Bagi masyarakat Tanjung Punai di Provinsi Bangka Belitung, keberadaan mangrove merupakan sebuah warisan penting. Semakin hijau tanaman di hutan mangrove mereka, artinya akan ada banyak stok ikan di laut.
Tanjung Punai hanyalah nama sebuah dusun seluas 600 hektare di antara tujuh dusun di Desa Belo Laut, Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung (Babel). Jika dari Muntok, ibu kota Kabupaten Bangka Barat, Tanjung Punai dapat dicapai dalam 20 menit berkendara melewati jalan raya beraspal mulus.
Kalau dari Pangkalpinang, ibu kota Provinsi Babel, perjalanan menuju Muntok dan terus ke Tanjung Punai memakan waktu sekitar tiga jam berkendara. Dusun yang dihuni oleh hampir 200 kepala keluarga itu letaknya di tepi Selat Bangka yang memisahkan Bangka, pulau kaya timah, dan daratan Sumatra.
Kendati posisinya berada sedikit di luar pusat kota, kehidupan masyarakat dusun yang diapit Sungai Ahoy dan Sungai Sukai ini lebih sejahtera dibandingkan daerah lain di pesisir Muntok. Mayoritas penduduk Tanjung Punai kental dengan budaya bahari, sebagai nelayan atau petambak dan sebagian lainnya memilih membuka perkebunan lada, pisang, dan sayuran.
Tanjung Punai sungguh beruntung karena di dusun ini masih tersisa kawasan hutan mangrove alami yang tumbuh subur di atas lahan seluas hampir 2.000 ha. Ini menjadi bagian dari teritorial mangrove Muntok seluas total 3.337 ha yang tersebar di Belo Laut, Tanjung Punai, dan Dusun Sukai.
Kondisi itu kontras dengan apa yang dialami oleh provinsi berjuluk Serumpun Sebalai ini. Menurut data Walhi, Babel telah kehilangan 240.467,98 ha hutan mangrove dalam 20 tahun terakhir dan kini hanya menyisakan 33.224,83 ha.
Hutan mangrove Tanjung Punai yang membentang hingga ke perbatasan dengan Dusun Ahoy itu masuk ke dalam kawasan hutan lindung mangrove Bangka Barat yang dikelola oleh Kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Rambat Menduyung. Mangrove bersama padang lamun dan gambut menjadi benteng terakhir dalam menjaga karbon biru.
Mengutip dari website Kementerian Kelautan dan Perikanan, karbon biru atau blue carbon adalah istilah untuk cadangan emisi karbon yang diserap, disimpan, dan dilepaskan oleh ekosistem pesisir dan laut untuk mengurangi emisi penyebab perubahan iklim. Istilah karbon biru dilatarbelakangi oleh keadaan karbon yang terserap dan tersimpan di bawah air dan berhubungan dengan perairan.
Indonesia sendiri menyimpan potensi karbon biru sangat besar, mencapai 3,4 gigaton atau sekitar 17 persen dari total karbon biru dunia. Namun demikian, bagi masyarakat Tanjung Punai keberadaan mangrove merupakan sebuah warisan penting. Semakin hijau tanaman di hutan mangrove mereka, artinya akan ada banyak stok ikan di laut.
Sebab, kawasan mangrove menjadi rumah bagi ikan-ikan pesisir untuk berkembang biak dan membesarkan anak-anak mereka lantaran perairannya tenang dan hangat. Selain itu, mangrove yang selalu terjaga kelestariannya akan menjadi habitat paling nyaman bagi plankton, asupan alami terbaik bagi perkembangan anak-anak ikan. Semakin lestari mangrove, makin banyak pula populasi planktonnya.
Miliaran plankton ini selanjutnya akan menyebar ke perairan di sekitar sebagai makanan aneka ikan. Itulah sebabnya hasil tangkapan ikan nelayan Tanjung Punai sangat variatif, bukan cuma teri, belanak, udang, atau kepiting bakau. Para nelayan pun semakin sering mendapatkan ikan kerapu, bawal, kakap yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.
Empat Lapis
Hutan mangrove Tanjung Punai sungguh unik karena terdiri dari empat lapis tanaman aneka jenis yang menjorok sampai 200 meter sejak dari bibir pantainya. Pohon-pohon yang tumbuh di dalam hutan mangrove Tanjung Punai tumbuh lebat dan rapat, sehingga seperti permadani hijau jika dilihat dari udara.
Pada lapis pertama terdapat tanaman perepat (Sonneratia alba) yang tumbuh menjulang hingga 20-30 meter, mirip hutan hujan tropis di Kalimantan dan Sumatra. Lapis kedua adalah bakau (Rhizopora), diikuti nyiri batu (Xylocarpus moluccencis) di lapis ketiga. Lapis terakhir ada keluarga palma, yaitu nipah (Nypa fruticans wurmb) dan nibung (Oncosperma tigillarium).
Kesadaran masyarakat Tanjung Punai untuk menjaga hutan mangrove dan tidak merusaknya mulai tumbuh sejak beberapa tahun terakhir. Salah satunya diawali oleh Ardianeka, staf pengelola KPHP Rambat Menduyung. Ia mengajak masyarakat setempat pada 2019 untuk mendirikan tiga kelompok pemberdayaan.
Seperti diberitakan Antara, ketiganya yaitu Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), Kelompok Tani Hutan Tanjung Punai, dan Kelompok Usaha Mikro, Kecil Menengah Belangkas Berseri. Belangkas atau Limulidae adalah nama sejenis hewan air unik bertubuh pipih seperti ikan pari dengan ekor panjang.
Hewan purba yang sudah ada sejak 420 juta tahun lampau dan tidak berubah banyak bentuk fisiknya itu adalah penghuni setia hutan mangrove seperti halnya di Tanjung Punai. Beruntung, belangkas atau horseshoe crab ini tidak menjadi tangkapan favorit nelayan setempat, lantaran pemerintah sudah melindungi satwa nokturnal tersebut.
Ardianeka ikut mengarahkan para nelayan untuk membangun semacam pusat penangkaran belangkas agar populasinya semakin berkembang. Sekitar 200 meter dari tepi hutan mangrove, tepatnya di pesisir berlumpur pantai dusun, pihak KPHP Rambat Menduyung mengajak sekitar 50 kepala keluarga Tanjung Punai untuk mengembangkan budi daya kerang darah (Anadara granosa).
Setiap petambak mengelola lahan tambak seluas minimal 1 ha dan maksimal 10 ha, bergantung permodalan yang dimiliki. Dalam satu periode pembesaran selama enam bulan, setiap petambak menebar sekitar satu ton bibit kerang darah dan ketika dipanen menghasilkan rata-rata tiga ton kerang darah dewasa.
Kerang darah merupakan salah satu komoditas hasil laut dan pesisir andalan dari Tanjung Punai dan banyak dicari oleh masyarakat Pulau Bangka dan Kota Palembang. Setidaknya hampir 600 ton kerang darah diperdagangkan keluar dari Kecamatan Muntok ke daerah lain.
Petambak bernama Masiha mengatakan, ukuran kerang darah dari daerahnya jauh lebih besar dibandingkan tempat lain. Begitu pula untuk dagingnya, jauh lebih padat. Masiha meyakini, keberadaan hutan mangrove yang masih sehat dan sebagai rumah miliaran plankton secara tidak langsung turut menyumbang pertumbuhan fisik kerang darah.
Dapat Bantuan
Masyarakat nelayan dan tambak pun diarahkan oleh KPHP Rambat Menduyung mengolah hasil tangkapan dan tambak menjadi produk olahan seperti makanan kering agar nilai ekonominya makin meningkat. Pemberdayaan itu dilakukan memanfaatkan keberadaan Kelompok UMKM Belangkas Berseri. Upaya itu mendapat dukungan dari sebuah perusahaan tambang timah swasta yang beroperasi di Muntok.
Mereka pada Desember 2022 lalu menghibahkan dua unit mesin vacuum frying senilai Rp61,5 juta beserta rumah gardunya lewat program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Penjabat Gubernur Babel, Ridwan Djamaluddin telah meresmikan pemanfaatan bantuan tersebut pada 22 Februari 2023.
Ridwan mengajak masyarakat Tanjung Punai untuk mengelola hasil tangkapan sambil tetap menjaga kelestarian alam. "Kekayaan alam yang ada sekarang ini harus memberi manfaat kepada masyarakat dan lingkungan Dusun Tanjung Punai," kata Ridwan yang juga Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral seperti dikutip dari website Pemerintah Kabupaten Bangka Barat.
Pokdarwis Tanjung Punai yang dimotori oleh anak-anak muda juga tak mau kalah. Sejak Desember 2022, mereka membangun kanopi berupa jalan selebar 50 sentimeter terbuat dari papan. Jalan tersebut panjangnya sekitar 300 meter mengelilingi kawasan hutan mangrove. Rencananya mereka akan menawarkan paket wisata berjalan di atas jalan kayu dipayungi kerindangan hutan mangrove Tanjung Punai.
Bagi masyarakat Tanjung Punai, keberadaan hutan mangrove yang masih terjaga merupakan berkah yang dapat dimanfaatkan secara bijak supaya bisa diwariskan bagi kehidupan generasi berikutnya.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari