Indonesia.go.id - Menjaga Usaha ‘Wong Cilik’ dari Perang Harga

Menjaga Usaha ‘Wong Cilik’ dari Perang Harga

  • Administrator
  • Rabu, 1 November 2023 | 07:51 WIB
EKONOMI DIGITAL
  Pesatnya industri layanan dagang online membuat pemerintah membuat aturan yang melindungi pelaku UMKM . ANTARA FOTO
Latar belakang penerbitan aturan itu adalah untuk meningkatkan perlindungan terhadap UMKM, konsumen, dan pelaku usaha di dalam negeri.

Kepedulian pemerintah terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah menjadi keniscayaan. Apalagi, sektor UMKM tercatat sebagai penopang utama ekonomi negara ini.

Belum lama ini, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menerbitkan aturan baru perdagangan melalui sistem elektronik. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) bernomor 31 yang diteken pada 2023 berlaku sejak 26 September 2023.

Menteri Zulhas mengatakan, aturan tersebut merupakan penyempurnaan Permendag nomor 50 tahun 2020 tentang perizinan berusaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik.

Zulhas menambahkan, latar belakang penerbitan aturan itu, di antaranya, untuk meningkatkan perlindungan terhadap UMKM, konsumen, dan pelaku usaha di dalam negeri. Selain itu, lahirnya Permendag itu untuk mencegah persaingan usaha yang kurang adil atau kurang fair, terutama perdagangan melalui sistem elektronik.

Dalam konteksi perdagangan secara elektronik, tidak dipungkiri penggunaan platform berbasis digital di semua sektor kini sudah menjadi keniscayaan, termasuk di dagang online (e-commerce). Ibarat cendawan di musim hujan, pascapandemi layanan e-commerce tumbuh subur.

Pesatnya industri layanan dagang online tentu perlu diapresiasi. Di mana, gerak langkah pelaku ekonomi tidak lagi dengan cara konvensional, atau tatap muka, melainkan kini cukup melalui skema daring.

Akibat melesatnya e-commerce atau bisnis berbasis online juga dikenal dengan sebutan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE), kita juga menyaksikan bahwa pola bisnis konvensional melalui temu muka antara pedagang dan konsumen kini nyaris tak terjadi lagi. Semua bisa diselesaikan melalui sebuah gadget atau PC (sistem elektronik).

Namun, sistem perdagangan berbasis elekronik ini juga memberikan dampak ikutan lainnya. Sesama pembisnis berbasis elektronik itu saling bersaing, bahkan persaingannya sangat ketat, cenderung saling bantai dengan perang harga atau predatory pricing.

Apa yang dimaksud dengan predatory pricing? Melansir Price Intelligently, pengertian istilah predatory pricing yaitu kegiatan menjual barang di bawah harga dan jauh dari modal. Meskipun merugi, beberapa perusahaan kerap melakukan ini. Dikutip dari Investopedia, aksi ini melanggar hukum antitrust karena tujuannya akan menciptakan monopoli.

Terlepas dari dampak negatif dari bisnis berbasis digital itu, lahirnya ekonomi digital lebih banyak memberikan manfaat atau memberikan berkah bagi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi tercipta. Begitupun lapangan pekerjaan.

Google, Temasek, dan Bain & Company edisi 2022 berusaha untuk memotret prospek bisnis berbasis digital di Indonesia. Mereka pun melakukan survei pada 2022. Ketiga institusi pun memberikan kesimpulan bahwa prospek sektor itu akan melesat pertumbuhannya.

Di laporan itu, mereka memprediksi nilai ekonomi digital bila menggunakan pendekatan nilai penjualan atau gross merchandise value (GMV) Indonesia akan mencapai USD130 miliar pada 2025. Padahal, tahun lalu hanya bernilai USD77 miliar.

Dari total nilai sebesar itu, layanan berbasis e-commerce atau e-dagang sebagai motor utamanya. Google, Temasek dan Bain & Company memprediksi porsi nilai GMV e-commerce Indonesia mencapai USD95 miliar atau Rp1,5 triliun pada 2025. Sebuah nilai tidak kecil.

Beberapa pengaturan utama dalam Permendag 31/2023 antara lain, pertama, pendefinisian model bisnis penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik seperti lokapasar (marketplace) dan social commerce untuk mempermudah pembinaan dan pengawasan.

Kedua, penetapan harga minimum sebesar USD100 per unit untuk barang jadi asal luar negeri yang langsung dijual oleh pedagang (merchant) ke Indonesia melalui platform e-commerce lintas negara.

Ketiga, penyediaan positive list, yaitu daftar barang asal luar negeri yang diperbolehkan cross border langsung masuk ke Indonesia melalui platform e-commerce.

Keempat, menetapkan syarat khusus bagi pedagang luar negeri pada marketplace dalam negeri. Yaitu menyampaikan bukti legalitas usaha dari negara asal, pemenuhan standar (SNI wajib) dan halal, pencantuman label, berbahasa Indonesia pada produk asal luar negeri, dan asal pengiriman barang.

Kelima, larangan marketplace dan social commerce untuk bertindak sebagai produsen.

Keenam, larangan penguasaan data oleh PPMSE dan afiliasi. Kewajiban PPMSE untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan penguasaan data penggunanya untuk dimanfaatkan oleh PPMSE atau perusahaan afiliasinya.

 

Penjualan via Medsos

Harus diakui, tren penjualan lewat media social commerce, seperti TikTok, memang memicu lahirnya permendag. Pasalnya, media dagang serupa itu dinilai relaif mematikan pelaku usaha kelas UMKM, terutama pedagang pasar konvensional seperti Tanah Abang, Thamrin City, dan sejenis lainnnya. Mereka juga terindikasi mengemplang pajak.

Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menegaskan, hingga kini Tiktok Shop belum dikenai pajak e-commerce. Kendati, perusahaan itu sudah melakukan transaksi jual beli.

Dijelaskan Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan DJP Ihsan Priyawibawa, kini Tiktok hanya terdaftar sebagai perusahaan yang dipungut pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Artinya, Ditjen Pajak hanya menerima pajak pengiklan yang ditayangkan di Tiktok.

"Tiktok terdaftar di kami sebagai salah satu pemungut PPN PMSE. Jadi Tiktok melakukan setoran pajak terhadap aktivitas pemungutan PPN atas transaksi-transaksinya di Indonesia. Jadi orang Indonesia memanfaatkan jasa Tiktok, maka mereka pemungut PPN-nya," tutur Ihsan.

Itulah sebabnya, Ihsan mengungkapkan, pihaknya masih akan mempelajari model bisnis yang dilakukan Tiktok, jika perusahaan tersebut mendaftar sebagai e-commerce

"Perlakuannya akan sama, seperti dengan yang lain. Artinya apakah Tiktok sebagai wajib pajak dalam negeri atau luar negeri. Jadi kita akan pelajari dulu model bisnis yang akan dilakukan Tiktok," jelas Ihsan.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari