Andingingi yang merupakan ritual adat Suku Kajang menjadi bagian penting dalam Festival Pinisi ke-14 di 2024.
Tallas Kamase-masea. Begitulah prinsip hidup yang dianut komunitas Kajang. Mereka menjauh dari gaya hidup mewah. Dalam menjalani hidup ini mereka senantiasa penuh kesungguhan untuk ‘hidup sederhana’. Selain teguh memegang adat tradisional, juga menutup diri dari modernisasi.
Suku Kajang menetap di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel). Desa Tana Toa sendiri terletak sekitar 200 kilometer arah Timur Kota Makassar. Secara geografis, daerah Suku Kajang terbagi menjadi dua, yakni Kajang Dalam atau yang mereka sebut ‘tau Kajang’ dan Kajang Luar atau yang disebut ‘tau Lembang’. Batas antara Kajang Dalam dan Kajang Luar ditandai dengan pintu gerbang berarsitektur tradisional Kajang.
Hingga kini, orang Kajang Dalam tidak tersentuh aliran listrik dan pakaian mereka identik dengan warna hitam. Selain itu, mereka juga tidak menggunakan alas kaki (sandal). Uniknya, mereka tidak mengenal adanya strata sosial atau sistem hierarki. Ini terlihat dari hunian/tempat tinggal mereka yang seragam walaupun ada rumah ammatoa (pimpinan adat tertinggi).
Melansir laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, ammatoa bukan dipilih karena garis keturunan. Melainkan, ditunjuk melalui proses ritual di dalam hutan Tonbolo atau hutan keramat yang disebut Turiek Akrakna (yang berkehendak). Amma artinya ‘bapak’, sedangkan toa berarti yang ‘dituakan’. Bagi masyarakat Kajang, ammatoa adalah orang suci yang dipilih langsung oleh Tuhan yang Maha Esa. Ammatoa mendapatkan jabatan seumur hidup. Artinya, ammatoa akan menjabat sampai meninggal dunia.
Ritual Andingingi
Salah satu tradisi adat menarik yang selalu digelar tiap tahun oleh warga Kajang adalah ritual andingingi. Pada 2024, bertepatan dengan Festival Pinisi ke-14, Andingingi berlangsung di Kawasan Hutan Adat Kajang, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, pada Sabtu, 7 September 2024. Ritual andingingi, secara harfiah berarti ‘mendinginkan’. Itu merupakan tradisi yang dilakukan warga untuk memohon keselamatan dan keberkahan dalam mengelola sumber daya alam seperti pertanian dan perkebunan. Selain itu, ritual tersebut dipercaya pula mampu mendatangkan hujan guna mengairi lahan pertanian masyarakat, sehingga panen optimal.
Bupati Bulukumba Andi Muchtar Ali Yusuf atau akrab disapa Andi Utta, dalam sambutan Festival Pinisi, menegaskan bahwa andingingi merupakan warisan budaya yang unik dan asli dari masyarakat Kajang, Bulukumba. Ia berkomitmen untuk terus melestarikan dan mempromosikan tradisi ini agar masuk dalam kalender event nasional sebagai bagian dari Festival Pinisi yang rutin diselenggarakan setiap tahun.
“Kita telah menyaksikan sebuah pertunjukan budaya yang hanya ada di Kajang, Bulukumba. Ritual ini harus kita jaga, lestarikan, dan tunjukkan kepada dunia setiap tahun,” ujar Andi Utta, seperti dikutip dari situs https://bulukumbakab.go.id
Prosesi Ritual Andingingi
Prosesi ritual andingingi dimulai pada pagi hari. Seluruh orang yang hadir mengenakan pakaian serba hitam sebagai bentuk penghormatan terhadap adat. Para tamu, termasuk Bupati Andi Utta, disuguhi tuak yang disebut sebagai “minuman keberkahan”. Tuak ini diambil dari pohon aren atau inru dalam hutan adat. Minuman khas ini selalu disiapkan dalam setiap ritual maupun pesta adat.
Prosesi dimulai dengan ritual palenteng ere, yang diawali dengan meminta izin kepada ammatoa, pemimpin adat Kajang. Dalam ritual ini, dua orang mengitari balla-balla (rumah adat) sambil memercikkan air suci ke delapan penjuru mata angin menggunakan tangkai buah pinang yang diikat bersama dedaunan dari 40 macam kayu (raung kayu patang pulo) yang berasal dari hutan adat. Air suci ini juga dipercikkan kepada semua orang yang hadir.
Air suci tersebut dipercaya membawa keberkahan bagi semua yang terkena percikannya dan “mendinginkan” alam semesta, sehingga bencana dapat terhindarkan. Setelah prosesi palenteng ere selesai, dilanjutkan dengan bacca’, yaitu pemberian bedak cair yang terbuat dari campuran tepung beras dan kunyit ke leher atau jidat para peserta. Ritual ini menyimbolkan dua nilai utama, yaitu pikiran yang jernih dan kejujuran dalam berbicara.
Setelah prosesi bacca', dilanjutkan dengan allabian dedde, yaitu pemberkatan sesajen yang terdiri dari 12 jenis bahan, termasuk telur, beras putih, beras hitam, beras merah, daun sirih, ketan, dan pisang. Semua bahan ini ditempatkan dalam konre-konre, wadah yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Sesajen tersebut kemudian diletakkan di depan pohon besar di kawasan hutan adat, melambangkan hubungan erat antara manusia dan alam.
Pesan Pelestarian Alam
Setiap bahan yang digunakan dalam ritual ini memiliki makna tersendiri. Beras hitam melambangkan keteguhan dalam menjaga identitas budaya dari pengaruh luar. Beras ketan putih mencerminkan kejernihan hati dan sikap adil, sementara beras ketan merah menjadi simbol perjuangan hingga titik darah penghabisan. Pisang yang digunakan adalah jenis khusus yang disebut ‘loka kattin’ atau ‘pisang kamppiung’, yang dipercaya sebagai pisang pertama yang turun ke bumi.
Selain itu, ikan, udang, dan kepiting yang digunakan dalam ritual diambil dari sungai di kawasan hutan adat. Pengambilan hasil sungai ini hanya diperbolehkan saat ritual adat atas izin ammatoa. Prosesi diakhiri dengan makan bersama, yang dimaknai sebagai doa untuk kemakmuran dan terhindarnya masyarakat dari bencana kelaparan.
Dikutip dari situs bulukumbakab.go.id, Profesor Yusran Jusuf, anggota Dewan Kebudayaan Kota Makassar, memberikan apresiasi tinggi terhadap pelaksanaan ritual ini. Menurutnya, andingingi memiliki makna mendalam terkait harmoni antara manusia dan alam.
“Saya merasa terkesan karena andingingi adalah ritual doa yang dipanjatkan untuk keseimbangan alam dan kedamaian lingkungan. Kehadiran pemerintah bersama masyarakat dalam acara ini memberikan suasana khidmat dan penuh makna,” ujar akademisi Unhas itu.
Ia menambahkan bahwa pelestarian tradisi seperti andingingi sangat penting dalam menjaga budaya lokal sekaligus menciptakan kedamaian dalam masyarakat. “Kita harus bangga dan terus menjaga tradisi ini agar tetap hidup, terutama dalam menjaga keseimbangan lingkungan.”
Ammatoa, pemimpin adat Kajang, juga berpesan agar masyarakat selalu menjaga kesopanan terhadap alam dan sesama manusia. “Dari sanalah tercipta keseimbangan,” pesannya.
Dengan rangkaian budaya yang semakin mendapat tempat di ajang Festival Pinisi, Bulukumba kini dikenal tidak hanya sebagai daerah wisata bahari, tetapi juga sebagai penjaga tradisi leluhur yang kaya nilai filosofi. Ritual andingingi menjadi bukti nyata kekayaan budaya yang mampu membangun harmoni antara manusia, adat, dan alam. Semangat melestarikan budaya ini membawa harapan agar warisan leluhur terus hidup dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang.
Redaktur: Ratna Nuaraini/Taofiq Rauf
Penulis : Dwitri Waluyo