Keindahan makna dan simbol dalam Sumbu Filosofi Yogyakarta karya Sultan Hamengku Buwana I mengingatkan setiap orang akan proses kehidupan.
Yogyakarta merupakan satu dari sedikit kota di Indonesia dengan konsep tata ruang kewilayahan sarat makna. Salah satu yang terkenal adalah Sumbu Filosofi Yogyakarta peninggalan Pangeran Mangkubumi. Ia pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bergelar Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah.
Pangeran Mangkubumi atau lebih dikenal sebagai Sultan Hamengku Buwana I tersebut ingin membangun sebuah kota yang memegang teguh nilai-nilai historis berlandaskan filosofi seorang pemimpin kepada rakyatnya. Konsep Sumbu Filosofi Yogyakarta dicetuskan Sultan Hamengku Buwana I usai melaksanakan Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755 silam.
Putra Sunan Amangkurat IV itu membangun pusat kerajaannya berdasarkan konsepsi Jawa mengacu pada bentang alam seperti gunung, laut, sungai, serta daratan. Lokasinya dipilih dekat sumber mata air Umbul Pacethokan. Kontur tanah wilayah bangunan keraton lebih tinggi, seperti di atas punggung kura-kura, dengan diapit oleh enam sungai, tiga di timur, dan tiga di barat. Sehingga terbebas dari banjir.
Seperti dikutip dari website Keraton Yogyakarta bahwa Laut Selatan, Gunung Merapi, dan keraton digambarkan oleh pendiri kerajaan sebagai sebuah sumbu imajiner. Kendati tidak persis berada di dalam satu garis lurus. Menurut buku Toponim Kota Yogyakarta karya Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, sumbu nyata membentang dari utara ke selatan dalam satu garis lurus membentuk jalan menghubungkan Tugu Golong Gilig, keraton, dan Panggung Krapyak.
Di dalamnya tergambar perwujudan falsafah Jawa tentang keberadaan manusia meliputi daur hidup manusia (Sangkan Paraning Dumadi), kehidupan harmonis antarmanusia dan manusia dengan alam (Hamemayu Hayuning Bawana). Lalu, hubungan antara manusia dan Sang Pencipta serta pemimpin dengan rakyatnya (Manunggaling Kawula Gusti). Tak lupa, dunia mikrokosmik dan makrokosmik.
Panggung Krapyak letaknya sekitar 2 kilometer dari Keraton Yogyakarta. Bentuknya segi empat setinggi sekira 10 meter, lebar 13 meter, dan panjang 13 meter. Panggung Krapyak berupa bangunan dua lantai. Pada lantai atas berwujud ruang terbuka berpagar. Dulunya bangunan ini digunakan sultan untuk menyaksikan prajurit atau kerabatnya dalam berburu (ngrapyak) rusa.
Perjalanan dari Panggung Krapyak menuju Keraton mewakili konsepsi sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia. Sedangkan perjalanan dari Tugu Golong Gilig menuju ke Keraton mewakili filosofi paran (tujuan) yaitu perjalanan manusia menuju Penciptanya.
Tugu Golong Gilig semula tingginya 25 meter dengan puncak berwujud golong (bola) dan badan tugu berbentuk kerucut terpancung bulat panjang (gilig). Karena tugu tersebut berwarna putih maka dalam bahasa Belanda disebut De Witte Paal atau Tugu Pal Putih. Tugu asli telah porak poranda dihantam bencana gempa bumi pada 1867 silam dan dibangun kembali melalui bantuan pemerintah kolonial dan berdiri kokoh sampai hari ini.
Secara filosofis, Tugu Golong Gilig melambangkan golonging cipta, rasa, lan karsa untuk menghadap Sang Khalik atau bersatunya seluruh kehendak untuk menghadap Sang Pencipta. Warna putih dipilih untuk melambangkan kesucian hati. Tugu dihubungkan oleh ruas Jalan Margatama yang bermakna jalan menuju keutamaan dan Jalan Maliabara (Jalan Malioboro), atau obor penerang.
Terdapat pula Jalan Margamulya yang berarti jalan menuju kemuliaan. Untuk dapat mencapai kemuliaan tersebut, manusia harus bisa mengusir (ngurak) seluruh nafsu buruk. Oleh sebab itu, ruas berikutnya dinamai sebagai Jalan Pangurakan. Seluruh ruas jalan tadi berakhir di Alun-Alun Utara.
Pohon Kehidupan
Menurut Sunjata dalam bukunya Makna Simbolik Tumbuh-Tumbuhan dan Bangunan Kraton: Suatu Kajian Terhadap Serat Salokapatra, aneka pohon yang ditanam di sekitar keraton sebagai media menambatkan makna kehidupan. Misalnya pohon asam atau asem (Tamarindus indica) dan tanjung (Mimusops elengi) yang bermakna anak muda. Ikut ditanam pohon jambu dersana (Syzgium malaccense/Eugenia malaccensis) yang bermakna keteladanan (sinudarsana).
Kemudian, di Alun-Alun Selatan ditanam pohon kweni melambangkan pemuda yang telah berani (wani) meminang gadis pujaannya. Bagian utara keraton, tepatnya di Siti Hinggil Kidul atau Sasana Hinggil Dwi Abad ditanami pelem cempora dan soka yang masing-masing berbunga putih dan merah. Ini melambangkan benih laki-laki dan perempuan.
Pada Alun-Alun Utara, ditanam pohon keben (Barringtonia asiatica) yang bermakna tangkeben atau menutupi segala tingkah laku kurang elok. Ada pula pohon sawo kecik (Manilkara kauki), jambu klampok arum (Syzygium jambos), dan kantil (Magnolia champaca). Ini memberi pesan agar manusia selalu berbuat baik (sarwo bercik), bersikap harum dalam ucapan dan tindakan, dan selalu teringat (kemantil).
Keindahan makna dan simbol dalam Sumbu Filosofi Yogyakarta bukan saja menunjukkan keandalan Sultan Hamengku Buwana I dalam menyiapkan sebuah konsep tata ruang kota yang bestari. Lebih dari itu, juga mengingatkan setiap orang akan proses kehidupan.
Warisan Dunia
Maka, tak salah jika Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dalam Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia atau World Heritage Committe (WHC) di Riyadh, Arab Saudi, 18 September 2023 lalu menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia. Keputusan itu langsung dibukukan ke dalam dokumen penetapan milik WHC dalam sidang itu tergolong cepat, bahkan tanpa satu pun sanggahan.
UNESCO menilai, Sumbu Filosofi atau mereka menyebutnya dengan The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks sebagai perpaduan indah antara warisan budaya benda dan tak benda serta memiliki arti penting secara universal. "Selamat untuk Indonesia atas lolosnya Sumbu Filosofi menjadi Warisan Budaya Dunia," ucap Ketua Komite Warisan Dunia UNESCO Abdulelah Al-Tokhais.
Sejak saat itu, Sumbu Filosofi Yogyakarta resmi menjadi Warisan Budaya Dunia keenam asal Indonesia yang telah diakui UNESCO. Sebelumnya telah ada Kompleks Candi Borobudur (1991), Kompleks Candi Prambanan (1991), Situs Prasejarah Sangiran (1996), Sistem Subak sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana (2012), dan Tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto (2019).
Kekayaan filosofi tata Kota Yogyakarta ini hendaknya tidak berhenti sebagai simbol-simbol belaka. Namun, dapat digunakan sebagai sumber kesadaran akan makna hidup. Sumbu ini seakan mengingatkan bahwa kehidupan itu merupakan perjalanan kembali kepada Sang Pencipta.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari