Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr Mohammad Syahril menegaskan bahwa dalam RUU Kesehatan, organisasi profesi tidak akan dihilangkan, hanya meniadakan kewenangannya yang sering kali disalahgunakan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah memberikan pelindungan hukum yang lebih jelas dan kuat untuk dokter, perawat, bidan, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr Mohammad Syahril mengatakan, pasal-pasal terkait hukum yang dikhawatirkan para dokter dan tenaga kesehatan sudah ada di undang-undang yang berlaku saat ini. Tidak ada organisasi profesi dan individu yang bersuara serta berinisiatif untuk memperbaikinya setelah berlaku hampir 20 tahun ini.
“DPR justru memulai inisiatif untuk memperbaiki undang-undang yang ada, sehingga pasal-pasal terkait perlindungan hukum ini menjadi lebih baik. Pemerintah pun mendukung upaya ini. Menolak RUU akan mengembalikan pasal-pasal terkait hukum yang ada, seperti dulu. Yang sudah terbukti, membuat banyak masalah hukum bagi para dokter dan nakes,” kata dokter Syahril, pada 11 Mei lalu.
RUU Kesehatan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perselisihan (pasal 322 ayat 4 DIM Pemerintah) antiperundungan (antibullying). Tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat menghentikan pelayanan kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya, termasuk tindakan kekerasan, pelecehan dan perundungan (pasal 282 ayat DIM pemerintah).
Bahkan penyusunan RUU Omnibus Law Kesehatan telah dilakukan pemerintah sesuai dengan prosedur. Yakni, mengundang partisipasi masyarakat sipil dan organisasi profesi (OP). OP dilibatkan dari awal perencanaan RUU, yakni sejak 2022. Hal itu bisa dicek di https://www.dpr.go.id/uu/det ail/id/319. Hearing Maret--April 2023 sampai pembahasan di Panja Komisi IX-DPR.
Organisasi Profesi tidak Dihilangkan
Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr Mohammad Syahril menegaskan pula bahwa organisasi profesi tidak akan dihilangkan. Hanya saja, tidak diatur oleh pemerintah. Jadi OP itu independen menjadi mitra pemerintah.
“RUU Kesehatan hanya meniadakan kewenangan OP yang sering kali disalahgunakan, yaitu rekomendasi untuk surat tanda regristasi (STR) dan surat izin praktik (SIP). Ini malah sering menghambat dokter praktik, serta mengurangi wewenang mengeluarkan SKP untuk perpanjangan STR dan SIP yang sering membuat seminar bekerja sama dengan pabrik obat,” katanya.
Jadi dengan RUU Kesehatan ini, SKP bisa juga dikeluarkan oleh pemerintah dan pihak lain yang memenuhi syarat tertentu. Bukan hanya oleh OP. RUU Kesehatan bahkan dibuat dengan tujuan memperkuat peran konsil kedokteran dan tenaga kesehatan. Serta, tetap menjamin independensinya lewat pelibatan pemerintah selaku regulator.
“Sehingga posisi konsil kedokteran tidak rawan dipergunakan oleh kepentingan segelintir elite organisasi profesi,” papar dokter Syahril.
Pemerintah meyakinkan bahwa dalam RUU Kesehatan yang baru tidak ada sentralisme kewenangan pada Kemenkes. Yang ada adalah meniadakan kewenangan dalam hal rekomendasi pembuatan STR dan SIP.
Pemerintah juga melakukan simplifikasi, yaitu STR 1x pembuatan, SIP setiap 5 tahun. Tidak ada satu pun negara di dunia yang memberikan kewenangan pemberian rekomendasi SIP ke organisasi profesi.
Peran organisasi profesi sebagai mitra pemerintah untuk program-program kesehatan tidak dihapus. Organisasi profesi tetap eksis dan independen menjaga marwah, merangkul anggota untuk pengabdian masyarakat, memberi perlindungan, dan meningkatkan kompetensi.
Dalam RUU Kesehatan, pemerintah mengusulkan wahana hospital based dalam pendidikan kedokteran, karena sistem saat ini university based tidak bisa menjawab pemenuhan kebutuhan dokter spesialis sampai ke daerah pelosok tanah air. Sistem hospital based direncanakan dengan berbagai cara, antara lain, 2.500 beasiswa spesialis dan subspesialis, mendorong pemda menganggarkan beasiswa, insentif nakes, infrastruktur, sarpras, hospital/collegium based untuk putra daerah.
Yang juga berbeda dalam RUU Kesehatan ini adalah tidak sarat kriminalisasi terhadap nakes. Justru, menambah jaminan perlindungan hukum terhadap nakes. Salah satunya dengan memberikan jaminan hukum ketika nakes mendapatkan kekerasan fisik dan verbal. Denda juga turun hanya 10% (kategori 2), dari 100 juta jadi 10 juta dan mengutamakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (mediasi) dan keadilan restoratif.
Moral dan Etika Nakes
RUU Kesehatan menjamin kualitas tinggi moral dan etika tenaga kesehatan, karena langsung dikontrol oleh pemerintah. Sebaliknya selama ini OP seringkali menerapkan standar ganda soal etika dan moral. Hal ini terlihat dari keikutsertaan OP dalam iklan dan bekerja sama dengan produk-produk minuman mineral dan sufor serta banyaknya isu seputar kerja sama nakes dengan pabrik obat.
Lebih dari itu, RUU Kesehatan itu juga memberikan jaminan bahwa tenaga kesehatan asing atau tenaga kesehatan yang lulus dari universitas luar negeri mendapatkan proses adaptasi yang transparan, berlapis, dan akuntabel. Selama ini banyak dokter "anak bangsa" yang lulus dari universitas di luar negeri, tidak bisa praktek akibat proses adaptasi yang tidak transparan dan akuntabel.
RUU Kesehatan juga membuka peluang investasi, sehingga rumah sakit dengan kualitas pelayanan Internasional dapat melayani rakyat Indonesia dan memberikan pilihan pelayanan kesehatan berkualitas bagi rakyat Indonesia, tanpa harus berobat ke luar negeri untuk mendapatkan pelayanan kualitas tinggi. Dengan adanya RS asing, maka bisa terbuka juga peluang alih dan transfer teknologi.
“Kalau RS kawasan ekonomi khusus, kita ada permenkes (peraturan Menteri Kesehatan,red). Tujuan dari RS ini menambah layanan dan pangsa pasarnya orang yang biasa berobat ke luar negeri bahkan diharapkan orang luar negeri akan berobat ke Indonesia juga dan bisa meningkatkan income Indonesia. Persaingan sehat bisa terjadi. Dokter lokal bisa bekerja di RS kawasan ekonomi khusus juga, faskes lokal akan bersaing secara sehat dengan inovasi layanan dan standar gaji yang meningkat untuk dokter lokal,” tutur dokter Syahril.
Yang menarik dari RUU Kesehatan adalah jaminan pemerintah terhadap tranparansi dan akuntabilitas proses masuknya tenaga asing berkualitas. Komite medik RS dan faskes akan menjaga mutu dan memastikan nakes berkompeten. Akreditasi tetap dilaksanakan bahkan sampai level dokter praktek mandiri.
Tentu saja, dengan RUU Kesehatan yang sedemikian rupa, maka hak rakyat atas fasilitas dan teknologi kesehatan yang layak bermutu dan manusiawi, melalui enam pilar transformasi kesehatan, bisa kian terjamin. Pada enam pilar itu dikedepankan tentang kesehatan masyarakat yang terstruktur, sistematis, dengan indikator jelas dan jangka panjang yang dimulai dari layanan primer, rujukan, ketahanan (kemandirian) kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, dan teknologi kesehatan.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari