Indonesia.go.id - Tradisi Menjaga Alam dari Peradaban Sungai Batanghari

Tradisi Menjaga Alam dari Peradaban Sungai Batanghari

  • Administrator
  • Jumat, 6 Oktober 2023 | 21:58 WIB
BUDAYA
  Pertunjukan tari di Festival Junjung Pusako Jambi yang digelar oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Pemerintah Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Kemenparekraf
Ritus Junjung Pusako merupakan cara turun-temurun untuk memulai musim bertanam padi ladang, yang memantulkan kearifan lokal di bidang pertanian, yang dijiwai oleh nilai kebersamaan, kekompakan, dan gotong royong.

Sepanjang 2023, Provinsi Jambi menggelar perhelatan Kenduri Swarnabhumi. Dari rangkaian perhelatan tersebut, pemerintah Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, menggelar Festival Junjung Pusako, di Desa Tanjung Gagak, Kecamatan Bathin VIII, pada Rabu (27/9/2023).

Turut hadir dalam festival ini, Gubernur Jambi Al Haris. Ia menuturkan, rangkaian Kenduri Swarnabhumi ini menjadi momentum tafsiran ulang sejarah Jambi sebagai sebuah daerah yang memiliki peradaban panjang dan akar budaya kuat. Hal tersebut, kata Al Haris, dapat ditelaah mulai dari kehadiran Candi Muaro Jambi karya peradaban Buddha di Laut Cina Selatan yang berlanjut munculnya Kerajaan Melayu Jambi hingga akhirnya masuk pengaruh Islam.

“Sungai Batanghari saksi bisu perjalanan peradaban Jambi. Kita ingin mengulang sejarah itu, dengan menghidupkan kembali akar budaya yang lahir di sepanjang sungai tersebut, masa ketika perdagangan dan agama jadi salah satu pusat kegiatan di Jambi,” papar Al Haris seperti dikutip dari laman Kemendikbudristek.

Junjung pusako merupakan tradisi yang telah lama dipegang teguh masyarakat Desa Tanjung Gagak dan terus melekat hingga kini. Pelaksanaan adat junjung pusako berlangsung setahun sekali setiap 12 Rabiul Awal dalam kalender Islam.

Keunikan junjung pusako adalah sebuah kain panjang yang membungkus di dalamnya berisikan tulisan kuno karya tangan manusia sepanjang 20 sentimeter, bulu, dan keris. Kemudian kain panjang tersebut dibuka untuk diasapkan dan ditaburkan kembang tujuh warna.

Setelah prosesi tersebut usai, kain panjang tadi kemudian dibawa ke tanah lapang untuk disambut oleh masyarakat Desa Tanjung Gagak. Selanjutnya mulailah dikerjakan ritual membersihkan tujuh alat pusaka yaitu keris, tanduk, tabuh air minum dan tempat surat, kain batik irik-irik, batu, igak padi, jago padi, dan tempat rambut Putri Susu Tunggal.

Ritus Junjung Pusako merupakan cara turun-temurun untuk memulai musim bertanam padi ladang, yang memantulkan kearifan lokal di bidang pertanian, yang dijiwai oleh nilai kebersamaan, kekompakan, dan gotong royong. Ritus ini juga sebagai bentuk kekayaan budaya, yang dapat terus menjadi sumber penciptaan karya dan pengetahuan baru.

Hal itu sesuai dengan semangat perayaan Kenduri Swarnabhumi yang menatap daerah-daerah yang dialiri sungai Batanghari sebagai daerah pusat peradaban unggul di masa lalu. Sungai Batanghari itu sendiri, dua hulunya mengaliri Sarolangun, yakni sungai Tembesi dan sungai Batang Asai.

Pelaksana tugas (Plt) Bupati Sarolangun Bachril Bakrie mengatakan, menjaga tradisi Junjung Pusako, adalah menjaga alam, menjaga sungai, dan menjaga kebudayaan. Adapun bentuk kegiatan dalam Festival Junjung Pusako yaitu senam massal di pagi hari, dilanjutkan dengan parade budaya, penanaman bibit pohon, pentas seni tarian lokal, serta penampilan musikalitas daerah pada malam hari.

Dalam parade budaya ini, masyarakat dari sebelas kecamatan juga turut serta dengan memamerkan ciri kearifan lokalnya masing-masing. Begitu pula sejumlah murid jenjang SD, SMP, dan SMA tampak ikut memeriahkan Festival Junjung Pusako dengan berpartisipasi pada senam massal.

Selanjutnya, penanaman pohon Daerah Aliran Sungai (DAS) Desa Tanjung Gagak yang menjadi simbol keikutsertaan masyarakat Sarolangun untuk ikut menjaga kelestarian sungai Batanghari. Adapun bibit yang ditanam ialah pohon trembesi dan mahoni.

Sebagai penutup festival, tampil pertunjukan Merencam, yang menggambarkan tradisi bertanam padi masyarakat Desa Tanjung Gagak. Proses dimulai dari prosesi merencam dan bertanam, dilanjutkan dengan gambaran kegiatan ketika padi telah masak, di mana padi digiling dengan teknologi tradisional yang dinamakan kisa.

Dari kisa, padi yang telah menjadi bulir ditumbuk oleh para ibu dengan lesung dan antan. Maka seterusnya beras ditampian dengan menggunakan niru, hingga akhirnya diperoleh beras bersih yang siap ditanak menjadi nasi.

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari