Indonesia.go.id - Jualan Baru Bernama Perdagangan Karbon

Jualan Baru Bernama Perdagangan Karbon

  • Administrator
  • Selasa, 14 Maret 2023 | 16:33 WIB
EMISI KARBON
  Perdagangan karbon tahun ini juga hanya dilakukan mandatori pada PLTU yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW. PLN
Indonesia berharap bisa menurunkan emisi dan emisi efek rumah kaca (CO2e) lebih dari 36 juta ton CO2e pada 2030 dan netral karbon pada 2060.

Sebagai wujud komitmen dalam mendukung pencapaian net zero emission (netral karbon) dan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara resmi telah memulai perdagangan karbon. Tentu, memulai langkah itu tidaklah mudah.

Namun, dalam konteks netral karbon dan menurunkan emisi gas rumah kaca, Indonesia telah memulai langkahnya, sebagai wujud komitmennya kepada dunia. Bahkan, inisiasi itu tertuang dalam wujud peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik.

Melalui peranti itu, Indonesia berharap bisa menurunkan emisi dan emisi efek rumah kaca (CO2e) lebih dari 36 juta ton CO2e pada 2030 dan netral karbon pada 2060. Semua itu dipayungi lewat Peraturan Presiden (Perpres) nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

“Kami berharap, perdagangan karbon dapat didukung oleh para pelaku usaha di subsektor pembangkitan tenaga listrik,” ujar Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam rangka peluncuran perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik, pada Rabu (22/2/2023).

Apakah sebenarnya perdagangan karbon itu? Perdagangan karbon (carbon trading) adalah pembelian dan penjualan kredit atas pengeluaran karbon dioksida atau gas rumah kaca. Melalui perdagangan itu, harapannya tingkat emisi di bumi bisa berkurang. Selain, meminimalkan dampak perubahan iklim.

Bagi Indonesia, pilihan melakukan perdagangan karbon merupakan salah satu tahapan penting untuk mencapai target tersebut. Pemerintah meyakini, perdagangan karbon diharapkan dapat memantik potensi bisnis sejalan yang menjanjikan.

Melalui skema tersebut, perusahaan yang mampu menekan emisi, dapat menjual kredit karbon mereka ke perusahaan yang melampaui batas emisi. Alhasil, sumber penerimaan perusahaan yang berhasil menekan emisi bakal bertambah.

Dalam konteks itulah, pemerintah akan membaginya dalam beberapa fase. Sebagai tahap awal, pemerintah menyebutnya sebagai fase 1. Lantas, bagaimana pencapaian pengurangan emisi Indonesia? Data Kementerian ESDM menyebutkan capaian penurunan emisi CO2 sebesar 40,6 juta ton (2018), 54,8 juta ton (2019), 64,4 juta ton (2020), 70 juta ton (2021), 91,5 juta ton (2022), dan pada 2023 diproyeksikan bisa 116 juta ton.

Berkaitan dengan tahapan itu, pemerintah memulai perdagangan karbon dengan hanya melibatkan 99 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan kapasitas 33.569 megawatt (MW). Perdagangan karbon tahun ini juga hanya dilakukan mandatori pada PLTU yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW.

 

Aturan Baru

Seiring itulah, seperti dikemukakan Menteri ESDM Arifin Tasrif, pemerintah juga telah menerbitkan aturan mengenai penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Dia menegaskan, perdagangan karbon tersebut berjalan sesuai mekanisme pasar. Nilai ekonomi karbon yang diatur tersebut, katanya, menjadi insentif bagi perusahaan yang bisa mengurangi emisi gas rumah kaca.

Arifin mengatakan, peningkatan pendapatan dari nilai ekonomi karbon itu juga dapat digunakan untuk mendukung ekonomi berkelanjutan, serta membiayai reformasi fiskal. “Namun, adopsi carbon pricing bakal menghadapi tantangan. Khususnya, di tengah peningkatan inflasi dan harga energi saat ini,” katanya,

Di Indonesia, nilai transaksi perdagangan karbon fase 1 diperkirakan menembus USD9 juta per tahun, dengan asumsi jumlah karbon yang potensial untuk diperdagangkan secara langsung antarperusahaan sebesar 500.000 ton CO2e, dan harga kredit karbon yang diproyeksi sebesar USD2 hingga USD18 per ton CO2e.

Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Priharto Dwinugroho menjelaskan, kementerian itu tidak mengeluarkan harga karbon. “Angka itu hanya kajian dari kami bahwa US2–USD18 per ton berdasarkan spesifikasi dari pembangkit listrik masing-masing,” katanya.

Adapun, ke depan harga akan mengacu pada mekanisme pasar saat bursa karbon terbentuk. Pembentukan bursa karbon kini masih menjadi salah satu agenda penting Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Jika ditelusuri, tren transisi energi yang dilakukan oleh banyak negara menjadikan perdagangan karbon sebagai salah satu peluang usaha dengan prospek cerah. Bank Dunia mencatat, pendapatan global dari carbon pricing pada 2022 mencapai USD84 miliar, naik hampir 60 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

PT PLN Nusantara Power, salah satu subholding PLN, berencana menerbitkan kredit karbon sertifikat pengurangan emisi (SPE) sebesar 1,57 juta ton CO2e tahun ini. Rencana penerbitan kredit karbon SPE yang terbilang besar itu menandakan peluang bisnis yang terbuka lebar untuk perdagangan faktor pengurang emisi di tanah air.

Pasalnya, kredit karbon SPE itu nantinya bisa dijual ke pembangkit yang menghasilkan emisi karbon melebihi batas yang telah ditentukan. “Kami punya potensi SPE sebesar 1,57 juta ton CO2e yang bisa diperdagangkan,” kata Direktur Utama PLN Nusantara Power Rully Firmansyah.

Adapun, potensi kredit karbon SPE PLN Nusantara Power itu berasal dari tiga proyek pembangkit, yakni pembangkit listrik tenaga gas dan uap di Blok 3 Muara Karang dengan potensi kredit karbon SPE mencapai 1,2 juta ton CO2e.

Kemudian, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Sipansihaporas dan PLTA Renun yang diproyeksikan memiliki potensi kredit karbon SPE sebesar 363.957 ton CO2e. Tidak hanya PLN, pengusaha listrik swasta juga melihat peluang bisnis yang prospektif dari perdagangan karbon fase 1 resmi diluncurkan belum lama ini.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan, komitmen perusahaan pembangkit listrik untuk menekan emisi berpeluang menjadi sumber pemasukan baru dari kehadiran perdagangan karbon. Pelaku usaha kini memiliki gambaran yang lebih konkret soal batasan gas buang yang mesti diperhitungkan untuk menentukan perdagangan kredit karbon nantinya.

Sementara itu, United Nations Development Program (UNDP) Resident Representative Norimasa Shimomura menyatakan dukungan terhadap pelaksanaan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik. Menurut dia, Indonesia telah mengambil langkah pertama untuk menggunakan perdagangan karbon sebagai instrumen di sektor energi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga batu bara serta menawarkan insentif karbon untuk investasi energi terbarukan dan efisiensi energi.

“Sebuah kehormatan bagi UNDP untuk berpartisipasi dalam Transisi Energi Indonesia dengan pendanaan dari Pemerintah Jepang," ungkap Norimasa.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari