Indonesia.go.id - Mutis Timau: Paru-Paru NTT yang Menjaga Kehidupan dan Keberlanjutan

Mutis Timau: Paru-Paru NTT yang Menjaga Kehidupan dan Keberlanjutan

  • Administrator
  • Senin, 23 September 2024 | 19:22 WIB
LINGKUNGAN HIDUP
  Taman Nasional Mutis Timau memiliki hutan dengan topografi relief berbukit sampai bergunung, keadaan lereng miring sampai curam bergelombang sampai bergunung, dan sebagian besar wilayahnya mempunyai kemiringan 60% . IST
Menjaga alam bukan hanya tentang masa kini, tetapi juga tentang warisan untuk generasi mendatang.

Mungkin bagi banyak orang, kawasan yang dikenal dengan nama Mutis Timau itu masih asing terdengar. Namun nyatanya, kawasan dengan tipe vegetasi hutan homogen dataran tinggi itu bukan hanya menjadi paru-paru bagi kawasan Nusa Tengara Timur. Tetapi, juga menjadi simbol sekaligus implementasi penting dalam upaya melindungi, mengawetkan, dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, berkeadilan dan bertanggung jawab demi generasi mendatang.

Itulah sebabnya, hutan dengan topografi relief berbukit sampai bergunung, keadaan lereng miring sampai curam bergelombang sampai bergunung, dan sebagian besar wilayahnya mempunyai kemiringan 60 persen ke atas tersebut kemudian dideklarasikan sebagai taman nasional oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya secara daring dari Denpasar, Bali, dan telekonferensi dari NTT pada Minggu (8/9/2024).

Dalam deklarasi, Menteri Siti menyebutkan bahwa langkah itu menandai komitmen pemerintah dalam melindungi keanekaragaman hayati di area kaya akan flora dan fauna endemik, serta menjadi habitat penting bagi berbagai spesies dilindungi.

“Taman Nasional Mutis Timau juga memegang peran penting bagi kehidupan masyarakat sebagai penyedia sumber obat-obatan, madu alam, sumber pewarna untuk tenun, sumber air, lokasi ritual adat bagi masyarakat setempat serta pemanfaatan tradisional lainnya yang telah berjalan secara turun-temurun,” katanya.

Menteri Siti juga mengingatkan, dalam kerangka global menghadapi krisis lingkungan yang dikenal sebagai tiga krisis, yakni perubahan iklim, polusi dan ancaman kehilangan keanekaragaman hayati, implementasi global Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework, serta komitmen global untuk mencapai visi 2050 Living in Harmony with Nature, Pemerintah Indonesia secara aktif meningkatkan upaya-upaya pelestarian lingkungan dan konservasi sumber daya alam hayati. "Salah satu bentuk perwujudannya adalah penetapan Taman Nasional Mutis Timau ini," ujarnya.

Sementara itu, Penjabat (Pj) Bupati Timor Tengah Selatan Seperius Edison Sipa menilai, momen tersebut merupakan langkah maju bagi Provinsi NTT, khususnya Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Kupang dalam mengembangkan pariwisata alam berbasis konservasi, yang akan memberikan manfaat ekonomi sekaligus menjaga warisan alam.

"Ini akan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Timor, mengingat sebelumnya taman nasional baru terdapat di Flores dan Sumba. Hal ini juga memperkuat kepercayaan masyarakat yang menganggap Mutis sebagai ibu atau mama bagi masyarakat Timor," ujarnya.

Kawasan Mutis Timau sendiri dapat dijangkau melalui tiga jalur, yakni dari arah selatan, timur, dan utara. Dari arah selatan melalui di Desa Fatumnasi (49 km dari So’e kota Kabupaten TTS) dan arah timur melalui Desa Bonleu (30 km dari So’e). Sedangkan dari jalur utara, bisa lewat Kabupaten Timor Tengah Utara.   

Seperti taman nasional lainnya, Mutis Timau juga menjadi daya tarik bagi wisatawan. Berdasarkan pengamatan petugas lapangan, jumlah pengunjung yang mengunjungi kawasan itu diperkirakan sebesar ± 1.500 orang setiap tahunnya.  Jumlah kunjungan ke Mutis cukup besar besar atau sekitar ± 15 persen dari jumlah kunjungan wisatawan ke daerah wisata di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

 

Resapan Air

Pendeklarasian itu menjadi penanda bahwa wilayah konservasi tersebut resmi menjadi taman nasional ke-56 yang ada di Indonesia. Merupakan kawasan dengan tipe vegetasi hutan homogen dataran tinggi yang didominasi oleh jenis ampupu (Eucalyptus urophylla), yang tumbuh secara alami dalam luasan yang cukup besar, Mutis Timau berada di ketinggian 2.500 meter dari permukaan laut. Kawasan itu merupakan daerah resapan air bagi Pulau Timor.

Gunung Mutis dan sekitarnya merupakan daerah terbasah di Pulau Timor, yang memiliki curah hujan tahunan cukup tinggi yakni rata-rata 2.000–3.000 mm jika dibandingkan di wilayah lainnya di Pulau Timor yang hanya berkisar 800–1.000 mm/tahun. Lamanya bulan basah 7 bulan dengan frekuensi hujan terjadi pada November-- Juli dengan suhu berkisar 140C–290C. Pada kondisi ekstrem, suhu dapat turun sampai 90C. 

Angin kencang berkecepatan tinggi juga terjadi pada November sampai Maret. Keadaan hujan yang turun hampir setiap bulan sepanjang tahun itu memungkinkan kawasan Mutis Timau menjadi sumber air utama bagi tiga daerah aliran sungai (DAS) besar di Pulau Timor, yaitu Noelmina dan Noel Benanain di bagian selatan dan Noen Fail di bagian utara. Drainase aliran sungainya berpola dendritis (Noel Mina dan Noel Benain) sebagai akibat kompleksitas permukaan di bagian selatan dan pola paralel (Noel Fail) akibat kelerengan yang relatif seragam di bagian utara.

Kawasan Mutis Timau sendiri dapat dijangkau melalui tiga jalur, yakni dari arah selatan, timur, dan utara. Dari arah selatan melalui di Desa Fatumnasi (49 km dari So’e kota Kabupaten TTS) dan arah timur melalui Desa Bonleu (30 km dari So’e). Sedangkan dari jalur utara, bisa lewat Kabupaten Timor Tengah Utara.  

Seperti taman nasional lainnya, Mutis Timau juga menjadi daya tarik bagi wisatawan. Berdasarkan pengamatan petugas lapangan, jumlah pengunjung yang mengunjungi kawasan itu diperkirakan sebesar ± 1.500 orang setiap tahunnya.  Jumlah kunjungan ke Mutis cukup besar besar atau sekitar ± 15 persen dari jumlah kunjungan wisatawan ke daerah wisata di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

 

Sejarah Mutis Timau

Kawasan konservasi Mutis Timau merupakan bagian dari kelompok hutan Mutis Timau yang awalnya ditunjuk dan dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan Surat keputusan Mutis bebergte, zulfbestur nomor: 4/1 tanggal 31 Maret 1928, sebagai hutan tutupan. Setelah kemerdekaan, Gubernur Nusa Tenggara Timur mengeluarkan surat keputusan nomor 1 tahun 1974 tanggal 10 Januari 1974 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor: 631/Kpts/Um/10/1974 tanggal 10 Oktober 1974 di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan Provinsi NTT.

Kelompok Hutan Mutis Timau ditata batas oleh Brigade VIII Planologi Kehutanan Nusa Tenggara Timur sesuai Berita Acara Tata Batas (BA) tanggal 23 Maret 1978 dengan  luasan 153.227,68 hektare.  Pada 1983, Menteri Kehutanan Republik Indonesia menunjuk areal kawasan hutan di wilayah DATI I Nusa Tenggara Timur berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 89/Kpts-II/1983 seluas ± 1.667.962 hektare, termasuk di dalamnya kawasan Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata (HSA-W) Mutis Timau dengan luas 13.392,507 hektare (luas GIS), yang merupakan cikal bakal Cagar Alam Mutis.

Pada 23 Juli 1996, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTT menunjuk kembali kawasan hutan di wilayah NTT melalui hasil padu serasi RTRW Propinsi dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) melalui Surat Keputusan Gubernur nomor 64 tahun 1996 seluas ± 1.808.981,27 hektare, termasuk di dalamnya CA Mutis Timau, seluas 17.211,85 hektare. Dengan perincian sebagai berikut, 15.155,19 hektare berada dalam wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)  dan 2.056,76 hektare berada di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Hasil Padu Serasi RTRW dan TGHK ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 423/Kpts-II/1999, tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi DATI I NTT seluas 1.809.990 hektare termasuk di dalamnya terdapat CA Mutis Timau seluas 12.869,115 hektare (luasan GIS). Keputusan yang paling akhir mengenai CA Mutis Timau adalah Keputusan Menteri Kehutanan yang menunjuk/ menetapkan kembali kawasan hutan di wilayah Provinsi NTT dengan nomor: SK.3911/MENHUT-VII/KUH/2014 tanggal 14 Mei 2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi NTT seluas ± 1.784.751 hektare, termasuk di dalamnya luas Cagar Alam Mutis Timau yang mengalami perubahan dari 12.869,115 hektare menjadi 12.315,61 hektare yang berada di wilayah Kabupaten TTS seluas 9.888,78 Ha (80,29 persen) dan Kabupaten TTU seluas 2.426,83 Ha (19,71 persen).

Balai Konservasi  Sumber Daya Alam NTT I dan WWF sendiri pernah melakukan inisiasi untuk mengusulkan kelompok Hutan Mutis Timau seluas 153.227,68 hektare menjadi Taman Nasional. Hanya saja, ketika itu usulan tidak dapat dilanjutkan karena terkendala rekomendasi Bupati Kupang. Adapun bupati yang telah memberikan rekomendasi saat itu baru Bupati TTU dan TTS.

Secara administrasi terletak di dua wilayah pemerintahan, kawasan hutan itu tepatnya berada di Kecamatan Fatumnasi dan Tobu di TTS, serta Kecamatan Miomaffo Barat dan Mutis TTU. Ada 10 desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan ini, yaitu Desa Kuannoel, Desa Fatumnasi, Desa Nenas, dan Desa Nuapin di Kecamatan Fatumnasi. Lalu, Desa Tutem, Desa Tune, dan Desa Bonleu di Kecamatan Tobu. Ada juga di Desa Noepesu dan Desa Fatuneno di Kecamatan Miomaffo Barat serta Desa Tasinifu di Kecamatan Mutis.

Secara geografi kawasan Mutis Timau terletak antara 124010’–124020’ Bujur Timur dan antara 9030’–9040’ Lintang Selatan.  Secara administrasi kehutanan kawasan Mutis Timau berada di bidang KSDA Wilayah I So’e dan Seksi Konservasi Wilayah I Belu.

 

Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/TR