Indonesia.go.id - PDB Triwulan II-2024 Melonjak: Industri Pengolahan Jadi Motor Ekonomi

PDB Triwulan II-2024 Melonjak: Industri Pengolahan Jadi Motor Ekonomi

  • Administrator
  • Kamis, 22 Agustus 2024 | 08:39 WIB
INDUSTRI
  Industri tekstil dan pakaian jadi, misalnya, mengalami penurunan sebesar 0,03 persen (year on year) akibat lonjakan produk tekstil impor yang membanjiri pasar domestik. ANTARA FOTO
Industri pengolahan kembali membuktikan perannya sebagai pilar utama ekonomi Indonesia, menyumbang 18,52% terhadap PDB di triwulan II-2024. Temukan bagaimana sektor ini mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan global yang dinamis.

Industri pengolahan terus menjadi kontributor utama dalam perekonomian nasional. Pada triwulan II tahun 2024, sektor ini berhasil menyumbang 18,52 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), meningkat dari 18,26 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Dengan kontribusinya yang signifikan, industri pengolahan menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi pada triwulan II dengan kontribusi sebesar 0,79 persen. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengonfirmasi pencapaian itu, meskipun mencatat adanya sedikit penurunan dalam pertumbuhan industri pengolahan nonmigas, yang mencapai 4,63 persen (year on year) pada triwulan II-2024.

Angka ini sedikit menurun dari 4,64 persen pada triwulan I-2024. Pertumbuhan sektor ini didorong oleh permintaan domestik dan internasional, terutama dari industri makanan dan minuman yang mencatat pertumbuhan 5,53 persen, didukung oleh peningkatan permintaan selama momen Idulfitri, Iduladha, dan panen raya padi.

Industri logam dasar juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan sebesar 18,07 persen, didorong oleh peningkatan permintaan produk besi dan baja, baik dari pasar domestik maupun internasional. Sementara itu, industri kimia, farmasi, dan obat tradisional mencatat pertumbuhan 8,01 persen, sejalan dengan meningkatnya permintaan dari dalam dan luar negeri.

Namun, di tengah kinerja positif sektor-sektor tersebut, beberapa industri mengalami kontraksi. Industri tekstil dan pakaian jadi, misalnya, mengalami penurunan sebesar 0,03 persen (year on year) akibat lonjakan produk tekstil impor yang membanjiri pasar domestik. Selain itu, industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki juga tumbuh melambat dengan pertumbuhan hanya sebesar 1,93 persen, dipengaruhi oleh penurunan produksi alas kaki akibat penutupan beberapa pabrik di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.

Menteri Perindustrian menekankan pentingnya peran sektor manufaktur sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Namun, performa sektor ini sangat bergantung pada upaya pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif.

"Kondisi ekonomi global yang belum stabil dan adanya regulasi yang tidak mendukung pelaku industri turut mempengaruhi aktivitas industri dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi yang serius dan tepat sasaran," kata Agus.

 

Kinerja PMI Manufaktur

Kondisi perlambatan juga tecermin pada Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juli 2024, yang turun ke level 49,3, memasuki fase kontraksi setelah sebelumnya selama 34 bulan berturut-turut berada di level ekspansi.

Presiden Joko Widodo dalam Sidang Kabinet di Ibu Kota Nusantara (IKN) mengungkapkan bahwa kontraksi PMI manufaktur ini perlu diwaspadai, terutama karena beberapa negara di Asia juga mengalami penurunan yang serupa, dengan output menjadi komponen yang paling terdampak.

Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada periode Juli 2024 juga mencatat penurunan, dari 52,5 pada Juni 2024 menjadi 52,4. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya nilai variabel pesanan baru serta terkontraksinya variabel produksi, yang menunjukkan adanya penurunan kepercayaan diri atau tingkat optimisme para pelaku industri.

Dalam menghadapi tantangan ini, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menekankan, perlunya pemerintah untuk menciptakan stabilitas nilai tukar rupiah dan mengendalikan inflasi agar sektor manufaktur dapat terus berekspansi. Menurutnya, fluktuasi nilai tukar yang tidak stabil dapat memicu inflasi biaya produksi dan menciptakan risiko usaha yang tinggi, yang pada akhirnya akan menahan pelaku usaha dan investor untuk melakukan ekspansi.

Meski demikian, Shinta tetap optimistis bahwa pelaku usaha akan terus berupaya melakukan ekspansi hingga akhir tahun, meskipun realisasinya sangat bergantung pada iklim usaha di Indonesia. "Apalagi, Indonesia sedang dalam periode transisi kepemimpinan," tambahnya.

Meskipun PMI dan IKI menunjukkan perlambatan, pemerintah tetap optimistis akan adanya pembalikan arah yang positif seiring dengan komitmen untuk terus menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pun optimistis bahwa kinerja industri manufaktur di Indonesia masih memiliki potensi untuk bangkit kembali jika didukung oleh kebijakan-kebijakan yang pro-bisnis.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Rayna Nuraini/Elvira Inda Sari