Indonesia.go.id - Pesona Kain Pewarna Alami dari Pesisir Kalimantan Barat

Pesona Kain Pewarna Alami dari Pesisir Kalimantan Barat

  • Administrator
  • Kamis, 15 Juni 2023 | 13:31 WIB
WASTRA
  Kain tenun Lunggi, kain tenun masyarakat Sambas yang proses pewarnaannya menggunakan bahan alamiah. KEMENDIKBUD
Kain tenun dengan bahan pewarna alam banyak dicari konsumen meski harga per lembarnya lebih tinggi.

Di sejumlah daerah kini sangat mudah ditemui adanya desa wisata. Tak dipungkiri, pemerintah kini tengah gencar mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan desa wisata untuk mendongkrak pariwisata lokal.

Tidak itu saja, melalui desa wisata, percepatan pembangunan desa secara terpadu bisa digeber untuk mendorong transformasi sosial, budaya, dan ekonomi desa. Apalagi, kini tiap desa sudah memiliki dana desa yang berasal dari APBN.

Demikian pula dengan inisiatif keberadaan Desa Wisata Budaya Tenun, yang berlokasi di Desa Sumber Harapan, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Desa wisata itu kini mulai dikenal sebagai sentra kain tenun lunggi dari pesisir Kalimantan Barat oleh wisatawan mancanegara, minimal bagi negara tetangganya, yakni Malaysia (Serawak) dan Brunai Darussalam.

“Benar, kini banyak wisman asal Malaysia dan Brunei datang ke tempat kami [Sambas]. Mereka datang menggunakan kendaraan pribadi atau berombongan menggunakan bis. Alhamdulillah, kampung kami sudah mulai rame [ramai] yang berkunjung, sejak kain tenun lunggi mulai dikenal,” ujar Sasmita, guru di salah satu SMAN di kota tersebut dalam satu dialog bersama Indonesia.go.id belum lama ini.

Keunikan kain tenun lunggi dari Sambas, menurut Sasmita, adalah kain yang dibuat dengan menggunakan pewarna alam. “Kain tenun dengan bahan pewarna alam banyak dicari konsumen meski harga per lembarnya mahal,” tuturnya.

Sebagai penduduk Sambas, Sasmita merasa sangat bangga karena kini daerahnya memiliki produk unggulan, kain tenun lunggi. Kini kebanyakan produk tenun lunggi yang dicari adalah kain dengan pewarna alam.

Wajar saja, seiring dengan tuntutan back to nature atau kembali ke alam, kini perajin kain tradisional cenderung menggunakan pewarna alam. Pasalnya, penggunaan tumbuhan pewarna alami dalam tenun tradisional menambah nilai jual dan keunikannya terutama di pasar internasional.

Nah, di Desa Sumber Harapan, berdasarkan satu penelitian yang pernah dilakukan Universitas Tanjung Pura, ada sebanyak 30 jenis pewarna yang digunakan oleh perajin kain tenun di daerah tersebut. Jenis pewarna alam itu, antara lain, tumbuhan mengkudu (Morinda citrifolia), kunyit (Curcuma domestica), engkerebai (Psychoteria sp.), beting (spesies belum diketahui), sebangki (campuran kulit kayu dari jenis Neesia spp. dan Tristaniopsis spp.) yang banyak digunakan masyarakat Dayak dari berbagai subsuku di berbagai daerah di Kalimantan Barat.

Bagian tumbuhan yang biasanya digunakan sebagai pewarna adalah akar, rimpang, daun, batang, atau kulit batang, bunga, maupun buah. Di mana semua bagian itu bisa menghasilkan warna yang bervariasi pula.

Bagaimana setelah proses pewarnaan benang, perajin melanjutkannya dengan menggulung benang dengan menggunakan alat yang bernama tarawan, dan proses selanjutnya adalah proses mengikat motif dan menenun, dengan bahan sutra, lalu dikombinasikan dengan benang emas. Motif tumpal atau pucuk rebung adalah ciri khas kain lunggi khas Sambas.

“Keberadaan desa wisata tenun asal Sambas di Desa Sumber Harapan menjadi solusi bagi perajin dalam membuka pasar lebih luas untuk produk unggulan daerah itu,” ujar Sasmita tersenyum.

Selain melestarikan budaya turun-temurun, adanya desa tenun ini sangat diharapkan bisa menopang perekonomian masyarakat lokal dan menciptakan destinasi wisata baru di Kabupaten Sambas.

Sebagai informasi, di Sambas terdapat lebih dari 1.000 perajin yang terdata. Sementara itu, keunikan motif kain tenun lunggi adalah kain itu disebut juga kain bannang ammas karena salah satu bahan yang digunakan adalah benang yang berwarna kuning keemasan.

Kain tenun khas Sambas itu dibuat dari benang dengan aneka warna, termasuk benang emas yang menjadi ciri khas kain tenun ini. Dalam perkembangannya, motif tanaman yang tumbuh di sekitar sungai di Sambas juga dijadikan motif kain tenun lunggi.

Salah satu ciri khas lainnya dari tenun lunggi Sambas adalah motif pucuknya. Motif pucuk rebung berbentuk segi tiga, memanjang, dan lancip. Disebut pucuk rebung karena merupakan proses sterilisasi dari tunas bambu muda.

Penggunaan pucuk rebung sebagai ciri khas tenun ini bukan sebuah kebetulan, tetapi memiliki makna yang luas dan mendalam. Sedikitnya ada tiga makna dari penggunaan motif ini sebagai ciri khas. Pertama, sebagai pengingat agar orang-orang Sambas terus berupaya untuk maju.

Kedua, orang Sambas harus senantiasa berpikiran lurus, sebagaimana tumbuhnya pucuk rebung, yakni selalu tumbuh lurus hingga menjulang tinggi. Ketiga, jika mencapai puncak tertinggi, tidak boleh sombong dan arogan, sebagaimana pohon bambu yang selalu merunduk ketika telah tinggi.

Motif-motif untuk tenun selalu berkembang disesuaikan dengan keadaan sekarang. Pada masa lalu penenun cenderung berkarya tergantung pada motif-motif tertentu, kini seiring dengan perjalanan waktu dan banyak pesanan yang disesuaikan dengan jenis produksi tenun yang dihasilkan,

"Karakternya terasa lebih feminin. Kalau songket Palembang kesannya lebih gagah," tambah Tini, satu pegawai Pemkab Sambas.

Kain tenun lunggi, tambah Tini, memiliki kelenturan bisa digunakan di segala acara, tidak untuk peruntukan acara tertentu, seperti acara pernikahan atau acara kelahiran sehingga aman untuk segala kesempatan.

Bila dirunut sejarahnya, kain tenun di masyarakat Sambas mulai dikenal dan melakukan praktek menenun secara tradisional pada masa pemerintahan Raden Bima (Sultan Sambas ke-2, yang memerintah pada 1668--1708) yang bergelar Sultan Muhammad Tajudin, menggantikan ayahandanya Raden Sulaiman bin Raja Tengah.

Sejak masa itulah menenun menjadi seni kerajinan dan diwariskan secara turun-temurun sampai sekarang di daerah tersebut. Di masa Hindia Belanda, gairah menenun dan jumlah kain tenun yang dihasilkan cukup menggembirakan dan boleh dikata hampir di setiap kampung ada perajin dan memiliki alat tenun sendiri.

Dalam memproduksi tenun ini, perajin itu membentuk kelompok usaha tenun yang dinamakan Kelompok Usaha Bersama (KUB), antara lain, KUB Mawar yang berada di Desa Jagur, KUB Melati di Desa Tanjung Mekar dan KUB Tabur Bintang di Desa Sumber Harapan.

Nama-nama KUB ini diambil dari nama-nama motif yang biasa dipakai dalam pembuatan tenun Sambas. Nah, seperti pembuatan kain tenun di Indonesia, termasuk bagi perajin tenun lunggi Sambas, dibutuhkan waktu lumayan lama untuk bisa menghasilkan selembar kain. Namun bila motifnya biasa, mereka dapat menyelesaikan dalam waktu dua minggu atau lebih cepat.

Keanekaragaman jenis kain yang dimiliki bangsa ini menunjukkan kekayaan budaya dari Indonesia. Yuk, selamatkan kekayaan budaya itu dengan menggunakannya.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari