Mempertahankan ajaran leluhur tentang kearifan lokal terhadap ketahanan pangan menjadi kunci keberhasilan warga Kaolotan Jamrut melewati dampak El Nino.
Terik mentari di siang bolong tak mengurangi semangat masyarakat adat Kaolotan Jamrut, Desa Wangunjaya, pedalaman Kabupaten Lebak, Banten. Mereka terus saja beraktivitas memasukkan padi hasil panenan pada September 2023 ke leuit atau lumbung pangan dan berbentuk mirip seperti gubuk kecil.
Leuit ini tersusun dari bilah-bilah bambu, kemudian diberi dinding gedek atau jalinan kulit batang bambu serta ditutup dengan atap rumbia. Umumnya, leuit dibangun di area halaman belakang rumah penduduk. Tak terasa, leuit pun sudah sesak oleh susunan padi kering yang dipanggul petani melintasi jalan setapak dari persawahan berjarak sekitar 2-2,5 kilometer menuju kediaman masing-masing.
Jumlah leuit di Desa Kaolotan Jamrut tercatat sebanyak 174 unit dengan kapasitas tampung gabah mencapai 2 ton per bangunan. Sehingga, jika ditotal gabah kering yang mampu tersimpan di semua leuit itu bisa sebanyak 348 ton. Bukan itu saja, karena masih ada gabah yang dijadikan cadangan pangan masyarakat adat. Konon, ada yang sudah berusia 30 tahun.
Melihat dari ketersediaan gabah sebanyak 348 ton milik masyarakat setempat, dipastikan sebanyak 87 keluarga masyarakat adat Kaolotan Jamrut tak perlu khawatir akan kesulitan mendapatkan pangan. Lantaran kebutuhan pangan mereka telah tercukupi hingga tahun 2024.
Menariknya, sampai saat ini belum ada warga Kaolotan yang sampai harus membeli beras meski kemarau panjang tengah melanda akibat fenomena El Nino. Bahkan, tetua adat bernama Dulmanan mengisahkan, sejak zaman penjajahan kolonial Belanda, masyarakat Kaolotan belum pernah mengalami kerawanan pangan dan sampai kelaparan.
Resepnya menurut pria berusia 55 tahun tersebut seperti dilansir Antara, setiap panen yang dilakukan setahun sekali, maka masyarakat wajib menyimpan gabah di leuit untuk cadangan pangan keluarga. Aturan itu diwariskan oleh para leluhur Kaolotan kepada keturunan mereka agar tidak menimbulkan kerawanan pangan maupun kelaparan ketika padi diserang penyakit yang mengakibatkan gagal panen.
Keberadaan leuit juga bermanfaat ketika terdampak bencana alam maupun terjadi konflik sosial dan perang karena masih memiliki cadangan pangan untuk dikonsumsi keluarga. Sekitar 99 persen warga masyarakat adat Kaolotan Jamrut berprofesi petani dengan total lahan garapan seluas 60 hektare. Selain itu, sejumlah warga juga berprofesi sebagai perajin gula nira dan pekebun kopi.
Beras Ungu Organik
Masyarakat adat Kaolotan merupakan pengikut Kerajaan Banten dan memeluk agama Islam. Mereka tinggal wilayah di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut dan masih menjaga dan melestarikan beras ungu (riceberry) yang kini terancam langka. Sebab, beras ungu organik itu asli dari moyang leluhur adat Kaolotan.
Beruntung, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Dinas Pertanian siap menampung beras ungu organik produksi Kaolotan. Saat ini, petani juga tengah mengembangkan beras ungu organik seluas 10 hektare dan gerakan tanam serentak yang dilakukan mulai pekan depan.
Pengembangan beras ungu organik dengan varietas benih lokal ini dilakukan guna meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat di daerah itu. "Kami mengembangkan beras ungu organik itu agar tidak terjadi kelangkaan di tengah permintaan pasar yang cukup tinggi," kata Ketua Koordinator Wilayah Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Cigemblong, Kabupaten Lebak, Yusep Saeful Anwar.
Padi ungu organik Kaolotan itu dipanen pada usia 6 bulan di lahan persawahan dengan sistem irigasi tradisional yang baik. Beras ungu organik Kaolotan bahkan telah mendapatkan Sertifikat Konversi Organik dari Kementerian Pertanian. Menurut pemerhati kesehatan dari Rumah Sakit Universitas Indonesia, dr. Patricia Lukas Goentoro, beras ungu atau dikenal pula sebagai beras hitam karena akan menghitam ketika dimasak, memiliki banyak manfaat.
Beras ungu mengandung fitonutrien seperti flavonoid, karotenoid, dan antosianin yang memberikan manfaat luar biasa bagi kesehatan. Juga sebagai sumber karbohidrat dari jenis gandum utuh seperti halnya beras merah yang bebas kandungan gluten. Artinya, orang dengan penyakit celiac atau alergi gluten boleh mengonsumsi nasi dari beras jenis ini.
Selain itu, beras ungu bermanfaat bagi kesehatan tubuh, terutama berkaitan dengan penurunan risiko kematian akibat penyakit jantung. Kandungan pigmen ungu atau antosianin dalam beras ungu bermanfaat dalam menurunkan kadar kolesterol jahat atau LDL (Low Density Lipoprotein).
Gula Aren
Melihat beragam manfaatnya, pantas jika harga beras jenis ini di atas rata-rata pada umumnya. Untuk ukuran 900 gram, dijual senilai Rp25 ribu. Tak hanya beras, masyarakat adat Kaolotan juga mengandalkan nira untuk menghasilkan gula aren yang nilai jualnya mencapai Rp40 ribu per kilogram. Terdapat sekitar 800-1.000 hektare lahan ditanami nira di Kaolotan.
Lahan seluas itu dapat menghasilkan gula aren sebanyak 5 ton dalam sepekan. Artinya, dalam satu bulan, dapat dihasilkan uang sebesar Rp800 juta untuk gula aren sebanyak 20 ton. Tak sampai di situ saja, karena warga Kaolotan juga memproduksi pupuk organik dengan perputaran uang mencapai Rp90 juta per pekan.
Sebagian produksi pupuknya dipakai untuk kebutuhan setempat guna menyuburkan lahan pertanian serta perkebunan warga tanpa sentuhan unsur kimia sedikit pun. Produksi pertanian dan perkebunan seperti beras dan gula aren sudah dipasarkan ke daerah-daerah seperti Bandung, Garut, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Bekasi, dan Tangerang.
Ketika daerah lain masih berkutat dengan upaya mengendalikan pangan karena El Nino, justru sebaliknya masyarakat adat Kaolotan menikmati hasil dari kelimpahan pangan dan mampu menjualnya ke luar desa. Ini semua karena mereka mengikuti aturan adat yang telah diwariskan dari leluhur sebelumnya.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari