Pusat pengamatan antariksa dibangun di Kupang, NTT. Lokasi itu dikenal memiliki waktu langit paling cerah terbanyak dalam setahun dibanding tempat lain.
Bangunan bulat hijau dengan atap seperti kubah warna perak tampak begitu menonjol di tengah perbukitan asri kawasan Gunung Timau, Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ia menjadi satu-satunya bangunan kokoh di ketinggian bukit yang banyak ditumbuhi pohon pinus dan semak yang merupakan sebuah kawasan hutan lindung tersebut.
Sepintas, bentuk bangunan itu mirip seperti Observatorium Bosscha di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Rupanya dugaan itu benar adanya, karena bangunan di lereng gunung purba Timau itu memang merupakan pusat pengamatan atau observasi antariksa modern pertama yang dibangun di bagian timur Indonesia.
Nama lengkapnya adalah Observatorium Nasional (Obnas) Timau, berlokasi di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut. Lokasi Obnas Timau sungguh sunyi, tak ada bangunan lain kecuali fasilitas observasi tersebut.
Sebuah ruas jalan beraspal mulus sepanjang 40 kilometer dari Bokong ke Lelogama yang telah dibangun Pemerintah Provinsi NTT menjadi penghubung satu-satunya antara Obnas Timau dengan dunia luar. Jika malam tiba, hanya suara serangga malam saling bersahutan yang terdengar mirip seperti musik orkestra, sungguh syahdu.
Saat malam pun, miliaran bintang berserakan di langit Timau dapat dinikmati sepuas hati oleh mata telanjang. Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Inovasi dan Riset Nasional (BRIN) Robertus Heru di akun Instagram lembaga tersebut menjelaskan, selama lima tahun dilakukan sebuah studi untuk meneliti fraksi malam terhadap langit di beberapa daerah di Indonesia.
"Hasilnya, wilayah Timau masih minim polusi cahaya sehingga optimal untuk dijadikan kawasan pengamatan astronomi," ujarnya.
BRIN menilai, Kupang memiliki waktu langit paling cerah terbanyak dalam setahun dibandingkan tempat-tempat lain di tanah air. Hal itu kontras dengan apa yang terjadi di Observatorium Bosscha yang sudah tak layak lagi menjadi pusat pengamatan antariksa karena semakin banyaknya permukiman dan menyebabkan tingginya polusi cahaya.
Lokasi berdirinya sebuah observatorium memang harus berada di kawasan yang gelap dan tidak banyak hambatan awan. Sebab di daerah yang cahayanya sangat rendah itulah kita dapat melihat kelip bintang di langit.
Mengutip website Observatorium Bosscha, komponen polusi cahaya meliputi pendaran langit malam (sky glow) berasal dari cahaya buatan berlebih seperti banyaknya sinar lampu di atas area permukiman dan terpantul ke atas dan dihamburkan oleh aerosol seperti awan atau partikel kecil seperti polutan ke atmosfer. Ada lagi, glare atau silau hasil sensasi visual yang dialami seseorang ketika cahaya menyimpang lebih besar dari cahaya yang dapat diadaptasi oleh mata.
Ada pula pengelompokan sumber cahaya terang dan membingungkan (clutter) serta light trespass atau dikenal sebagai luberan cahaya, yaitu cahaya jatuh di tempat yang tidak dibutuhkan. Seiring itulah, BRIN telah menyiapkan lahan seluas 40 hektare untuk kebutuhan Obnas Timau dan menghabiskan biaya sebesar Rp340 miliar.
Obnas Timau nantinya akan terdiri dari Gedung Pusat Sains dan Operasional Obnas, Laboratorium Kendali I, II, dan III, serta Gedung Open Science Center (OSC). Selain itu, terdapat pula Laboratorium Mekanik dan Laboratorium Pengamatan Antariksa.
Teleskop Seimei
Sejumlah fasilitas canggih untuk kebutuhan pengamatan benda-benda langit ditanamkan di Obnas Timau seperti teleskop optik berdiamater 3,8 meter atau terbesar di Asia Tenggara, teleskop survei berdiameter 50 sentimeter, dan teleskop matahari berdiameter 30 cm. Untuk teleskop optik 3,8 meter seperti dikutip dari NHK World, dibuat oleh para ahli astronomi BRIN bekerja sama dengan Universitas Kyoto, pengelola Observatorium Okayama, Jepang.
Salah satu pihak yang ikut terlibat adalah guru besar astronomi Universitas Kyoto Kurita Mikio, yang membuat teleskop Seimei di Observatorium Okayama dan menjadi yang terbesar di kawasan Asia Timur. Mikio juga mendesain teleskop serupa untuk Obnas Timau.
Nantinya jika sudah resmi dioperasikan, teleskop-teleskop di Obnas Timau tadi dipakai untuk mengawasi langit utara dan selatan karena terletak di daerah khatulistiwa. Menurut peneliti Pusat Riset Antariksa BRIN Rhorom Priyantikanto dalam sebuah diskusi, Selasa (11/7/2023), seperti dikutip dari website lembaga tersebut, kondisi iklim di Pulau Timor turut mendukung para astronom untuk melakukan pengamatan langit setiap malam selama lebih dari setengah tahun jika Obnas Timau beroperasi.
Rhorom menjelaskan, perkembangan saat ini adalah proses instalasi teleskop 3,8 meter yang telah tiba dari Jepang Juni 2023 dan dibawa ke Timau memakai beberapa truk. Menyusul kemudian cermin teleskop dikirim ke Kupang dan ditargetkan pada Agustus 2023 sudah terpasang seluruhnya dan dilanjutkan proses penyesuaian sistem dan pengujian teleskop (first light) ke bintang yang memakan waktu beberapa bulan.
Teleskop optik 3,8 meter berdesain unik dengan bobot tak lebih dari 20 ton itu, terdapat cermin primer, sekunder, dan tersier. Sebuah struktur mirip sarang laba-laba dibuat untuk menopang cermin sekunder pada bagian atas teleskop.
Pada cermin primer berbentuk hiperbola terdiri dari 18 segmen berbentuk kelopak bunga dan cermin sekunder berbentuk hiperbola berdiameter 1 meter serta dapat bergerak sebesar 5 derajat. Cermin tersier untuk mengarahkan cahaya ke titik fokus pada kamera di samping teleskop.
Sistem optik aktif pada struktur dasar penopang cermin primer berbentuk cincin. Teleskop dipasang di atas dudukan beton. Teleskop ini dilengkapi instrumen perekam yaitu kamera fotometri 3OPTIKA dan NIRK.
"Salah satu instrumen pada teleskop 3,8 m yang dinamakan 3OPTIKA merupakan 3-bands imaging camera. Teleskop ini dapat digunakan untuk mengamati objek seperti benda kecil tata surya, bintang, gugus bintang, ekstrasolar planet, galaksi, dan lainnya," papar Rhorom.
Setelah melewati serangkaian pengujian teleskop selama beberapa bulan saat Obnas Timau beroperasi, maka pada 2024 akan dilakukan evaluasi persiapan penerimaan proposal pengamatan baik dari internal maupun eksternal BRIN.
Taman Langit Gelap
Sementara itu, Kepala Pusat Riset Antariksa Emmanuel Sungging Mumpuni menyampaikan bahwa salah satu upaya antisipasi gangguan polusi cahaya adalah menjadikan wilayah di sekitar Obnas menjadi Taman Langit Gelap (Dark Sky Park). "Langit gelap perlu dilestarikan dengan dukungan masyarakat yang turut menjaganya melalui wisata astronomi di Taman Langit Gelap," ucapnya.
Salah satunya adalah mengatur penggunaan lampu luar di sekitar Obnas berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Ia juga mengajak para pemangku kepentingan lainnya untuk berkolaborasi menyiapkan strategi pencegahan polusi cahaya dan mendorong adanya payung regulasi hukum untuk melindungi wilayah sekitar Obnas Timau.
Ia berharap ke depannya wilayah Observatorium Nasional Timau bisa menjadi objek wisata astronomi dan membantu perekonomian daerah setempat. Selain untuk kepentingan ilmiah, kehadiran Obnas Timau dapat dimanfaatkan untuk memantau benda-benda langit buatan manusia seperti satelit atau meneliti objek-objek angkasa yang sekiranya bisa membahayakan keamanan wilayah Indonesia.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari