Demi menekan emisi karbon, pemerintah telah menyusun prinsip pelaksanaan netralitas karbon dan peta jalan transisi energi melalui penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon.
Pemerintah tidak main-main dengan target net zero emission (NZE) di tahun 2060. Keseriusan dalam mewujudkan akses energi listrik bersih (green energy) sudah dibuktikan dengan keberhasilan memangkas emisi karbon dioksida (CO2) pembangkit listrik sepanjang 2021. Pemangkasan karbon itu terjadi hingga 10,37 juta ton atau mencapai 210,8% dari target sebesar 4,92 juta ton.
"Ini menyangkut (kontribusi Indonesia) pada nasib dunia, dari segi pembangkitan terus diupayakan untuk ditekan. Dari target 2021, kami mencatat lebih dari 200% persen capaiannya," kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana, saat menyampaikan konferensi pers Capaian Kinerja Tahun 2021 dan Program Kerja Tahun 2022 Subsektor Ketenagalistrikan di Jakarta, Selasa (18/1/2022).
Reduksi emisi CO2 pembangkit listrik dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pada 2020, Kementerian ESDM menargetkan angka penurunan emisi karbon di pembangkit sebesar 4,71 juta ton. Bahkan realisasinya mampu mencapai 186% atau 8,78 juta ton dari target yang ditetapkan. Pada 2022, Kementerian ESDM telah menetapkan angka 5,36 juta ton untuk reduksi emisi CO2 pembangkit litsrik.
Demi menekan emisi karbon, pemerintah menyusun prinsip pelaksanaan netralitas karbon dan peta jalan transisi energi, salah satunya melalui penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon. Pajak karbon rencana akan diberlakukan per 1 April 2022 dengan skema cap and tax.
Penerapan skema cap and tax, menurut Rida, secara khusus diberlakukan bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu bara dengan kapasitas 25 MegaWatt (MW) hingga 100 MW dan rencananya akan mulai efektif diimplementasikan pada 2023. Namun secara rinci, pemerintah membagi penetapan Batas Atas Emisi GRK (BAE) pada tiga klasifikasi, yaitu PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas di atas 400 MW, PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas 100-400 MW, dan PLTU mulut tambang dengan kapasitas di atas 100 MW.
Pengecualian tersebut dilakukan, kata Rida, karena mempertimbangkan faktor pelayanan penyediaan listrik kepada masyarakat. Lantaran memiliki kapasitas kecil, tapi secara fungsi PLTU--dengan kapasitas 25-100 MW--menjadi tulang punggung suplai kelistrikan di luar Pulau Jawa.
Kementerian ESDM sendiri juga tengah menyiapkan regulasi berupa Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) pembangkit tenaga listrik. Usulan mekanismenya, yakni surat persetujuan teknis emisi (PTE) pada PLTU batu bara diterbitkan oleh Menteri ESDM melalui Ditjen Ketenagalistrikan.
Kemudian, surat PTE diberikan kepada unit instalasi PLTU batu bara dalam satuan ton CO2e atau ton karbon dioksida ekuivalen dan berdasarkan dari nilai batas atas emisi (ton CO2e/MWh) yang dikalikan produksi bruto (MWh) yang direncanakan pada awal tahun. "Trading dilakukan antarpeserta uji coba dengan penerapan maksimum trading dari unit pembangkit surplus dibatasi sebesar 70% dan offset ditetapkan dari aksi mitigasi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebesar 30%," papar Rida.
Sementara itu, Direktur Jenderal EBTKE Dadan Kusdiana, pada konferensi pers di 17 Januari 2022 mengungkapkan bahwa tahun 2021 Kementerian ESDM menorehkan kinerja positif pada peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), peningkatan pengurangan emisi gas rumah kaca, peningkatan pemanfaatan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi (EBTKE).
Dadan melaporkan, realisasi PNBP subsektor EBTKE hingga 2021 meningkat sebesar 134% dari target, yakni mencapai Rp1,929 triliun dari target Rp1,438 triliun. Komposisi PNBP berdasarkan pola pengusahaan, di mana PNBP panas bumi sebagian besar (97%) berasal dari wilayah kerja panas bumi eksisting berupa setoran bagian pemerintah, sedangkan pemegang IPB berkontribusi 3% untuk PNBP Panas Bumi.
Dadan juga menjelaskan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca mencapai 69,5 juta Ton CO2e, 104% dari target sebesar 67 Juta Ton CO2e. Sementara itu, pemanfaatan TKDN mencapai 76,71% dari target 70% untuk PLTA, 38,97% dari target 35% untuk PLTP, dan 57,75% dari target 40% untuk PLTBio.
Selain itu, porsi bauran EBT pada 2021 telah mencapai 11,5%. Beberapa upaya percepatan yang akan dilakukan oleh Kementerian ESDM untuk mencapai bauran energi dari EBT sebesar 23% pada 2025.
“Antara lain penyelesaian Perpres Harga EBT, penerapan Permen ESDM PLTS Atap, Mandatori BBN, pemberian insentif fiskal dan nonfiskal untuk EBT, kemudahan perizinan berusaha dan mendorong demand ke arah energi listrik, misal kendaraan listrik, dan kompor listrik," lanjut Dadan.
Dalam kurun lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 1.730 MW dengan kenaikan rata-rata sebesar 4,3% per tahunnya. Kapasitas terpasang PLT EBT pada 2021 mencapai 654,76 MW dari target 854,78 MW. Tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT pada 2021 sebesar 654,76 MW, di antaranya dari PLTA Poso Peaker Expansion #1-4, PLTA Malea, 3 unit PLTP, PLT Bioenergi, 18 unit PLTM, dan 7 unit PLTS dan PLTS Atap.
Sedangkan capaian investasi subsektor EBTKE menorehkan angka yang signifikan sebesar USD1,51 miliar atau 74% dari target USD2,04 miliar. Dan total investasi konservasi energi tercatat mencapai 200 miliar rupiah, setara dengan USD0,0143 miliar. Target investasi sesuai renstra sebesar USD0,01 miliar sehingga capaian investasi sebesar 143% terhadap renstra.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari