Di pelataran asrama Sekolah Rakyat, para orang tua terlihat haru mengantar anak-anak mereka yang akan memulai perjalanan pendidikan baru.
Di pagi yang hangat itu, suasana Sentra Handayani di Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur, tak seperti biasanya. Di pelataran asrama Sekolah Rakyat, para orang tua terlihat haru mengantar anak-anak mereka yang akan memulai perjalanan pendidikan baru. Di antara mereka, seorang ibu tampak menggenggam tangan anak perempuannya erat-erat, seakan belum siap melepas.
Adalah Suharni (38), seorang janda beranak tujuh dari Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Wajahnya lelah, namun matanya berbinar. Hari ini adalah hari yang sangat penting bagi putrinya, Silvi (13), yang mulai resmi tinggal dan belajar di Sekolah Rakyat, sebuah sekolah gratis berasrama bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem.
“Kalau sekolah swasta saya ndak mampu,” ucapnya lirih. “Makanya saya selalu doa, semoga Silvi bisa lanjut ke sekolah negeri nanti, tinggal Silvi ini harapannya besar.” kata Suharmi kepada InfoPublik, Rabu (9/7/2025).
Suharmi sehari-hari bekerja sebagai pengasuh anak tetangga. Gajinya tak seberapa, namun cukup untuk sekadar bertahan. Membesarkan tujuh anak seorang diri bukan hal mudah. Tapi bagi Suharni, pendidikan adalah satu-satunya jalan agar anak-anaknya kelak bisa hidup lebih baik.
Bukan hanya Suharni yang merasakan campur aduk emosi hari itu. Seorang ibu lain, Ilah (38) tahun, juga sempat menolak saat pertama kali mendapat tawaran untuk memasukkan anaknya ke Sekolah Rakyat. Bukan karena tidak ingin anaknya sekolah, tapi karena kekhawatiran anak harus tinggal di asrama, jauh dari keluarga.
“Awalnya takut,” ujarnya, menatap langit pagi. “Biasanya anak sekolah pulang ke rumah, ini tinggal di asrama, lama lagi. Was-was juga. Tidurnya gimana, makannya gimana?”
Namun, semua ketakutan itu sirna setelah ia melihat langsung fasilitas yang ada: kamar tidur yang bersih, makanan bergizi, ruang belajar yang tertata rapi, hingga wali asrama yang mendampingi anak-anak dengan penuh perhatian.
“Makanya pas tahu tempatnya seperti ini, bersyukur banget. Sekarang malah saya yang semangat ngedoain anak sukses sekolah di sini,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Ilah punya satu harapan besar: agar anaknya bisa meraih cita-cita menjadi tentara. “Mudah-mudahan bisa tercapai. Jangan seperti mamahnya yang enggak sekolah tinggi. Saya kerja serabutan, cukup anak yang sekolah tinggi.”
Adapun, Ling-Ling Winata (45), warga lainnya yang anaknya juga masuk Sekolah Rakyat, tak kuasa menahan air mata ketika diminta bicara soal harapannya.
“Kami ini orang susah. Kalau disuruh masuk swasta, kami nyerah. Tapi sekolah negeri juga susah masuknya. Makanya pas ada program ini, rasanya seperti mimpi,” ujarnya.
Ia bahkan rela tidak bekerja demi mengurus berkas pendaftaran sekolah anaknya di hari terakhir jalur afirmasi. “Cuma itu satu-satunya peluang anak saya bisa sekolah.”
Menjauh dari Lingkungan tak Ramah
Berbeda dengan Ilah, Hasyim (39) justru langsung mengizinkan anaknya masuk Sekolah Rakyat tanpa pikir panjang. Pria asal Jakarta Utara itu mengaku lega anaknya bisa jauh dari lingkungan rumah yang keras.
“Daripada tiap hari lihat tawuran, nongkrong, atau main HP enggak jelas, mending anak diasramakan. Belajarnya lebih tenang, lingkungannya lebih sehat,” katanya.
Menurut Hasyim, program ini sangat membantu keluarganya. Semua kebutuhan ditanggung negara seperti makanan, pakaian, buku, tempat tidur, hingga bimbingan karakter.
“Enggak ada biaya, semuanya disediain. Saya yakin, ini program serius. Kalau program Presiden, pasti jelas jalannya,” ujarnya mantap.
Tempat untuk Menata Masa Depan
Sekolah Rakyat bukan sekadar tempat belajar. Di sinilah anak-anak dari keluarga tak mampu belajar mengenal disiplin, tanggung jawab, dan nilai-nilai kehidupan. Siang hari mereka belajar mata pelajaran formal seperti siswa sekolah biasa. Malam harinya, mereka mengikuti pembinaan karakter, pelatihan keterampilan hidup, dan pembelajaran nilai-nilai agama.
Prof. Muhammad Nuh, Ketua Tim Formatur Sekolah Rakyat, menyebut konsep sekolah ini sebagai “rumah harapan” bagi anak-anak yang selama ini tertinggal karena keterbatasan ekonomi.
“Kita tidak sekadar mencetak lulusan, tapi membangun manusia. Sekolah ini jadi tempat anak-anak bermimpi, membentuk masa depan yang dulu mungkin tidak pernah mereka bayangkan,” ujarnya.
Kehadiran sejumlah tokoh nasional di hari pertama sekolah menambah semangat anak-anak dan para orang tua. Menteri Sosial Syaifullah Yusuf, Wakil Ketua KSP M. Qodari, Pendiri ESQ Corp Ary Ginanjar Agustian, serta tokoh pendidikan Prof. Muhammad Nuh menyempatkan hadir dan berdialog langsung dengan siswa dan wali murid.
Dalam sambutannya, Mensos Syaifullah menegaskan bahwa Sekolah Rakyat bukan sekadar program pendidikan, tapi langkah nyata untuk memutus rantai kemiskinan antar generasi.
“Negara hadir, bukan hanya untuk memberi bantuan, tapi untuk memberikan masa depan. Dan masa depan itu dimulai dari pendidikan,” tegasnya.
Tempat Kecil dengan Mimpi yang Besar
Di Sekolah Rakyat Sentra Handayani, saat ini ada 75 siswa SMP dan 180 siswa SMA yang tinggal dan belajar di asrama. Mereka berasal dari berbagai latar belakang keluarga yang serba kekurangan, namun punya satu kesamaan: semangat untuk belajar dan mengubah hidup.
Mungkin mereka tidak datang dari keluarga berpunya. Tapi lewat pendidikan, mereka menapaki jalan baru jalan yang menjanjikan masa depan lebih cerah.
Sekolah ini memang tidak megah. Tidak punya fasilitas mewah seperti sekolah elite. Tapi di balik dindingnya yang sederhana, ada harapan yang tumbuh. Harapan yang tak bisa dibeli, tapi bisa ditanam dan dirawat dengan cinta, semangat, dan kepercayaan bahwa setiap anak berhak punya masa depan. Dan di tempat yang disebut “Sekolah Rakyat” ini, harapan itu kini hidup kembali.
Penulis: Wandi
Redaktur: Kristantyo Wisnubroto
Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/features/928236/sekolah-rakyat-tempat-harapan-kembali-tumbuh-di-tengah-keterbatasan