Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, aktivitas sektor industri manufaktur masih cukup menggeliat berdasarkan laporan PMI manufaktur Indonesia.
Kabar menggembirakan datang dari IHS Markit. Lembaga yang berkedudukan di London itu memberikan laporan bahwa Purchasing Managers’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia tetap berada di level ekspansif dengan skor 53,5 pada Desember 2021.
Tentu saja, laporan lembaga yang setiap bulan memberikan analisa dan pandangan berkaitan dengan tren bisnis dan implikasi ke depannya, sangat melegakan pemangku kepentingan industri di negeri ini.
Dari laporan itu, meski PMI Manufaktur Indonesia tetap berada di level ekspansif, skor PMI Manufaktur Indonesia pada Desember itu masih lebih rendah dibandingkan November yang tercatat mencapai 53, 9. IHS Markit juga menyebutkan, sektor manufaktur Indonesia ada beberapa persoalan yang masih harus dicarikan jalan keluarnya agar laju industri bisa lebih berlari kencang di 2022, dibandingkan periode bulan sebelumnya.
Masalah lonjakan harga bahan baku masih menjadi tekanan bagi industri, tulis laporan lembaga itu. Selain itu, dari segi harga, baik biaya input maupun output terus naik pada Desember. Tingkat inflasi harga input naik ke posisi tertinggi dalam delapan tahun sementara biaya output naik lebih lambat pada Desember.
IHS Markit juga menyebutkan terjadi kenaikan biaya di semua bahan baku dan juga lonjakan ongkos pengiriman. Hal itu mendorong pelaku usaha meneruskan kenaikan harga kepada konsumen.
"Hambatan pasokan yang bertahan masih menjadi alasan utama di sektor manufaktur Indonesia, karena kinerja pemasok terus memburuk dan perusahaan terus melaporkan tekanan harga lebih tinggi, yang berdampak pada produksi di beberapa perusahaan," kata Direktur Ekonom IHS Markit Jingyi Pan, Senin (3/1/2021).
Sangat penting untuk memonitor beberapa aspek di atas bila hal tersebut terus berdampak pada produksi, atau bahkan mempengaruhi momentum pertumbuhan ke depan. Terlepas dari beberapa catatan yang diberikan IHS Markit dan wajib menjadi perhatian semua pemangku kepentingan di negeri ini, Kementerian Perindustrian pun memberikan apresiasinya terhadap laporan tersebut.
Bahkan, laporan dari IHS Markit itu menjadi pelecut bagi kementerian itu untuk tetap melanjutkan penghiliran industri untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam di dalam negeri sekaligus mendorong PMI manufaktur Indonesia tetap berada pada level ekspansif. Menurut Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita, aktivitas sektor industri manufaktur masih cukup menggeliat berdasarkan laporan PMI manufaktur Indonesia tersebut.
Penghiliran Industri
Menperin menilai, penghiliran industri telah berkontribusi bagi perekonomian nasional, di antaranya, pembukaan lapangan kerja dan penerimaan devisa dari ekspor.
Agus menggarisbawahi kinerja ekspor industri manufaktur yang tumbuh ekspansif sepanjang tahun lalu. Sebagai gambaran, pada Januari--November 2021, nilai ekspor dari industri manufaktur mencapai USD160 miliar atau berkontribusi sebesar 76,51 persen dari total ekspor nasional.
Angka itu tumbuh 35,36 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, dan telah melampaui capaian sepanjang 2020 sebesar USD131 miliar, bahkan lebih tinggi dari pencapaian ekspor 2019.
“Kenapa ekspor kita bisa naik setinggi itu? Salah satunya karena kita berani untuk menghentikan ekspor raw material,” katanya, seperti dikutip dari siaran pers dari laman Kemenperin, Senin (3/1/2022).
Indikator lain pulihnya ekonomi nasional yakni impor untuk bahan baku dan bahan penolong yang juga naik sebesar 52,6 persen. Selain itu, peringkat daya saing Indonesia juga terus meningkat, baik dari aspek bisnis maupun digital.
Apa yang disampaikan IHS Markit harus diakui benar adanya. Sejumlah pelaku usaha pun mengakuinya. Seperti disampaikan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, organisasi itu menyebutkan pentingnya pemerintah memberikan dukungan terhadap perbaikan efisiensi di tengah tekanan harga pada industri manufaktur yang masih terus berlanjut.
Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Shinta W Kamdani, dukungan terhadap efisiensi diperlukan mengingat kondisi daya beli masyarakat yang belum pulih dan tidak stabil. Dengan target pertumbuhan industri 4,5 persen hingga 5 persen pada tahun ini, paparnya, dukungan pemerintah terhadap industri juga harus menyesuaikan.
“Kalau tidak ada peningkatan efisiensi biaya produksi, industri nasional tidak bisa meningkatkan kinerja dengan maksimal karena beban operasional yang lebih tinggi atau penurunan demand pasar akibat inflasi yang lebih tinggi,” kata Shinta.
Selain itu, biaya usaha pokok industri nasional di beberapa aspek juga masih merupakan yang termahal di Asean. Pengurus Kadin Indonesia itu berharap dukungan tersebut bisa dilakukan dengan reformasi struktural terhadap iklim usaha, sehingga biaya dapat ditekan untuk mendongkrak kinerja.
Selain itu, pemerintah diharapkan fokus memfasilitasi peningkatan kualitas produk manufaktur dan pembenahan rantai pasok dalam negeri yang tidak berkesinambungan. Selain itu, sejumlah perjanjian kerja sama bilateral maupun multilateral yang perlu terus digenjot untuk mendongkrak ekspor produk manufaktur Indonesia.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari