Indonesia.go.id - Relaksasi Dibutuhkan, Dukung Kebutuhan Industri

Relaksasi Dibutuhkan, Dukung Kebutuhan Industri

  • Administrator
  • Minggu, 29 September 2019 | 18:47 WIB
RUU PELAYARAN
  Nelayan beraktivitas di pelabuhan peti kemas di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (9/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

Investasi asing dinilai perlu masuk pada kegiatan angkutan laut dalam negeri, dengan tetap membuat porsi kepemilikan lokal lebih besar.

Perkembangan industri pelayaran nasional tak dipungkiri tumbuh stagnan. Adanya asas cabotage—larangan pelayaran asing untuk melayani pelayaran rute domestik—dinilai telah membelenggu sektor tersebut sehingga menjadi tidak efisien dan berdaya saing.

Kondisi inilah yang kemudian memunculkan desakan terhadap revisi Undang-Undang (UU) No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran akhir-akhir ini semakin kuat berhembus. Pasalnya, industri pelayaran nasional dinilai kurang mampu mendukung pemenuhan sistem logistik nasional yang terintegrasi, efisien, dan berdaya saing tersebut.

Dalam konteks itu, usulan revisi UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran juga terutama menyoroti masalah minimnya ketersediaan kapal-kapal pengebor berbendera nasional. Implikasinya, akhirnya produksi minyak mentah nasional jadi tersendat.

Tentu yang menjadi pertanyaan, apa yang menyebabkan iklim usaha menjadi terhambat? Harus diakui, UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sangat ketat mengatur soal bisnis di sektor jasa tersebut, terutama berkaitan dengan asas cabotage.

Asas itu menegaskan angkutan laut dalam negeri menggunakan kapal berbendera merah putih, dan diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia. Hal ini seperti tertera dalam Pasal 8 Ayat 1 dan 2 dalam UU No 17/2008 tentang Pelayaran. 

Bahkan, di Ayat 2 Pasal 8 sangat tegas mengatur tidak diizinkannya asing dalam aktivitas angkutan dalam negeri. "Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia," begitu bunyinya.

Seperti disampaikan INSA (Indonesia Natioanl Shipowners Association)—asosiasi pengusaha pelayanan, adanya asas telah mendongkrak armada pelayaran negeri ini. Menurut data, pelaku usaha jasa itu pernah hanya memiliki armada sebanyak 6.041 pada 2005.

Kepemilikan Armada

Namun, kepemilikan armada itu melonjak menjadi 23.823 unit dengan jumlah perusahaan yang bergerak di sektor jasa itu sebanyak 3.760 perusahaan pada 2017. Artinya, prinsip asas cabotage itu telah mestimulasi pelaku usaha pelayaran nasional melakukan investasi sektor angktuan laut.

INSA juga mengklaim dengan kekuatan armada yang cukup besar, pelayaran nasional juga telah mampu melayani seluruh pendistribusian kargo domestik. Seluruh distribusi kargo domestik sudah terlayani oleh kapal nasional dari total kargo sekitar 965 juta ton pada 2017 untuk seluruh wilayah Indonesia.

Asas cabotage juga berperan dalam mendorong pertumbuhan sektor terkait pelayaran nasional lainnya. Sedikitnya, terdapat 18 cluster bisnis terkait pelayaran nasional yang terdampak positif dari tumbuh kembangnya armada pelayaran nasional, misalnya galangan kapal, asuransi kapal, hingga sektor sekolah SDM pelaut.

Menurut Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto, belum ada poin yang mendesak untuk merevisi peraturan perundangan tersebut. “Bahkan, amanat dari UU belum berjalan seluruhnya. Jadi kita belum dapat merasakan dengan total, apakah UU yang ada ini masih cocok atau sudah tidak cocok dengan keadaan di lapangan saat ini,” ujarnya, di Jakarta, Selasa (13/8/2019).

Wajar saja asosiasi pengusaha pelayaraan nasional resisten terhadap rencana revisi UU Pelayaran tersebut. Namun, bagi pemerintah seperti dikatakan Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub Wisnu Handoko, investasi asing dinilai perlu masuk pada kegiatan angkutan laut dalam negeri, dengan tetap membuat porsi kepemilikan pengusaha dalam negeri lebih besar.

Menurutnya, asas cabotage tetap diperlukan tetapi dengan adanya penyeimbangan terhadap investasi asing. Alasannya, tidak ada progres yang berarti dari kegiatan angkutan laut, sehingga perlu adanya investasi asing masuk yang membawa tambahan pengetahuan dan dapat meningkatkan daya saing angkutan laut. 

"Kalau cabotage tidak dilakukan, semua investasi bisa masuk, pada satu sisi kalau investasi asing terlalu dibatasi kita tidak kunjung berkembang, sehingga harus ada balancing," katanya.

Dia mengatakan kesiapan penyeimbangan atau masuknya investasi asing dalam angkutan laut perlu dikompromikan dengan pengusaha nasional. Dengan begitu, imbuhnya, proporsi di perusahaan patungan (joint venture) masih berimbang dan tetap lebih besar proporsi dalam negeri.

Wisnu juga menilai perlunya investasi asing masuk ke pelayaran atau transportasi laut karena tidak semua bisnis dapat ditangani oleh pemerintah dan swasta nasional.

"Saat ini, tidak semua bisnis di dalam sektor transportasi laut bisa ditangani semua pemerintah dan swasta nasional, dengan BUMN Pelindo I hingga IV itu membangun semua pelabuhan belum mampu dilakukan dalam waktu singkat," terangnya.

Bisa jadi adanya prinsip asas cabotage di transportasi laut, dan diperkuat lagi dengan Instruksi Presiden No.5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional telah memperkuat struktur bisnis pelayaran dan galangan kapal domestik. Namun di sisi lain, industri jasa itu juga membutuhkan struktur pendanaan yang harus kuat.

Pasalnya, dengan tuntutan logistik global yang semakin terintegrasi, efisien, dan berdaya saing, sistem armada pelayaran nasional dituntut harus menyesuaikannya kebutuhan tersebut.

Revitalisasi armada menjadi jawaban tuntutan itu, apalagi bila berbicara soal tren bisnis layanan migas terutama bisnis offshore yang membutuhkan modal besar. Apakah pelaku usaha nasional sanggup memenuhi tuntutan itu?

Sikap kompromi dan akomodatif adalah salah satu cara untuk mengatasi stagnasi di sektor tersebut. UU No. 17 Tahun 2008, UU yang sudah berusia 11 tahun, yang dinjlai dinilai perlu direvisi untuk memenuhi akselerasi di sektor tersebut. (F-1)