Indonesia.go.id - Memacu Produksi Bambu NTT

Memacu Produksi Bambu NTT

  • Administrator
  • Minggu, 20 Maret 2022 | 12:39 WIB
LINGKUNGAN
  Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Nani Hendiarti saat berkunjung ke tempat pengembangan bambu terintegrasi di Nusa Tenggara Timur (NTT). MARITIM.GO.ID
Bambu memiliki banyak manfaat untuk lingkungan. Fungsi penting dari bambu ialah restorasi lahan. Satu rumpun menyimpan 5.000 liter air dalam satu musim.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nagekeo telah menyiapkan 20 desa untuk pengembangan tata kelola dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) bambu di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Desa-desa itu ada di daerah aliran sungai (DAS) Aesesa dan DAS Aemau.

Menurut Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do di Bajawa, pada 5 Maret 2022, Pemkab Nagekeo melalui Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Nagekeo akan melakukan koordinasi dengan Bappelitbangda Ngada dalam melakukan pemetaan potensi bambu pada dua wilayah tersebut.

Kegiatan itu adalah tindak lanjut dari diskusi dengan Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi RI Nani Hendiarti di Ngada. Dalam kesempatan itu Nani meminta adanya pemetaan potensi bambu atau one map bambu yang menjadi kunci dalam pengembangan bambu di NTT.

Nani dalam kunjungan pada 4 Maret lalu menginginkan adanya rencana aksi yang melihat aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan ekologi, serta tata kelola yang bisa menjadi strategi dalam pemetaan kebutuhan, baik kebutuhan investasi maupun sumber daya yakni masyarakat yang disiapkan.

Bambu merupakan hasil hutan bukan kayu yang memiliki banyak manfaat untuk lingkungan. Fungsi penting dari bambu ialah restorasi lahan. Dalam satu rumpun bambu bisa menyimpan 5.000 liter air dalam satu musim penghujan. Bambu pun akan sangat berguna jika ditanam pada lahan kritis. Nani mendorong pelaksanaan program pengembangan bambu terintegrasi di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kunjungan diawali menuju Desa Mengerunda Ngada untuk melihat persemaian bambu yang dikelola oleh masyarakat Mama-Mama Bambu dan dilanjutkan ke Desa Nginamanu untuk melihat lokasi penganyaman bambu. “Saya senang sekali melihat Mama-mama perajin di sini yang secara tidak langsung turut berkontribusi untuk menyelamatkan iklim dunia melalui pemanfaatan dan pengolahan bambu menjadi barang yang bernilai tambah,” ungkap Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Nani Hendiarti.

Kunjungan dilanjutkan menuju Kampus Bambu Turetogo untuk melakukan kunjungan peninjauan sekaligus mengikuti Forum Diskusi secara hibrida dengan pemda dan Mama-Mama Bambu di kabupaten lain di wilayah Pulau Flores, terkait pengembangan bambu ke depan di NTT.

“Bambu ini memiliki potensi yang luar biasa dan saya sepakat kuncinya ada pada data. Kami akan dukung dan mendorong serta membantu untuk pembuatan One Map Bamboo dengan berkoordinasi dengan K/L terkait sehingga kita dapat memetakan potensi bambu untuk merancang rencana aksi kita,” ujar Deputi Nani.

Menurut Monica Tanuhandaru, Direktur Eksekutif Yayasan Bambu Lestari, kini beberapa pencapaian yang telah diraih di Nusa Tenggara Timur melalui pembudidayaan bambu. Misalnya, terdapat 388 perempuan sebagai kader pelopor dalam pembibitan bambu, peningkatan pengetahuan dan kapasitas perempuan. Lalu ada 2.519.633 jumlah bibit bambu dan ke depannya akan dikembangkan One Map Bamboo.

One Map Bamboo merupakan sebuah sistem informasi terpusat dan pembelajaran yang terintegrasi dan berbasis digital dengan melibatkan para pihak dari berbagai spesialis serta peneliti tentang bambu. Pengembangan ini didasari oleh kurangnya informasi terkait sumber daya alam, terutama bambu, di Indonesia. Harapannya ke depan dapat dikembangkan 1.000 desa bambu pada skala nasional.

Saat ini di NTT sudah ada 20 desa, dari target 200 desa bambu yang berada di NTT untuk dapat dicontohkan ke daerah lainnya di Indonesia. Khusus di Kabupaten Ngada, sudah ada 10 desa bambu yang dijadikan pusat unggulan dan percontohan untuk daerah lain.

Kesepuluh desa tersebut adalah Desa Ratogesa, Mataloko, Dokka, Dadawea, Were 1, Were 2, Were 4, Waieia, Radabata, dan Wogo yang terdapat di Kecamatan Golewa. Di samping itu juga beberapa kawasan bambu lainnya di Flores dan juga Sumba, seperti Pola, Tana Daru, Wanggameti, dan Mangili Wati.

Nani mengatakan, aspek penting yang perlu diperhatikan untuk pengembangan ke depan adalah ekonomi, sosial, lingkungan dan ekologi, serta tata kelola/kelembagaan. “Saat ini dua aspek utama yang perlu kita siapkan adalah lahan dan data, setelahnya kita dapat menghitung berapa investasi yang kita butuhkan dan juga pengembangan apa saja yang perlu kita lakukan,” tegas Nani.

Setelah diskusi di Kampus Turetogo, Nani dan rombongan melanjutkan kunjungan ke pabrik pengolahan bambu, yaitu CV Indo Bambu, di Kabupaten Nagekeo. Pabrik itu melakukan kerja sama dengan masyarakat untuk mengolah bambu menjadi bambu stik.

Bambu stik ini menjadi bahan baku pabrik PT Indo Bambu di Bali yang akan mengolahnya menjadi produk akhir. PT Indo Bambu dalam tahap awal telah memulai kerja sama dengan IKEA dalam pemasaran produknya. Kapasitas produksi PT Indo Bambu baru dapat mengolah 8.000 stik bambu, masih jauh dari kebutuhan IKEA yang membutuhkan bahan baku bambu stik sebanyak 16.000 stik, sehingga masih besar peluang pasar yang dapat dipenuhi oleh petani bambu.

NTT memiliki potensi bambu yang cukup menjanjikan. Tercatat sedikitnya ada 10 jenis bambu di NTT yang tersebar di hampir seluruh wilayah dengan konsentrasi terbesar di Flores dan Sumba. Sementara itu di Timor, relatif lebih sedikit.

Data YBL menyebutkan, di NTT terdapat area bambu seluas 80.000 hektare yang tersebar di Kabupaten Mabar, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, dan Nagekeo. Di Indonesia, terdapat lebih dari 161 jenis bambu. Luasan tanaman bambu diperkirakan mencapai 20 juta hektare. 

 

Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari