Kementerian Pemuda dan Olahraga juga terus berupaya meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia, salah satunya dengan memperbaiki infrastruktur dan mencetak lapangan hingga pelatih berkualitas.
Prestasi tim nasional sepak bola junior di tingkat ASEAN maupun Asia cukup membanggakan. Setidaknya di jenjang U-16, U-18, dan U-19. Dalam lima tahun terakhir, bibit-bibit pemain Garuda Muda tidak hanya berasal dari Sekolah Sepak Bola (SSB) tapi juga klub binaan Liga 1 dan Liga 2.
Itu dibuktikan dengan komitmen PSSI dan PT Liga Indonesia dalam memutar kompetisi Elite Pro Academy (EPA) untuk jenjang U-14, U-16, U-16 hingga U-20. Adapun kompetisi legendaris Soeratin Cup untuk U-13, U-15, dan U-17 juga kembali digelar mulai Desember 2023.
Dari kompetisi lokal, sejauh mana pemain muda Indonesia bisa melangkah jauh ke level dunia? Maka dari itu, perhelatan Piala Dunia U-17 2023 di Indonesia menjadi momentum penting bagi pengembangan sepak bola nasional. Meski gagal lolos ke babak 16 besar, penampilan Tim Garuda Muda di bawah kelompok umur 17 tahun (Timnas U-17) Indonesia asuhan Bima Sakti mendapat apresiasi dari berbagai pihak.
Salah satu yang patut diapresiasi adalah kemampuan Timnas U-17 Indonesia untuk mengimbangi tim-tim kuat seperti Ekuador dan Panama. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sepak bola Indonesia di usia muda masih sangat besar.
Setelah ini, Indonesia pun memupuk mimpi untuk bisa menembus Piala Dunia level senior pada 2030 dan seterusnya. Namun untuk bisa menembus Piala Dunia senior, Timnas U-17 Indonesia masih membutuhkan pembinaan dan kompetisi yang lebih baik. Hal ini diakui oleh Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Surono.
Momentum ini dikupas dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema ‘Momentum Regenerasi Sepak Bola Indonesia’, Senin (20/11/2023), Surono mengatakan, Pembinaan Timnas U-17 Indonesia sudah berjalan dengan baik. “Namun, kita perlu peningkatan kualitas pelatih dan kompetisi yang lebih kompetitif,” ujarnya.
Deputi Kemenpora Surono memaparkan, pembinaan sepak bola usia muda di Indonesia perlu dilakukan secara berjenjang, mulai dari usia dini hingga usia remaja. Pembinaan di usia dini (U-10) berfokus pada pengembangan keterampilan dasar. Sementara di usia remaja (U-12 sampai U-17) anak-anak mulai dilatih untuk fokus pada pengembangan taktik dan fisik.
Pembinaan sepak bola usia muda di Indonesia juga perlu dilakukan secara komprehensif, tidak hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga aspek taktik, fisik, mental, dan psikologis. Salah satunya, kompetisi Elite Pro Academy U-16 dan U-18. Kompetisi ini bertujuan untuk memberikan pengalaman bermain yang kompetitif bagi para pemain usia dini.
Kementerian Pemuda dan Olahraga juga terus berupaya meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia, salah satunya dengan memperbaiki infrastruktur dan mencetak lapangan hingga pelatih berkualitas. Di samping itu, Kemenpora juga mendorong pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat untuk membangun lapangan sepak bola yang memenuhi standar nasional.
“Stadion itu sebenarnya hanya untuk kemegahan dan untuk kompetisi. Tetapi yang terpenting yang sekarang ini, jutaan anak-anak atau 30 juta itu yang kita perlukan adalah bagaimana memperbanyak lapangan rumput yang standar nasional,” jelasnya.
Menurut dia, lapangan sepak bola yang berkualitas penting untuk mencetak pemain sepak bola yang memiliki teknik dasar yang baik. Hal ini dapat dicapai apabila fasilitas pendukungnya sudah memadai. Oleh karena itu, Kemenpora bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) membuat program Satu Desa Satu Lapangan. Program ini bertujuan untuk menyediakan lapangan olahraga yang layak dan memadai di setiap desa di Indonesia.
Kuncinya pada Kompetisi
Dalam forum yang sama, pengamat olahraga Sapto Haryo Rajasa menyoroti pentingnya sinkronisasi pembinaan sepak bola dari usia dini. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia di masa depan.
Dia pun bercerita tentang pengalamannya saat meliput turnamen sepak bola usia 14 tahun di Bali. Ia melihat bahwa pemain-pemain muda Thailand memiliki keunggulan teknis yang signifikan dibandingkan pemain-pemain Indonesia.
“Saat itu saya tanya kepada pemain Thailand, mereka main di mana. Ternyata mereka sudah tergabung di klub-klub profesional sejak usia 12-13 tahun. Sedangkan pemain Indonesia masih bermain di SSB atau sekolah,” ujar Sapto.
Perbedaan ini, menurut Sapto, disebabkan oleh perbedaan sistem pembinaan sepak bola di kedua negara. Thailand memiliki kompetisi sepak bola junior yang reguler dan berkelanjutan. Sementara di Indonesia, kompetisi sepak bola junior masih bersifat turnamen yang digelar secara berkala.
Oleh karena itu, Sapto menyarankan agar PSSI dan pemerintah bekerja sama untuk mewujudkan sinkronisasi pembinaan sepak bola dari usia dini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengafiliasi SSB dengan klub-klub profesional.
“SSB harus terafiliasi dengan klub-klub profesional. Dengan begitu, pemain-pemain muda akan mendapatkan kesempatan bermain di kompetisi yang reguler dan berkelanjutan,” kata Sapto.
Dengan demikian, adanya sinkronisasi pembinaan sepak bola dari usia dini, diharapkan Indonesia dapat meningkatkan kualitas sepak bolanya dan menjadi kekuatan sepak bola dunia di masa depan.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari