Indonesia.go.id - Kinerja Perdagangan Catat Pertumbuhan Positif

Kinerja Perdagangan Catat Pertumbuhan Positif

  • Administrator
  • Selasa, 10 Agustus 2021 | 12:41 WIB
PERDAGANGAN
  Sebuah truk melintas di depan peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (22/7/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Dalam rangka memperluas pangsa pasar, Kementerian Perdagangan berencana menggalakkan ekspor ke negara-negara nontradisional.

Pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup menjanjikan pada kuartal II-2021, yakni tumbuh 7,07 persen. Kinerja ekspor-impor bahkan menjadi komponen pengeluaran bagi PDB dengan pertumbuhan positif tertinggi selama kuartal itu.

Tentunya, pencapaian itu sangat membanggakan dan momentum pertumbuhan itu pun harus dijaga di tengah pandemi Covid-19 untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional.

Pencapaian kinerja sektor perdagangan sepanjang kuartal II-2021 tentu membuat semringah bagi pengampunya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Bahkan, dia menambahkan ada pertumbuhan menggembirakan pada sektor usaha yang berkaitan dengan perdagangan di dalam negeri.

Misalnya, usaha transportasi dan pergudangan yang naik 25,1 persen dan akomodasi dan makanan tumbuh 21,58 persen. Selain itu, sektor perdagangan yang mencakup ritel dan perdagangan besar mengalami kenaikan 9,44 persen.

Perdagangan luar negeri juga menjadi sumber pertumbuhan ekonomi lainnya dengan kontribusi ekspor sebesar 19,07 persen terhadap PDB. Ekspor barang dan jasa tercatat tumbuh 31,78 persen secara tahunan.

“Untuk Januari sampai Juni 2021, ekspor kita bernilai USD100,2 miliar di mana 97,06 persen di antaranya adalah nonmigas. Sektor ini tumbuh 34,06 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Impor kita tumbuh sehat 28,42 persen dengan nilai USD91 miliar,” ujar Lutfi.

Dia mengemukakan itu dalam acara dialog ekonomi bertajuk “Pertumbuhan Ekonomi dan Kinerja Perdagangan Indonesia Q2 – 2021”, Kamis (5/8/2021). Selain Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, turut hadir Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid dan ekonom Chatib Basri.

Menurut Lutfi, upaya memanfaatkan momentum ekspor dilakukan dengan tetap menjaga kinerja manufaktur berorientasi ekspor. Namun, dia tidak memungkiri jika upaya tersebut perlu diiringi dengan keamanan mobilitas dan kesehatan masyarakat.

“Kita tidak bisa tidak disiplin [dalam penanganan pandemi] dan terpaksa mengorbankan kesehatan dan kemudian terjadi penurunan ekonomi domestik dan pasar ekspor,” kata Lutfi.

 

Hambatan Perdagangan

Pada kesempatan itu, dia juga mengingatkan potensi hambatan perdagangan yang berisiko dihadapi produk-produk manufaktur Indonesia. Rencana penerapan pajak karbon lintas negara oleh Uni Eropa adalah salah satu potensi hambatan perdagangan tersebut.

“Bila itu terjadi, pemerintah dan dunia usaha siap membawa kebijakan tersebut ke jalur hukum. Itu jelas bertentangan dengan prinsip perdagangan global,” tegasnya.

Lutfi juga memberikan apresiasi yang tinggi terhadap seluruh komponen bangsa yang bahu-membahu membawa negara ini yang sudah berevolusi dari negara penjual barang setengah jadi menjadi negara yang memproduksi barang industri dan barang berteknologi tinggi. “Dalam konteks itu, kami [Kementerian Perdagangan] menggalakkan ekspor kita ke negara-negara nontradisional,” katanya.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pasar ekspor terbesar Indonesia adalah Tiongkok dengan nilai total ekspor pada semester I-2021 sebesar USD22,45 miliar atau setara 21,82 persen dari total ekspor.  Posisi Tiongkok disusul AS dengan pangsa ekspor sebesar 11,21 persen senilai USD11,53 miliar. Adapun, untuk kali pertama defisit perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok mencapai USD3,19 miliar.

Menurut Lutfi, menyempitnya angka defisit tersebut tak lepas dari strategi penghiliran komoditas mineral, yakni HS 72 produk besi dan baja. “Selain kedua produk, besi dan baja, sektor otomotif kini menjadi produk ekspor yang menjanjikan. Kini menjadi produk unggulan ke-5.”

Pada kesempatan yang sama, ekonom Universitas Indonesia Chatib Basri mengatakan, ekspor Indonesia turut memberi sumbangan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, terlepas dari kontribusinya yang masih di bawah 20 persen. “Ekspor kita itu naiknya 31%. Menurut saya ini suatu prestasi. Kinerja ini menunjukkan bahwa Indonesia bisa memanfaatkan pemulihan Amerika Serikat dan Tiongkok,” tuturnya.

Dia lantas menyarankan agar pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk mendiversifikasi ekspor, baik dari segi produk yang dijual maupun dari sisi negara tujuan ekspor. Langkah ini diperlukan untuk menjamin kinerja ekspor bisa tetap solid ke depan.

Konsentrasi ekspor pada segelintir produk, kata Chatib, bisa berbahaya ke ekonomi karena terdapat risiko harga dan permintaan yang jatuh. Begitu pula jika ekspor hanya mengandalkan pasar di beberapa negara saja.

Dia pun memberikan contoh terhadap apa yang dilakukan Vietnam, yang berani melakukan diversifikasi ekspor. “Kinerja ekspor negara tersebut tercatat tetap positif di tengah pandemi.”

Terkait menyempitnya defisit perdagangan dengan Tiongkok, Chatib menyatakan capaian ini merupakan prestasi yang luar biasa. “Ini sesuatu yang menurut saya juga mengejutkan karena share trade terhadap GDP kita relatif kecil dibandingkan negara seperti Jepang dan Tiongkok, tapi kontribusi ekspor pertumbuhannya tinggi. Walau share relatif kecil, pertumbuhan ekspor tinggi sekali dan ini momentum harus dipertahankan,” tuturnya.

Dalam acara tersebut, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid juga memberikan pandangannya agar pemerintah menjaga momentum pertumbuhan industri pada kuartal II-2021 dengan mempermudah kinerja industri saat ini.

Arsjad Rasjid juga tidak memungkiri bangsa ini tetap harus mewaspadai dampak penyebaran kasus Covid-19 yang menyebabkan pemerintah memberlakukan sejumlah pembatasan.

“Jadi ini realita yang harus sama-sama kita pikirkan dan jalankan, kami tetap mengutamakan kesehatan sehingga vaksin harus menjadi kunci dalam pelonggaran, bahkan syarat hidup sekarang,” katanya.

Arsjad berharap dengan menggunakan acuan vaksinasi, pemerintah mulai dapat merumuskan kebijakan pelonggaran untuk sektor industri. Alhasil, tidak ada lagi kelompok esensial dan kritikal.

Menurut Arsjad, semua sektor harus mulai dapat dibuka dan beroperasi penuh dengan syarat vaksin dan protokol kesehatan (prokes). Apalagi, lanjut Arsjad, untuk industri yang berorientasi ekspor.

“Kita juga harus mengambil posisi yang utama dalam mendukung rantai pasok global, dengan begitu penting menjaga produksi untuk supply dan demand global,” ujarnya.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari