubernur Militer Sumatra Barat SM Rasjid, yang juga anggota Kabinet PDRI, mengeluarkan maklumat mewajibkan semua wedana di wilayahnya mengerahkan kekuatan rakyat untuk melindungi PDRI.
Pertempuran mereda setelah Pemerintah RI dan Kerajaan Belanda sepakat menyelesaikan konflik militer itu di meja perundingan. Mr Syafruddin Prawiranegara kembali ke Yogyakarta, pada 13 Juli 1949, dan menyerahkan kembali mandatnya. Peristiwa politik berikutnya ialah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang ujungnya ialah pengakuan kemerdekaan Indonesia.
Evolusi Jakarta
Jakarta baru menjadi Ibu Kota Negara RI yang efektif sejak 1950. Presiden Soekarno secara resmi berkediaman di Istana Merdeka di Jl Merdeka Utara Jakarta yang sekaligus menjadi kantornya. DPR Sementara menempati bekas Military Society Concordia, di Lapangan Banteng. Bangunan itu kini telah dirombak dan menjadi bagian dari Gedung Kementerian Keuangan.
Sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta berstatus sebagai kotapraja yang dipimpin oleh seorang wali kota. Secara adminisratif, Kotapraja Jakarta berada di bawah Gubernur Jawa Barat. Wilayah Jakarta saat itu sudah 530 km2, mengikuti penataan wilayah pada masa pendudukan Jepang.
Ketika Kotapraja Batavia dibentuk pada 1905, wilayahnya hanya 125 km, dari sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa, Penjaringan, Kota Tua Batavia, Mangga Besar, Tanah Abang, Gambir, Ancol, dan Tanjung Priok. Pada 1929, Regentschap Meester Cornelis (Jatinegara) masuk digabung ke Batavia. Maka, daerah Kampung Melayu, Tebet, Pasar Minggu, Cipete, dan Kebayoran pun masuk ke dalam wilayah Gemeente Batavia.
Pemekaran berlanjut di era pendudukan Jepang. Kawasan Cilincing, Klender, Cakung, Pulo Gadung, dan sekitarnya yang di masa Kolonial Belanda masuk ke Regentschap Bekasi digeser masuk Jakarta. Begitu halnya Kepulauan Seribu, Cengkareng, Slipi, Kebon Jeruk, Cipete, Jagakarsa, Lenteng Agung, dan Cijantung. Maka luas wilayah daratan seluruhnya adalah 530 km (1950).
Dalam perkembangannya, wilayah Jakarta terus mekar menjadi 590 km2 pada 1967 dan pada 1978 tercatat luasnya 654 km2. Pertambahan luas ini terjadi karena ada penataan wilayah di perbatasan, yang membuat areal sejumlah desa di Jawa Barat dan Banten masuk ke Jakarta. Memasuki 2022 ini luas DKI Jakarta sudah mencapai 661 km2.
Ibu Kota Negara
Sampai 1959, Jakarta ialah kotapraja dan menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Baru pada tahun itu, status kotapraja berubah menjadi daerah otonomi tingkat satu (Dati I) yang dipimpin gubernur. Pada tahun 1961, statusnya diubah lagi, dari Dati I menjadi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Perubahan itu berdasarkan Surat Keputusan Presiden Soekarno.
Status itu baru mendapat penguatan hukum dengan disahkannya UU nomor 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Negara Republik Indonesia Jakarta, yang kemudian diperbarui dengan UU nomor 29 tahun 2007 dengan judul yang sama.
Namun, UU nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) telah mengamanatkan Pemerintah agar membangun IKN baru, dengan nama Nusantara, untuk Ibu Kota Negara Indonesia kelak. Pada saatnya nanti, UU nomor 29 tahun 2007 pun harus diamandemen lagi.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari