Indonesia.go.id - Upaya RI Hentikan Genosida di Palestina tak Pernah Berhenti

Upaya RI Hentikan Genosida di Palestina tak Pernah Berhenti

  • Administrator
  • Sabtu, 24 Mei 2025 | 10:34 WIB
SOLIDARITAS UNTUK PALESTINA
  Seorang pengunjuk rasa membawa poster saat aksi solidaritas Palestina di depan Monas, Jakarta, Selasa (22/4/2025). Aksi tersebut untuk mendukung kemerdekaan Palestina sekaligus penolakan terhadap segala bentuk relokasi atau pemindahan paksa warga Gaza dari tanah Palestina. ANTARA FOTO/Fathul Habib Sholeh/tom.
Indonesia juga telah mengirimkan kapal rumah sakit KRI dr. Radjiman Wedyodiningrat untuk sandar selama beberapa bulan di El Arish dan merawat korban-korban perang dari Gaza.

Perhatian Indonesia terhadap nasib bangsa Palestina yang mengalami krisis kemanusiaan dan genosida akibat agresi Israel, terus dilakukan baik dengan pengiriman bantuan kemanusiaan maupun jalur diplomasi.

Terlebih lagi, berdasarkan Kementerian Kesehatan Palestina seperti dilansir ANTARA dan Anadolu Agency pada Sabtu (17/5/2025), sekira 53.272 warga Palestina baik di Jalur Gaza dan Tepi Barat telah tewas dalam agresi oleh Israel sejak Oktober 2023.

Kantor Media Pemerintah Palestina yang berpusat di Gaza melaporkan 65 persen korban serangan Israel di Gaza adalah perempuan, anak-anak, dan lansia. Pasukan Israel telah membunuh lebih dari 18.000 anak-anak, 12.400 wanita.

Sejauh ini, Indonesia telah mengirimkan bantuan berupa makanan, alat-alat kesehatan, obat-obatan, pakaian, air bersih, untuk rakyat Palestina di Gaza, baik yang disalurkan melalui El Arish, Mesir, maupun yang diterjunkan langsung dari udara bekerja sama dengan Angkatan Udara Yordania.

Indonesia juga telah mengirimkan kapal rumah sakit KRI dr. Radjiman Wedyodiningrat untuk sandar selama beberapa bulan di El Arish dan merawat korban-korban perang dari Gaza.

Indonesia juga mengirimkan tim dokter dan tenaga kesehatan ke Rafah, Gaza, untuk memberikan layanan kesehatan di rumah sakit lapangan milik UAE, dan di rumah sakit terapung, yang juga milik UAE, di El Arish, Mesir.

Dokter-dokter dan tenaga kesehatan yang saat ini bekerja merawat pasien di Gaza dan El Arish itu merupakan prajurit-prajurit TNI dari Korps Kesehatan tiga matra TNI.

KTM LB OKI dan Tiga Usulan RI

Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono mengusulkan kepada Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tiga langkah kunci dalam merespons situasi di Palestina yang belum kunjung pulih dan justru terancam dengan potensi mandeknya gencatan senjata dengan Israel.

Dalam Konferensi Tingkat Menteri Luar Biasa (KTM-LB) OKI di Jeddah, Arab Saudi, Jumat (7/3/2025), Sugiono menegaskan tiga langkah tersebut, yang pertama adalah menjamin semua isi kesepakatan gencatan senjata tetap dipatuhi semua pihak.

“Tersedianya akses bantuan kemanusiaan adalah bagian penting dari kesepakatan gencatan senjata tahap pertama. Ini tidak boleh dijadikan posisi tawar dalam negosiasi untuk fase kedua,” kata Sugiono.

Keputusan Israel untuk menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza merupakan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter serta hukum HAM internasional.

Langkah kedua, ucap Menlu, adalah memastikan rencana pemulihan dan rekonstruksi Gaza ke depan (day-after plan) dilakukan benar-benar sesuai dengan kepentingan rakyat Palestina, termasuk dengan tidak merelokasi secara paksa warga Palestina dari Gaza dengan dalih apapun.

Langkah ketiga adalah dengan memperkuat upaya mewujudkan solusi dua negara yang semakin mendapat dukungan dari komunitas internasional. Ia menyerukan supaya dorongan tersebut diperkuat di berbagai forum dunia, termasuk OKI, Liga Arab, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Selain itu, Indonesia menyerukan supaya negara-negara OKI memperkuat solidaritas dalam mendukung Palestina dan berperan lebih memulihkan kapasitas badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA atau bLembaga Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat

Menurut pernyataan Kemlu RI, konferensi tersebut menyepakati dua resolusi, yaitu Resolusi mengenai Situasi Palestina yang memuat dukungan bagi proses rekonstruksi Gaza, serta Resolusi mengenai pemulihan keanggotaan Suriah di OKI, yang sebelumnya dibekukan sejak 2012.

Solusi Dua Negara

Sementara, Menteri Luar Negeri RI dua periode yakni 2014-2019 dan 2019-2024 Retno Marsudi mendesak negara-negara Eropa, untuk mendorong implementasi two-state solution atau solusi dua negara guna mengatasi konflik Palestina-Israel.

Desakan itu disampaikan Menlu Retno dalam pertemuan antara beberapa negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OIC), dengan beberapa negara anggota Uni Eropa (UE) dan beberapa negara Eropa lainnya di Brussel, Belgia (26/5/2024).

“Pertemuan itu sangat penting artinya di tengah semakin memburuknya situasi di Palestina dan semakin tidak diindahkannya keputusan-keputusan Mahkamah Internasional oleh Israel. Pertemuan tersebut saya gunakan untuk melakukan appeals terhadap negara-negara Eropa agar two-state solution dapat diimplementasikan," kata Menlu Retno dalam pernyataan persnya, seperti dilansir laman Kemlu, Selasa (28/5/2024).

Dalam pertemuan tersebut, Menlu Retno menyampaikan tiga appeals (seruan).

Pertama, gencatan senjata segera dan secara permanen harus terus didorong. Semua pihak harus berusaha agar Israel mematuhi keputusan Mahkamah Internasional dan menghentikan aksi militer di Rafah agar pengiriman bantuan kemanusiaan dapat dilakukan.

Kedua, terus memberikan dukungan kepada UNRWA , karena peran UNRWA sangat penting untuk mencegah situasi kemanusiaan semakin memburuk.

Ketiga, pentingnya pengakuan terhadap Palestina dan dukungan untuk keanggotaan Palestina di PBB. Semua negara perlu menggunakan pengaruh masing-masing agar veto mengenai keanggotaan Palestina di PBB tidak terjadi lagi di DK PBB.

Selain tiga hal tersebut, Retno juga menekankan pentingnya kesatuan Palestina dan mendukung reformasi yang dilakukan pemerintah Palestina karena hal ini akan berkontribusi mewujudkan two-state solution.

Pertemuan itu sangat penting guna mendorong implementasi two-state solution dan menegaskan bahwa two-state solution adalah satu-satunya opsi yang tepat.

Sejarah Dukungan RI ke Palestina

Bangsa Indonesia sejak Proklamasi Republik Indonesia (RI) tetap konsisten memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina. Hal ini selaras dengan alinea 1 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Sejak Presiden pertama RI Sukarno mengangkat isu kemerdekaan Palestina di Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955).

Kala itu, Indonesia pun menolak bertanding sepak bola melawan Israel di kandang Israel dalam kualifikasi putaran kedua Piala Dunia tahun 1957. Sebab, hal itu dianggap sebagai pengakuan ke negara Zionis tersebut.

Era Presiden RI Soeharto ketika Palestina mendeklarasikan kemerdekaan di Aljazair pada 15 November 1988, Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan tersebut. Pak Harto juga menerima Pemimpin PLO Yasser Arafat di Jakarta pada Juli 1984. Upaya tersebut terus berlanjut di pemerintahan berikutnya pada masa pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Sementara, pada masa pemerintahan Joko Widodo, Indonesia konsisten mengirimkan bantuan kemanusiaan serta menguatkan diplomasi di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Ini menunjukkan komitmen politik bebas aktif Indonesia untuk kemerdekaan Palestina.

Upaya itu terus berlanjut sejak Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan RI di 2019, Indonesia makin menunjukkan konsistensinya mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk meraih kemerdekaan.

Sekilas konflik Palestina-Israel

Inggris menguasai wilayah yang dikenal sebagai Palestina setelah mengalahkan Kesultanan Ottoman, penguasa wilayah Timur Tengah dalam Perang Dunia Pertama.

Seperti dilansir laman bbc, wilayah itu dihuni oleh minoritas Yahudi dan mayoritas Arab, serta kelompok etnis lainnya yang jumlahnya lebih sedikit.

Namun ketegangan antara kedua etnis yang tinggal di wilayah itu meningkat, sehingga komunitas internasional memberi tugas kepada Inggris untuk mendirikan “rumah nasional” bagi orang Yahudi di Palestina.

Keputusan itu  merujuk pada Deklarasi Balfour yang ditandatangani pada 1917. Deklarasi itu dinamai demikian karena merupakan kesepakatan antara Menteri Luar Negeri Inggris yang menjabat saat itu, Arthur Balfour, dengan komunitas Yahudi di Inggris.

Deklarasi itu diabadikan dalam mandat Inggris atas Palestina dan didukung oleh Liga Bangsa-Bangsa yang baru dibentuk pada 1922. Organisasi ini adalah cikal bakal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) .

Bagi orang-orang Yahudi, Palestina adalah rumah bagi leluhur mereka, namun komunitas Arab di Palestina juga mengeklaim wilayah tersebut dan menentang klaim sepihak komunitas Yahudi di sana.

Antara 1920-an hingga 1940-an, jumlah orang Yahudi yang tiba di Palestina terus bertambah. Banyak dari mereka melarikan diri dari persekusi yang mereka alami di Eropa, khususnya holokos yang dilakukan Nazi di Jerman dan sekitarnya pada Perang Dunia Kedua.

Pertikaian antara komunitas Yahudi dan Arab, serta pemerintahan Inggris, juga meningkat.

Pada 1947, PBB melakukan pemungutan suara dan memutuskan membagi Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab. Adapun Yerusalem ditetapkan sebagai kota internasional.

Rencana ini diterima oleh para pemimpin Yahudi, namun ditolak oleh pemimpin Arab dan tak pernah diimplementasikan.

Pada 1948, lantaran tak mampu menyelesaikan pertikaian antara komunitas Yahudi dan Arab di Palestina, Inggris menarik diri dan para pemimpin Yahudi mendeklarasikan pembentukan negara Israel.

Wilayah itu dimaksudkan sebagai tempat aman bagi komunitas Yahudi yang mengalami persekusi, serta sebagai kampung halaman bagi mereka.

Pertempuran antara Yahudi dan milisi Arab semakin intens selama berbulan-bulan. Sehari setelah Israel mendeklarasikan diri sebagai negara, lima negara Arab menyerang wilayah itu.

Dalam perang pada 1967, Israel menduduki Yerusalem Timur dan Tepi Barat, serta sebagian Dataran Tinggi Golan di Suriah, Gaza, dan Semenanjung Sinai.

Sebagian besar pengungsi Palestina dan keturunan mereka tinggal di Gaza dan Tepi Barat, serta di sejumlah negara seperti Yordania, Suriah, dan Lebanon.

Baik mereka maupun keturunan mereka tak diizinkan oleh Israel untuk kembali ke kampung halaman mereka. Israel beralasan hal itu akan membuat Israel kewalahan dan mengancam keberadaannya sebagai negara Yahudi.

 

Penulis: Eko Budiono

Redaktur: Untung S

 

Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/sorot-politik-hukum/920789/upaya-ri-hentikan-genosida-di-palestina-tak-pernah-berhenti