Indonesia.go.id - Sinergi Lintas Sektor Selamatkan Generasi Anak Bangsa dari Stunting

Sinergi Lintas Sektor Selamatkan Generasi Anak Bangsa dari Stunting

  • Administrator
  • Selasa, 3 Juni 2025 | 10:53 WIB
PENANGANAN STUNTING
  Petugas mengukur lingkar kepala seorang balita di Posyandu Cempaka, Beran, Ngawi, Jawa Timur, Kamis (8/5/2025). Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menyebut prevalensi angka stunting nasional pada tahun 2024 turun menjadi 19,8 persen jika dibandingkan tahun 2023 lalu yang mencapai angka 21,5 persen dengan jumlah angka stunting yang berhasil dicegah sebanyak 377 ribu kasus. (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/wpa).
Salah satu contoh konkret keberhasilan penanganan stunting berbasis kolaborasi lokal dapat dilihat dari Provinsi Gorontalo melalui program inovatif Bele Mo’o Sehati (Bestie), atau Rumah Pemulihan Gizi.

Upaya Pemerintah Indonesia dalam menurunkan angka stunting terus menuai hasil positif. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 yang diumumkan oleh Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting nasional berhasil ditekan hingga 19,8 persen, melampaui target tahunan sebesar 20,1 persen. Keberhasilan ini merupakan buah dari kerja sama erat lintas kementerian, pemerintah daerah, serta partisipasi aktif masyarakat dalam menciptakan lingkungan sehat dan mendukung perbaikan gizi anak.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin menekankan bahwa capaian ini bukan akhir dari perjuangan, tetapi tonggak penting menuju target jangka panjang penurunan stunting hingga 14,2 persen pada 2029. “Target ini cukup menantang, tetapi bisa dicapai dengan kerja keras dan kolaborasi lebih erat, terutama di enam provinsi dengan jumlah balita stunting terbesar,” ujar Menkes Budi di Jakarta, Senin (26/5/2025).

Strategi Nasional Berbasis Kolaborasi

Stunting, sesuai definisi Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021, merupakan gangguan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang berdampak pada tinggi badan anak di bawah standar. Kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada tumbuh kembang anak secara fisik, tetapi juga kognitif dan produktivitas jangka panjang. Oleh karena itu, upaya penanggulangan stunting mengedepankan pendekatan multisektor dan dimulai sejak masa prakelahiran.

Sejalan dalam Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting (Stranas P3S), intervensi difokuskan pada dua jenis: intervensi spesifik melalui sektor kesehatan (misalnya pemberian tablet tambah darah untuk remaja putri dan ibu hamil), serta intervensi sensitif seperti penyediaan air bersih, edukasi gizi, dan perbaikan sanitasi lingkungan.

Sebagai bagian dari strategi tersebut, Kementerian Kesehatan juga terus memperkuat layanan di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dengan distribusi alat antropometri yang akurat, peningkatan kapasitas kader, serta pendistribusian makanan tambahan (PMT) berbasis pangan lokal.

Dampak stunting pada anak akan terlihat pada jangka pendek dan jangka panjang. Pada jangka pendek berdampak terhadap pertumbuhan fisik, yaitu tinggi anak di bawah rata-rata anak seusianya. Selain itu, juga berdampak pada perkembangan kognitif dikarenakan terganggunya perkembangan otak sehingga dapat menurunkan kecerdasan anak. Sedangkan untuk jangka panjang, stunting akan menyebakan anak menjadi rentan terjangkit  penyakit seperti penyakit diabetes, obesitas, penyakit jantung, pembuluh darah, kanker, strok, dan disabilitas di usia tua.

Patut diingat, dampak jangka panjang bagi anak yang menderita stunting adalah berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu negara. Anak-anak merupakan generasi penerus bangsa. Jika stunting tidak segera diatasi hal ini tentunya akan menyebabkan penurunan kualitas SDM di masa yang akan datang.

Kisah Sukses dari Gorontalo: Bele Mo’o Sehati

Salah satu contoh konkret keberhasilan penanganan stunting berbasis kolaborasi lokal dapat dilihat dari Provinsi Gorontalo melalui program inovatif Bele Mo’o Sehati (Bestie), atau Rumah Pemulihan Gizi. Digagas oleh Tim Penggerak PKK Provinsi Gorontalo, program ini mengintegrasikan layanan kesehatan, edukasi gizi, dan pendampingan psikologis selama 90 hari untuk balita dengan masalah gizi seperti stunting, underweight (kurus), dan wasting (gizi buruk).

“Anak-anak yang mengikuti program ini tidak hanya mengalami perbaikan pertumbuhan fisik, tetapi juga peningkatan kecerdasan yang signifikan,” jelas Erni Nuraini Mansyur, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Provinsi Gorontalo.

Program ini melibatkan tim lintas sektor—dokter, ahli gizi, bidan, psikolog hingga kader posyandu. Mereka bekerja di lapangan untuk memastikan pemantauan tumbuh kembang balita secara rutin, pemberian makanan tambahan bergizi dari bahan lokal hingga edukasi kepada orang tua tentang pentingnya pola makan seimbang dan ASI eksklusif.

Di dua desa percontohan—Piloliyanga dan Motolohu—hasilnya terlihat nyata. Data menunjukkan penurunan angka balita stunting secara signifikan setelah implementasi program. Di Desa Piloliyanga, dari total 258 balita, hanya 9 yang mengalami stunting. Sementara di Desa Motolohu, dari 217 balita, angka stunting tercatat pada 8 anak. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional dan menjadi model intervensi yang patut direplikasi.

Pj. Gubernur Gorontalo Rudy Salahuddin, saat meresmikan program ini di Kabupaten Pohuwato, Januari 2025 lalu menekankan bahwa keberhasilan program terletak pada sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan mitra lintas sektor seperti Baznas, BKKBN, BPOM, serta tokoh lokal.

Setidaknya berdasarkan Hasil SSGI 2024, Provinsi Gorontalo berhasil menurunkan angka stunting dari 26,9 persen pada tahun 2023 menjadi 23,8 persen di tahun 2024.

Tantangan

Meskipun pencapaian 2024 patut diapresiasi, tantangan menekan angka stunting masih besar. Enam provinsi dengan jumlah balita stunting tertinggi—Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Banten—harus menjadi fokus intervensi lanjutan. Menkes Budi menyampaikan bahwa penurunan 10 persen di provinsi-provinsi ini akan berdampak besar secara nasional.

Upaya tersebut akan diperkuat dengan pemantauan kadar hemoglobin pada ibu hamil, distribusi suplemen mikronutrien, dan peningkatan edukasi sejak remaja. Data SSGI 2024 juga menunjukkan pentingnya pendekatan berbasis wilayah dan sosial ekonomi, karena variasi prevalensi stunting sangat tinggi antara satu daerah dengan lainnya.

“Kalau enam provinsi ini bisa kita turunkan 10 persen, maka secara nasional kita bisa turun 4–5 persen. Karena 50 persen anak stunting ada di enam daerah ini,” tegas Menkes RI Budi Gunadi Sadikin.

Strategi penting lainnya adalah memastikan intervensi sejak masa prakelahiran, dengan fokus pada 11 intervensi spesifik di sektor kesehatan, khususnya untuk remaja putri dan ibu hamil.

“Stunting itu terjadi bukan setelah lahir, tapi bahkan sejak dalam kandungan. Maka intervensi kepada ibu hamil sangat penting. Jangan sampai ibu-ibu hamil kekurangan gizi atau anemia,” jelas Budi Gunadi Sadikin.

Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes RI, Asnawi Abdullah, menegaskan bahwa pemanfaatan data SSGI harus menjadi dasar dalam menyusun kebijakan dan evaluasi program. “Hasil survei 2024 telah mencegah 337.000 balita dari risiko stunting—angka yang melebihi target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Ini adalah capaian bersama yang harus kita jaga dan tingkatkan,” ujar Asnawi.

Capaian 2024 memberi angin segar bagi pencapaian target penurunan angka stunting nasional menjadi 14,2 persen pada 2029, sesuai dengan target RPJMN. Dari angka 21,5 persen di 2023, untuk dapat turun ke angka 14,2 persen di 2029. Dengan begitu, masih harus menurunkan sekitar 7,3 persen dalam lima tahun ke depan. Fokus di enam daerah tertinggi diharapkan target tersebut dapat tercapai.

Satu hal, penanganan stunting adalah bagian integral dari misi besar Indonesia menuju Generasi Emas 2045. Tanpa generasi yang sehat dan cerdas, sulit bagi Indonesia untuk mewujudkan visi menjadi negara maju. Oleh karena itu, setiap langkah kecil di tingkat desa—seperti kunjungan ke Posyandu, edukasi gizi di kelas ibu hamil, atau distribusi makanan tambahan bergizi—merupakan kontribusi besar dalam menyelamatkan masa depan bangsa.

Kolaborasi lintas sektor, partisipasi masyarakat, dan kebijakan berbasis data menjadi fondasi utama dalam perang melawan stunting. Dengan semangat gotong royong dan inovasi lokal seperti Bele Mo’o Sehati, Indonesia telah membuktikan bahwa kerja bersama bisa menyelamatkan generasi anak bangsa.

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto

Redaktur: Untung S