Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Dewan Pers meminta proteksi hukum bagi pers dari eksploitasi platform digital global. Presiden Jokowi menyanggupi. Kalau mau cepat, bentuknya adalah peraturan pemerintah (PP).
Pers merupakan salah satu pilar kekuatan nasional yang punya pengaruh besar pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia saudara sekandung dari kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, pada keluarga besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam tamsil Ketua Dewan Pers Profesor M Nuh, itu semua berada dalam nasab (keturunan/garis keluarga) yang sama.
‘’Nasabnya sama, tapi nasibnya berbeda,’’ ujar Profesor Nuh, dalam sambutannya dalam acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) yang digelar di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (9/2/2022) pagi. Tidak pelak lagi, candaan Profesor Nuh, Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2007—2009, disambut derai tawa tamu-tamu yang hadir pada resepsi HPN, baik secara fisik di Kendari, maupun yang hadir secara virtual.
Yang disampaikan Profesor Nuh sangat jelas, yakni bahwa pers Indonesia, seperti halnya pers di banyak negara, terus berada dalam tekanan akibat disrupsi digital. Mereka telah kehilangan pembaca dan audiens. Pembaca koran serta majalah, pendengar radio, penonton televisi, bahkan pembaca media online sekalipun, terus menyusut setidaknya selama 10 tahun terakhir.
Masyarakat mengkonsumsi berita, informasi, hiburan, maklumat, bahkan reklame, kini lebih banyak melalui platform tertentu, yang sebut saja, misalnya, Youtube, Google, Twitter, Instagram, Tiktok, dan kini yang terbaru ialah Metaverse. Media pers menjadi penyumbang konten terbesar bagi platform-platform kuat itu. Namun, bagian kue iklan yang diberikan hanya secuil. Selebihnya dinikmati pihak, yang oleh Profesor Nuh disebut, feodalisme digital.
Dalam sambutan sebelumnya, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S Depari pun menyebut, ihwal ancaman para raksasa digital global itu--yang dikatakannya--melihat Indonesia bagai tambang emas yang amat layak diperebutkan. ‘’Tak semestinya kita membiarkan diri menjadi objek ekspoitasi dari raksasa digital itu,’’ ujarnya.
Ketika ketergantungan pada raksasa digital masih terjadi, dukungan yang bisa diberikan pada komunitas pers adalah perlindungan hak cipta jurnalistik alias publisher rights. Dengan regulasi atas hak cipta tersebut, pemanfaatan konten produk jurnalistik akan lebih dihargai. Kalangan pers dapat menerima imbal balik dengan harga yang lebih pantas.
Atal Depari mengatakan, PWI telah menyerahkan draft regulasi tersebut pada Oktober 2021. ‘’Memang draftnya belum sempurna, tapi sekarang sudah di tangan pemerintah. Mohon Bapak Presiden menginstruksikan kementerian terkait untuk memprosesnya,’’ kata Atal Depari, seraya tak lupa menyampaikan terima kasih atas bantuan vaksin dari Presiden Joko Widodo kepada insan pers di awal 2021.
Seperti berbalas pantun, Presiden Jokowi langsung menyambut isu vaksin itu. ‘’Kalau Pak Atal perlu vaksin lagi boleh. Dulu saya hanya bisa kasih 5.000 dosis karena stoknya masih sedikit. Sekarang ada 143 juta dosis, Pak Atal perlu berapa juta,’’ kata Presiden berseloroh, yang kontan disambut tertawa riuh.
Presiden Jokowi hadir secara virtual dalam acara puncak Hari Pers Nasional 2022, dan memberikan sambutannya dari Istana Bogor. Dalam sambutannya, Presiden Jokowi menyampaikan penghargaan pada kalangan pers yang terus bekerja, menyampaikan informasi, memberikan bahan literasi, harapan dan optimisme di tengah riuhnya gelombang pandemi yang tak kunjung sepi.
‘’Saya tahu, dalam dua tahun terakhir ini industri pers nasional mengalami tekanan yang luar biasa beratnya. Mengatasi tekanan pandemi Covid-19, ada disrupsi digital, dan juga tekanan dari berbagai platform raksasa asing yang menggerus potensi ekonomi dan pengaruh media arus utama,” ujarnya.
Presiden menghadiri acara Puncak Hari Pers Nasional 2022 secara virtual didampingi Menkominfo Johnny G Plate dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Menurut Presiden, perubahan drastis dalam lanskap persaingan media telah melahirkan berbagai masalah pelik. Hal itu ditandai dengan kemunculan sumber informasi alternatif dan tren sajian informasi yang hanya mengejar jumlah klik atau views. Fenomena tersebut tumbuh subur.
‘’Membanjirnya konten yang hanya mengejar viral, serta masifnya informasi yang menyesatkan dan adu domba, menimbulkan kebingungan dan bahkan perpecahan,” ujarnya. Oleh karena itu, Presiden Jokowi berharap, media mainstream perlu membanjiri kanal dan platform yang ada dengan berita-berita baik, mencerdaskan, dan mengisi konten-konten yang berkualitas.
Presiden Jokowi berharap pula agar kepercayaan dan integritas pers tetap dijadikan modal untuk merebut peluang yang ada. Pers Indonesia, menurut Presiden Jokowi, harus dapat memperbaiki kelemahan seraya melanjutkan agenda besar bangsa. Presiden Jokowi juga mengingatkan bahwa trust dan integritas pers itu bisa memperkuat pijakan untuk melompat lebih tinggi agar mampu berselancar di tengah perubahan yang terjadi akibat akselerasi transformasi digital.
Kedaulatan Informasi
Ekosistem industri pers sendiri harus terus ditata. Kompetisi yang lebih seimbang perlu diciptakan, termasuk pengaturan bagi hasil yang adil dan seimbang antara platform global dan pihak lokal sebagai pemilik konten. Presiden Jokowi menyambut baik usulan tentang perlunya ada regulasi yang bisa menjamin agar keseimbangan itu bisa ditegakkan dengan hukum.
“Perusahaan platform asing harus diatur agar lebih baik tata kelolanya. Apakah segera mendorong undang-undang baru, atau pilihan kedua, yakni merevisi undang-undang yang lama? Bisa juga yang paling cepat adalah dengan menyiapkan peraturan pemerintah (PP). Ini kami serahkan pada PWI dan Dewan Pers agar regulasi itu segera bisa kita selesaikan,” paparnya.
Pengaturan yang baik dan seimbang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita kedaulatan informasi yang dikehendaki semua pihak. ‘’Kedaulatan informasi ini harus diwujudkan secara bersama-sama. Kita harus memperkuat ekosistem industri pers nasional. Kita membangun dan memperkuat platform nasional, periklanan, menciptakan platform video nasional agar tidak sepenuhnya tergantung pada platform video-video asing,” Presiden Jokowi menambahkan.
Dari sisi piranti, Kepala Negara menegaskan, Indonesia juga tidak boleh hanya menjadi pasar bagi produk teknologi digital global. Pengembangan teknologi inovatif yang memudahkan akses kepada informasi berkualitas, akurat, mendidik, dan akuntabel harus secepatnya dibangun.
“Pemerintah perlu memberikan reward yang sepadan ke media-media arus utama yang konsisten mendedikasikan kemampuan dan sumber dayanya untuk menghasilkan karya-karya jurnalistik yang berkualitas dan mencerdaskan,” papar Presiden Jokowi.
Agaknya Presiden Jokowi sepakat dengan tamsil Profesor Nuh, bahwa sebagai sesama anak kandung NKRI, saudara senasab, jangan sampai pers dan eksekutif berbeda nasib.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari