Indonesia.go.id - Kedaulatan Indonesia di Langit Natuna

Kedaulatan Indonesia di Langit Natuna

  • Administrator
  • Kamis, 27 Januari 2022 | 07:23 WIB
PERHUBUNGAN
  Presiden Joko Widodo (kanan) menerima kunjungan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). SETPRES
Pengelolaan ruang udara di Kepulauan Riau, Tanjung Pinang, Serawak, dan Semenanjung Malaya seluas 1.825 kilometer, kini kembali berada di tangan Indonesia.

Indonesia dan Singapura baru saja mencapai kesepakatan untuk mengembalikan pengelolaan ruang udara yang mencakup Kepulauan Riau, Tanjung Pinang, Serawak, dan Semenanjung Malaya seluas 1.825 kilometer. Kesepakatan itu merupakan bagian dari pertemuan dua kepala Negara, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).

Kesepakatan kedua negara itu ditandatangani masing-masing Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Transportasi Singapura S Iswaran. Penandatangan pun disaksikan Presiden Jokowi dan PM Singapura Lee Hsien Loong.

Dalam konteks hubungan bilateral, kedua negara memiliki hubungan bertetangga yang cukup baik. Bahkan, kepala pemerintahan kedua negara memiliki kesepakatan untuk saling bertemu secara rutin setiap tahun.

Namun di tengah meledaknya pandemi Covid-19, pertemuan itu tidak bisa direalisasikan sesuai dengan rencana, baru terealisasi saat ini setelah sempat vakum selama dua tahun. Di tengah-tengah pertemuan dua kepala pemerintahan itu, ada dua agenda khusus yang yang menjadi topik pembahasan kedua negara tersebut.

Pertama, agenda soal kesepakatan pengembalian pengelolaan ruang udara atau flight information region (FIR) yang mencakup wilayah udara mulai Kepulauan Riau, Natuna, hingga Semenanjung Malaya. Kesepakatan kedua berkaitan dengan perjanjian ekstradisi.

Dengan perjanjian ekstradisi itu, sangat dimungkinkan Singapura merespons permintaan dari Indonesia agar melakukan tindakan ekstradisi terhadap pelaku kejahatan yang berada di negara itu. Sehingga kelak, pelaku bisa menghadapi proses hukum dari negara yang meminta.

 

Negosiasi Rampung

Kesepakatan pengembalian pengelolaan ruang udara FIR--sebelumnya dikelola Singapura—yang diambil dalam pertemuan dua kepala pemerintahan tersebut, mencakup wilayah udara mulai Kepulauan Riau, Natuna hingga Semenanjung Malaya seluas 1.825 kilometer. Penandatanganan perjanjian FIR tersebut sekaligus menandai rampungnya negosiasi bilateral antara Indonesia-Singapura terkait penyesuaian (realignment) batas wilayah informasi penerbangan berdasarkan hukum internasional.

Apa itu sebenarnya FIR? Bila mengacu ke Peraturan Menteri Perhubungan (Menhub) nomor 55 tahun 2016 tentang Tatanan Navigasi Penerbangan Internasional, maka Pelayanan Ruang Udara atau FIR adalah suatu daerah dengan dimensi tertentu di mana pelayanan informasi penerbangan (flight information service) dan pelayanan kesiagaan (alerting service) diberikan.

“Dengan ditandatanganinya perjanjian FIR, maka ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia, terutama di perairan sekitar Kepulauan Riau dan Kepulauan Natuna,” ujar Presiden Jokowi, saat memberikan keterangan pers berkaitan dengan kesepakatan tersebut.

Presiden Jokowi berharap, ke depan, kerja sama kedua negara lebih erat lagi termasuk soal penegakan hukum, keselamatan penerbangan, dan pertahanan keamanan berdasarkan prinsip saling menguntungkan.

Tentu, pencapaian berupa kesepakatan itu patutlah diapresiasi. Pasalnya, pengembalian kewenangan operasional wilayah udara merupakan bentuk kembalinya sebuah kedaulatan negara. Kedaulatan berarti adanya kekuasaan tertinggi dan bersifat monopoli atau dikenal dengan nama ‘supreme power’ dan itu hanya dimiliki negara.

Bagaimana kesepakatan itu bisa terjadi? Seperti diceritakan Menhub Budi Karya Sumadi, kesepakatan itu berupa mengembalikan pelayanan navigasi penerbangan pada ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau (Kepri) dan Natuna.

Sebelumnya, pelayanan itu dilakukan oleh Otoritas Navigasi Penerbangan Singapura. Berikutnya, tanggung jawab itu akan dilakukan Indonesia melalui Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Airnav Indonesia).

Lantas kesepakatan apa saja yang berkaitan dengan penyesuaian pelayanan ruang udara atau FIR? Upaya memperoleh kembali kedaulatan terhadap ruang udara itu sudah dilakukan sejak lama.  Bertahun-tahun, Pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan negeri jiran tersebut agar pengelolaannya kembali ke Bumi Pertiwi.

Bila menengok sejarahnya, pengelolaan FIR di wilayah Indonesia oleh Singapura berawal pada 1946, ketika International Civil Aviation Organization (ICAO) menyatakan bahwa Indonesia belum mampu mengatur lalu lintas udara di wilayah yang disebut sektor A, B, dan C.

Keputusan itu dihasilkan dari pertemuan organisasi internasional penerbangan sipil (ICAO) di Dublin, Irlandia, Maret 1946. Ketika itu, lembaga itu menilai Indonesia belum mampu mengelolanya karena negara itu baru saja merdeka.

Wajar saja, Indonesia sebagai negara yang baru merdeka tentu baru memulai semuanya, termasuk regulasi soal ruang udara. Demikian pula dengan kondisi fasilitas peralatan maupun tenaga lalu lintas udara Indonesia yang tentunya masih minim ketika itu.

Itulah yang menjadi alasan ICAO akhirnya memutuskan memberikan otoritas pengelolaan ruang udara itu kepada Singapura. Dengan pengelolaan FIR oleh Singapura, konsekuensi logisnya adalah seluruh pesawat yang hendak melintas di wilayah, termasuk pesawat milik Indonesia, harus melapor ke otoritas Singapura.

Seiring dengan perjalanan waktu, Indonesia berusaha untuk mengembalikan kewenangan itu. Bahkan, di era Menhub Ignasius Jonan secara resmi pernah menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengambil kembali FIR itu pada September 2015.

Tidak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi pun sempat menargetkan penguasaan kembali FIR Natuna pada 2019. Namun akhirnya baru terealisasi pada 2022 ini.

Bagi Menhub Budi Karya, kesepakatan ini merupakan buah dari berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah selama bertahun-tahun untuk melakukan negosiasi penyesuaian FIR dengan pemerintah Singapura.

Alhamdulillah, kesepakatan itu merupakan momen yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kita berhasil melaksanakan amanat Undang-Undang nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Ini bukti keseriusan Pemerintah Indonesia,” kata Budi.

Dengan kembalinya FIR wilayah itu ke Indonesia, pesawat Indonesia, baik komersial dan militer, tidak perlu minta izin kepada otoritas penerbangan Singapura jika hendak terbang dari Tanjungpinang ke Pekanbaru. Kesepakatan ini berlaku untuk penerbangan ke Pulau Natuna, Batam, dan penerbangan di kawasan Selat Malaka.

Budi Karya pun menambahkan penyesuaian FIR ini membawa sejumlah dampak positif bagi Indonesia. Pertama, meneguhkan pengakuan internasional atas status Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kedaulatan penuh ruang udara di atas wilayahnya, sesuai Konvensi Chicago 1944 dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Lalu kedua, akan semakin meningkatkan kualitas layanan dan keselamatan penerbangan di Indonesia. Terlepas dari semua itu, kesepakatan berupa kembalinya pengelolaan ruang udara itu patut disyukuri dan diapresiasi. Itulah bentuk tegaknya kedaulatan negara.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari