Perlambatan ekonomi telah memberikan dampak bagi ekonomi global, termasuk ekonomi Indonesia. Berbagai upaya pun harus mulai dicari jalan keluarnya agar tidak terkena jerat itu.
Namun, negara ini juga tidak bisa terus mempersalahkan adanya pelambatan ekonomi global sebagai biang kerok dari jerat pertumbuhan ekonomi yang hanya 5% dalam jangka menengah tersebut. Intropeksi ke dalam juga mutlak perlu dilakukan.
Keluhan Presiden Joko Widodo soal minimnya foreign direct investment (FDI) ke negara ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pemangku kepentingan negeri ini. Perlu ditemukan solusi dari kondisi Indonesia yang kalah seksi dibandingkan dengan negara serumpun di Asean.
Presiden bahkan sempat mengungkapan kekesalannya karena Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara tetangga dalam menarik investasi. Perusahaan-perusahaan Cina yang melakukan ekspansi ke Asia Tenggara, banyak yang memilih untuk pindah ke Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
"Dari investor-investor yang kita temui, dan catatan yang disampaikan Bank Dunia kepada kita, dua bulan yang lalu ada 33 perusahaan di Tiongkok keluar, dan 23 memilih Vietnam, 10 lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, Kamboja. Nggak ada yang ke kita," kata Jokowi, Rabu (4/9/2019).
Menurut Jokowi, tak ada perbaikan dalam hal investasi yang berhasil dicapai oleh Indonesia meski telah berkali-kali dibahas. Akibatnya, Indonesia masih kalah dari negara tetangga.
Menurutnya, Vietnam yang dulu negara tertutup kini telah berubah menjadi salah satu kekuatan ekonomi baru. Bahkan saat ini pertumbuhan ekonomi Vietnam adalah yang terbaik di antara negara-negara Asean.
Jadi kenapa Indonesia kalah dari negara-negara ini, terutama Vietnam, dari segi menarik investor asing? Apa yang kurang dari negara ini sehingga masih minim minat investasinya?
Salah satu masalah besar Indonesia adalah proses perizinan investasi yang rumit dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. "Setelah dilihat lebih detail lagi kalau mau pindah ke Vietnam hanya butuh waktu 2 bulan rampung. Kita bisa bertahun-tahun. Penyebabnya hanya itu. Enggak ada yang lain," tegas Presiden.
Wajar saja kekesalan kepala negara terhadap masih adanya hambatan di iklim usaha di negara ini di tengah-tengah defisit neraca perdagangan, sejumlah komoditas unggulan sudah tidak lagi menjadi unggulan. Demikian dengan transaksi berjalan yang semakin mengkhawatirkan.
Sejumlah Insentif
Bila dilihat instrumen untuk mendukung iklim usaha yang lebih baik, negara ini sebenarnya sudah sangat luar biasa dalam memberikan sejumlah insentif. Oleh karena itu, Bank Dunia pun memberikan peringkat di easy fo doing business menduduki posisi ke 73.
Artinya, sejumlah parameter kemudahan berbisnis di negara ini sudah cukup menarik dan mumpuni bagi investor berlomba-lomba masuk ke Indonesia. Begitu juga laporan terakhir dari lembaga pemeringkat global Standard & Poor (S&P) yang menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi BBB dari semula BBB-.
Namun realitas yang menyebutkan bahwa iklim investasi di Indonesia masih kalah tentu sangat disesalkan. Satu riset yang berkaitan dengan iklim investasi di beberapa negara di kawasan Asean tentu membuka mata semua pemangku kepentingan untuk segera berbenah.
Misalnya saja untuk upah minimum, Indonesia ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, Malaysia dan Philipina. Upah minimum di Indonesia (Jakarta) tercatat USD279 per bulan. Bandingkan dengan Hanoi, Vietnam (USD180-USD183), Bangkok, Thailand (USD212-USD227), Kuala Lumpur (USD268) dan Manila (USD212-USD227).
Namun, upah untuk kelas pekerja sebenarnya masih lebih rendah dibandingkan dengan Bangkok dan Kuala Lumpur. Upah kelas pekerja negara ini mencapai USD308, Hanoi (USD217), Bangkok (USD413), dan Kuala Lumpur (USD413).
Di antara lima kota di Asean, Jakarta harus diakui kenaikan upahnya paling tinggi di kisaran 8% per tahun, sebaliknya di ibu kota lainnya di Asean hanya di bawah 6%.
Indonesia juga ternyata tidak kompetitif untuk sewa lahan di kawasan industri. Misalnya di kawasan Jababeka dan GIIC, sewa lahan per meter persegi sudah mencapai USD170--USD225.
Sebaliknya, di Thang Long Induastrial Park dan Long Duc Industrial Park (USD50--USD90), Chonburi Industrial Park, Thailand (USD215). Belum lagi beberapa komponen usaha yang tidak kompetitif, seperti tarif listrik, gas, masalah transportasi/logistik, persyaratan regulasi bagi perusahaan asing.
Bagaimana dengan perpajakan? Yang jelas, pajak yang dikenakan di Vietnam juga relatif lebih murah dibanding di Indonesia. Untuk pajak korporasi (CIT) atau Pajak Penghasilan (PPh) Badan, Indonesia mematok flat di angka 25% sedangkan di Vietnam hanya 20% kecuali untuk sektor migas.
Untuk Value Added Tax (VAT) alias Pajak Pertambahan Nilai (PPN) keduanya mematok angka yang sama yaitu 10%. Namun Vietnam juga memberikan berbagai macam insentif pajak seperti pembebasan atau pengurangan pajak penyewaan dan penggunaan lahan.
Khusus untuk perizinan, Indonesia sebenarnya telah melakukan pembenahan termasuk melalui OSS (online single submission). Meskipun sudah ada OSS, pembenahan perizinan melalui OSS justru mengalami masalah berlarut-larut, terutama sinkronisasi izin pemerintah pusat dengan daerah.
Yang jelas, di tengah masih terus berlangsung perang dagang antara Washington DC dan Beijing, yang juga memperlambat pertumbuhan ekonomi global, Indonesia mau tidak mau harus terus memperkuat struktur ekonominya, termasuk mendorong masuknya investasi, penguatan industri terutama pengolahan, dan mendorong ekspor.
Rencana pemerintah mempersiapkan omnibus law untuk 72 aturan yang menghambat regulasi dan akan dipangkas selama satu bulan ini tentu patut diapresiasi. Omnibus law atau juga dikenal dengan istilah omnibus bill adalah kebijakan pembuatan regulasi berbasiskan undang-undang (UU) baru dengan mengamandemen beberapa UU sekaligus.
Seperti disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, untuk mempercepat masuknya investasi langsung ke Indonesia, pemerintah berencana melakukan omnibus law melalui pemangkasan awal 72 regulasi dalam kurun waktu satu bulan.
Luhut menyatakan 72 UU yang dikaji tersebut memang tidak selaras dengan konteks ekonomi saat ini. Pasalnya, banyak induk aturan bisnis di Indonesia masih mengacu pada produk yuridis warisan Belanda.
"Dengan omnibus law, kita ingin selesaikan. Sekarang sedang dikerjakan oleh kantor Setkab dengan Kemenko Perekonomian selama satu bulan," ujar Luhut di Djakarta Theater, Kamis (12/9/2019).
Dia menilai, regulasi masih menjadi salah satu alasan investor asing khususnya sektor manufaktur beranjak dari Indonesia dan masuk ke negara lain. Sebut saja misalnya Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Kerumitan arus perizinan di Indonesia juga diperparah dengan masih ramainya praktik usaha yang tidak sehat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan hal senada. Menurutnya, ekosistem investasi harus diperbaiki, termasuk pemangkasan atas 72 UU yang dianggap memberatkan investasi. Dia juga membenarkan banyak UU yang diproduksi pada 1980-an, 1990-an, atau bahkan zaman penjajahan Belanda yang belum sepenuhnya direvisi.
Seiring dengan pemangkasan regulasi, pemerintah juga akan mempercepat reformasi birokrasi. Caranya dimulai dengan mengubah pola pikir dan cara kerja birokrat untuk memudahkan calon investor, bukan mempersulit investor. “Dengan demikian, kehadiran investor bisa menggeliatkan kinerja permintaan dan menggerakan ekonomi lebih progresif,” tutur Sri Mulyani.
Kesadaran untuk terus berbenah agar iklim usaha dan investasi di Indonesia, melalui pemangkasan regulasi, reformasi birokrasi tentu juga harus didukung infrastruktur yang juga kompetitif.
Begitu juga dengan keterjagkauan dan ketersediaan bahan baku dan harga energi yang kompetitif. Tanpa itu semua, jangan harap investor akan masuk ke negara ini. Dan kita tetap kalah bersaing dengan negara-negara sahabat di kawasan Asean. (F-1)