Indonesia.go.id - Pagar Aturan “Artificial Intelligence”

Pagar Aturan “Artificial Intelligence”

  • Administrator
  • Rabu, 22 Mei 2024 | 08:48 WIB
KOMINFO
  Menkominfo Budi Arie Setiadi (tengah) bersama Staf Khusus Menkominfo Widodo Muktiyo (kanan) dan Sugiharto (kiri) memberikan keterangan pers terkait hasil pertemuannya dengan CEO Microsoft Satya Nadella di Jakarta, Selasa (30/4/2024). ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga
Kendati dibuat untuk mendorong investasi dan inovasi, beleid baru terkait AI harus tetap melindungi demokrasi, aturan hukum, dan hak fundamental.

Sejak beberapa tahun belakangan, berbagai sektor di ranah global maupun nasional diramaikan oleh kemunculan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang memiliki kemampuan khusus untuk memecahkan masalah.

Dengan kecerdasannya yang disebut-sebut mampu menyaingi kemampuan kognitif manusia, AI telah dirasa mampu membantu beragam pekerjaan manusia. Mulai dari yang sifatnya sederhana, hingga pekerjaan yang relatif rumit sekalipun.

Kecerdasan buatan dikenal di berbagai lini kehidupan. Baik dalam berkegiatan sehari-hari, seperti bekerja dan beraktivitas lainnya, saat menikmati beragam aktivitas hiburan, hingga juga tatkala harus melakukan aktivitas ekonomi, termasuk perbankan atau berbelanja. Di sejumlah negara maju di dunia, keberadaan teknologi kecerdasan buatan yang demikian signifikan dalam segala bentuk aktivitas manusia itu mulai diselaraskan dengan nilai-nilai kehidupan lainnya.

Penyelarasan itu, antara lain, dilakukan dengan menerbitkan aturan-aturan khusus terkait kecerdasan buatan. Sebagaimana disebutkan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, pada medio Desember 2023, Uni Eropa merupakan salah satu kawasan yang telah memberlakukan peraturan terkait AI. “Di Eropa sudah mulai muncul. Nah, kita pelajari bagaimana nanti implementasinya di Indonesia. Karena nilai-nilainya sudah kelihatan, begitu juga tentang pemanfaatan, dan kontrolnya, kita mengadopsi apa yang udah diputuskan negara maju,” ujar Budi Arie, ketika itu.

Walau begitu, jauh-jauh hari Menkominfo menegaskan bahwa terbitnya peraturan terkait AI kelak bukan merupakan bentuk penolakan pemerintah terhadap kemajuan teknologi. Lahirnya peraturan itu, sambung dia, semata untuk mengatasi potensi dampak negatif yang bisa muncul dari teknologi tersebut.

“Semangatnya itu bukan kita menolak kemajuan teknologi, tapi kita harus tata, kita harus atur bagaimana dampak negatifnya bisa kita minimalisir,” tambahnya.

Memberi penekanan pada pendekatan berbasis risiko terhadap produk atau layanan yang menggunakan kecerdasan buatan dan berfokus pada mengatur penggunaan AI agar mampu mendorong terciptanya investasi dan inovasi di tanah air, pemerintah menggaransi beleid AI akan tetap mengedepankan prinsip perlindungan atas demokrasi, aturan hukum dan hak fundamental, seperti kebebasan berpendapat.

Disampaikan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo Usman Kansong, pemerintah betul-betul memperhatikan pengembangan AI agar jangan sampai digunakan untuk hal-hal yang buruk. "Kita perlu kritis terhadap pengembangan teknologi, tetapi jangan terlalu khawatir. Khawatir seperlunya saja. Teknologi harus dikembangkan supaya dampak baiknya ditingkatkan, dan dampak buruknya diminimalisir," katanya di awal November lalu.

 

Dimulai dari Etika

Seiring perkembangan pembuatan beleid baru terkait kecerdasan buatan, Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria menegaskan bahwa aturan untuk mengatur kecerdasan buatan yang dibentuk oleh eksekutif pemerintah ditargetkan rampung sebelum adanya pemerintahan baru, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih dalam Pemilu 2024.

"Kalau timeline-nya untuk kami, sampai dengan pemerintahan ini.  Targetnya paling tidak bisa melahirkan peraturan menteri atau peraturan presiden. Nanti untuk selanjutnya, kita berharap inisiatif pemerintahan ke depan bisa mendorong aturannya di tingkat legislatif," kata Nezar di Jakarta, Senin (6/5/2024).

Lebih jauh Nezar menyebutkan, dalam penyiapan tata kelola AI terdapat tiga tingkatan pengaturan. Yakni, mulai dari pengaturan etika, pengaturan di level eksekutif, dan pengaturan di level legislatif. “Untuk pengaturan etika yang sifatnya panduan, saat ini Indonesia sudah memilikinya lewat Surat Edaran (SE) Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 9 tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial yang dirilis pada November 2023,” tuturnya.

Itulah sebabnya, Nezar mengungkapkan, sebagai wujud langkah lanjutan dalam tata kelola AI di Indonesia, masih diperlukan dua pengaturan tambahan. Yaitu, sambung dia, dari level eksekutif dan level legislatif. “Dengan demikian, tata kelola AI itu bisa memiliki pengaturan dengan ketetapan hukum yang lebih kuat,” katanya.

Meski belum dalam tingkatan formal, Nezar menegaskan, pembahasan pengaturan AI di level eksekutif sedang dikaji. Komunikasi dengan pemangku kepentingan terkait sudah berjalan, sambung dia, untuk merancang apakah Indonesia akan menghadirkan peraturan menteri atau peraturan presiden.

Nezar menilai, kelak aturan-aturan mengenai AI di tingkat eksekutif maupun legislatif itu harus diselaraskan dengan aturan-aturan di tingkat sektoral yang telah ada sebelumnya. Dicontohkannya, harus selaras dengan panduan pengembangan AI dari OJK untuk sektor finansial dan panduan dari Kemenkes di sektor kesehatan. Walau begitu, pemerintah memastikan aturan-aturan tersebut tidak akan menghambat lahirnya inovasi, melainkan memitigasi risiko.

"Intinya peraturan ini sekali lagi semangatnya tidak membatasi inovasi tetapi mencoba memetakan risikonya. Lalu, mencoba memaksimalkan benefit yang bisa didapatkan dari penggunaan AI," tutupnya.

 

Sesuai Budaya

Urgensi standar pengaturan bagi kecerdasan buatan pernah disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika Mira Tayyiba di Jakarta, Selasa (31/10/2023). Mira Tayyiba bahkan menegaskan, standar pengaturan itu harus sesuai dengan budaya dan konteks lokal. Hal itu ditujukan agar penerapan teknologi tersebut sejalan dengan kebutuhan masyarakat.

“Indonesia dapat mempelajari ketentuan ataupun regulasi dari negara lain sebagai pembanding untuk pengaturan AI. Namun pada akhirnya, memang dibutuhkan kebijaksanaan dan penyesuaian dengan budaya lokal Indonesia agar bisa didapatkan aturan yang sesuai. Jadi apa yang dipelajari saat studi banding di berbagai negara harus kita ambil pembelajarannya untuk diterapkan di sini (Indonesia) dengan konteks kita," kata Mira.

Kendati belum memiliki regulasi yang mengatur secara khusus penerapan inovasi teknologi yang dikenal dengan sebutan kecerdasan buatan itu, Indonesia sejatinya sudah memiliki laporan "Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia" (Stranas KA) yang dirilis pada 2020. Itu merupakan salah satu bentuk antisipasi konkret dari Pemerintah Indonesia, terkait komitmen pada penerapan AI yang beretika.

"Dokumen ini menggarisbawahi pentingnya pengembangan serta penerapan AI yang beretika, sembari menekankan agar kebijakan terkait AI dapat disusun sekaligus diaplikasikan secara transparan, akuntabel, dan adil," tutup Mira.

 

Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari

Berita Populer