Indonesia menguji coba biodiesel B40 yang menggabungkan 40 persen bahan bakar nabati dari kelapa sawit untuk meningkatkan ketahanan energi dan mengurangi emisi karbon di tengah krisis energi. Dengan langkah ini, Indonesia berkomitmen menuju transisi energi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Konflik yang melanda berbagai belahan dunia, khususnya di Eropa dan Timur Tengah, telah mengganggu rantai pasokan energi global, menciptakan krisis energi yang meluas. Dalam menghadapi tantangan ini, banyak negara, termasuk Indonesia, mulai beralih mencari sumber energi alternatif, dengan fokus pada energi baru dan terbarukan (EBT). Salah satu solusi yang menjanjikan adalah pengembangan biodiesel.
Sejak tahun 2014, Indonesia telah mengimplementasikan kebijakan mandatori biodiesel melalui Peraturan Menteri ESDM nomor 12/2015. Kebijakan ini mewajibkan penggunaan campuran biodiesel dalam bahan bakar solar, dimulai dari B10 pada tahun 2014, kemudian meningkat menjadi B15 pada 2015, B20 pada 2016, dan B30 pada 2020. Terbaru, pada 1 Februari 2023, Indonesia melangkah lebih jauh dengan pengembangan B35, dan saat ini sedang melakukan uji coba B40, yang merupakan campuran 40 persen fatty acid methyl ester (FAME) dan 60 persen solar. Inovasi ini diharapkan dapat menghasilkan Green Diesel (D100), Green Gasoline (G100), dan Green Jet Avtur (J100), yang telah melalui berbagai uji coba untuk kendaraan darat hingga pesawat terbang.
Uji coba terbaru dalam pengembangan biodiesel di Indonesia adalah penerapan B40 untuk kereta api. Campuran B40 ini terdiri dari 60 persen solar dan 40 persen bahan bakar nabati dari kelapa sawit. Uji coba tersebut dilakukan di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, pada 22 Juli 2024, menggunakan kereta api Bogowonto yang melayani rute Yogyakarta–Pasar Senen. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa uji coba ini bertujuan untuk menguji ketahanan genset kereta api Bogowonto selama 1.200 jam. Ia berharap uji coba ini dapat rampung pada Desember 2024, sehingga penggunaan B40 secara penuh dapat dilakukan pada 2025.
Program B40 tidak hanya memberikan manfaat dari segi lingkungan, tetapi juga memiliki dampak positif bagi perekonomian. Dengan pengurangan impor solar, diharapkan penghematan devisa negara dapat meningkat. Pada tahun 2023, penggunaan B35 telah menghemat devisa hingga Rp122 triliun. Jika beralih ke B40, penghematan devisa diperkirakan dapat mencapai sekitar USD9 miliar atau sekitar Rp144 triliun. Selain itu, penurunan emisi karbon dioksida (CO2) ditargetkan mencapai 42,5 juta ton dari estimasi pemakaian 16 juta kiloliter B40 pada 2025.
Suryawan Putra Hia, Vice President of Logistics PT KAI, menyatakan bahwa saat ini PT KAI telah menggunakan 300 juta liter bahan bakar B35 tanpa mengalami masalah pada performa mesin kereta. Ia optimis bahwa peralihan dari B35 ke B40 akan berjalan dengan lancar. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Kepala Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), Mustafid Gunawan, yang menjelaskan bahwa uji coba penggunaan B40 dilakukan pada mesin lokomotif dan genset kereta api.
Untuk mendukung uji coba ini, PT KAI telah membangun fasilitas blending dan pengisian bahan bakar di lima lokasi strategis: Cipinang (Jakarta), Arjawinangun (Cirebon), Cepu (Blora), Lempuyangan (Yogyakarta), dan Pasar Turi (Surabaya). Dengan langkah-langkah strategis ini, Indonesia berharap dapat memperkuat ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, sekaligus memberikan kontribusi nyata dalam mengurangi emisi karbon global.
Melalui inovasi dan komitmen terhadap pengembangan EBT, Indonesia tidak hanya berupaya untuk menciptakan solusi energi yang berkelanjutan, tetapi juga untuk mewujudkan masa depan yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Dengan langkah konkret ini, Indonesia menunjukkan bahwa negara kita siap menjadi pelopor dalam transisi energi, sekaligus berkontribusi pada upaya global untuk mengatasi perubahan iklim.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari