Pemerintah Indonesia mengajak investasi first class asal Korea Selatan untuk bisa masuk ke Tanah Air. Bukan lagi investasi kelas dua, yang hanya mengimpor bahan mentah dari Indonesia.
Investasi first class, kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, adalah investasi yang mengandalkan teknologi maju, proses alih teknologi, dan peningkatan nilai tambah atas produk yang dihasilkan, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Beberapa peluang investasi di sektor hilir domestik yang memiliki nilai tambah tinggi, yakni pengolahan mineral nikel, bauksit, dan mangan. Saat ini, pemerintah tengah membangun kawasan industri terpadu pengolahan nikel di Morowali yang mencakup smelter, baja anti karat (stainless steel), dan carbon steel.
Rencana volume ekspor nikel di pengolahan tersebut adalah sebesar USD612 juta per tahun dengan produksi 19,25 juta ton. Jika sudah diolah menjadi stainless steel nilai ekspor akan berlipat menjadi USD6,24 miliar.
Sejumlah proyek yang sudah dilaksanakan investor Korea Selatan di Indonesia di antaranya adalah groundbreaking petrochemical complex oleh Lotte Chemical dengan nilai investasi sebesar USD3,5 miliar. Selain itu, produsen mobil Hyundai juga mengumumkan akan kembali ke Indonesia dengan nilai investasi antara USD1,7 juta-USD1,8 juta.
Selama 5 tahun terakhir Korea Selatan menjadi salah satu sumber utama Penanaman Modal Asing (Foreign Direct Investment/FDI) ke Indonesia. Walaupun Data Financial Times FDI Market (2018) pengusaha Korsel menempatkan Indonesia masih sebagai pilihan ketiga sebagai opsi investasi luar negeri dengan dengan total capex 11,3 miliar dolar AS (41 proyek). Mereka memilih Vietnam sebagai opsi pertama dengan total capex sebesar 39,2 miliar dolar AS (201 proyek).
Investor Korea Selatan memilik 41 proyek yang tercantum pada data tersebut dengan total nilai USD11,3 miliar (41 proyek). Adapun urutan teratas ditempati Vietnam dengan total investasi sebesar USD39,2 miliar dari 201 proyek.
Sementara itu Kepala Bagian Ekonomi Kedutaan Besar Korea Selatan Jeon Joyoung memaparkan, sejumlah hambatan yang ditemui para pelaku usaha Korea Selatan untuk melakukan investasi di Indonesia, salah satunya terkait ketenagakerjaan.
“Kebijakan kenaikan upah yang cepat sekali dan tunjangan pensiun yang tinggi,” kata Joyoung pada wawancara eksklusif bersama ANTARA.
Kata Joyoung, aspek nontarif lainnya terkait dengan lisensi impor, bea cukai, dan sertifikasi juga termasuk dalam hambatan berinvestasi di Indonesia. Juga masalah pajak juga menjadi hambatan lainnya, meskipun memang membayar pajak merupakan bagian dari prosedur yang seharusnya dijalankan.
Namun demikian pemerintah Korsel mengapresiasi bahwa Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan paket reformasi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini dan secara khusus juga, Presiden Jokowi mengumumkan akan ada beberapa revisi terkait dengan hukum perburuhan untuk mendorong lebih banyak investasi asing.
Joyoung mengatakan bahwa perusahaan Korea Selatan menilai iklim investasi di Indonesia cukup baik, terutama karena Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik di atas 5 persen. Selain itu, Indonesia juga memiliki populasi terbesar di ASEAN sebanyak 260 juta jiwa dan memiliki 40 persen dari seluruh PDB negara-negara anggota ASEAN.
Perhatian Indonesia pada pengembangan generasi muda dan kelas menengah, berlimpahnya sumber daya alam dan cepatnya penyebaran ekonomi digital, juga turut menyumbang hal positif berinvestasi di Indonesia.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi asal Korea Selatan didominasi sektor industri mesin dan elektronik (15 persen); pertambangan (13 persen); gas dan air (9 persen); industri sepatu (8 persen); serta industri karet dan plastik (8 persen).
Sebagian besar investasi Korsel masih berada di Pulau Jawa, diikuti dengan Kalimantan dan Sumatra. Total realisasi investasi sejak 2014 sampai triwulan I 2019 ini mencapai 7,3 miliar dolar AS dengan realisasi investasi mencapai 2 miliar dolar AS pada 2017 dan 1,6 miliar dolar AS pada 2018.
Tahun lalu (2018), ada enam perusahaan Negeri Ginseng yang telah komitmen untuk berinvestasi, yakni LS Cable & System yang bermitra dengan PT Artha Metal Sinergi untuk pengembangan sektor industri kabel listrik senilai USD50 juta di Karawang, Jawa Barat.
Kemudian, Parkland USD75 juta untuk membangun industri alas kaki di Pati Jawa Tengah, dan Sae-A Trading menanamkan modalnya hingga USD36 juta untuk sektor tekstil dan garmen di Tegal, Jawa Tengah.
Selanjutnya, Taekwang Industrial akan bangun industri alas kaki senilai USD100 juta di Subang dan Bandung, Jawa Barat. Selain itu, World Power Tech dengan mitra lokalnya PT NW Industries yang berinvestasi sebesar USD85 juta untuk pengembangan industri manufaktur turbin dan boiler di Bekasi, Jawa Barat.
Serta InterVest dengan Kejora Ventures yang menanamkan modalnya USD100 juta untuk jasa pembiayaan startup (modal ventura) di DKI Jakarta. Jadi, total investasi mencapai USD446 juta. (E-2)