Satu tahun berlalu, gempa besar disusul tsunami dan likuifaksi yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, semestinya mampu menjadi peringatan bagi bangsa Indonesia tentang pentingnya program nasional pengurangan risiko bencana. Sudah menjadi kebiasaan buruk kalau orang Indonesia kerap lupa terhadap potensi bencana alam yang bisa datang sewaktu-waktu.
Salah satu tugas negara, seperti tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Sayangnya hingga kini belum cukup banyak yang memahami bahwa kata "melindungi" di sana tidak hanya dalam konteks pertahanan dan keamanan negara. Melainkan, juga melindungi segenap warga negara Indonesia terhadap ancaman gempa bumi, tsunami, likuifaksi, letusan gunung api, banjir, kebakaran, hingga longsor yang memang merupakan bagian dari hidup sehari-hari.
Sudah menjadi tugas dan kewajiban negara dengan aparatnya jika terjadi bencana pasti akan melakukan segala macam cara untuk menyelamatkan warga yang berada di sekitar lokasi berbahaya, memindahkan dan mengangkut korban bencana, mengobati yang luka, serta memperbaiki segala kerusakan yang terjadi. Tetapi belajar dari tiga kuasa alam yang sangat besar yang memporak-porandakan Palu satu tahun yang lalu, sudah semestinya Pemerintah Indonesia menjalankan program pengurangan risiko bencana kepada segenap aparatur negara yang berhubungan dengan keamanan dan kesejahteraan warga negara.
Pentingnya Sains Kebencanaan
Gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi di Palu mengajarkan kepada kita semua pentingnya menghormati capaian ilmu pengetahuan terhadap potensi kebencanaan. Berbahayanya Kota Palu jika dijadikan ibu kota provinsi sudah pernah dirumuskan oleh ahli geologi John Ario Katili saat dia menjabat sebagai Direktur Jenderal Geologi dan Sumber daya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi (1984-1989). Sayangnya usulan yang juga menyebutkan berbagai kota lain yang punya potensi bahaya yang sama, saat itu tidak diindahkan.
Selain Palu, yang sejak pendidikan sarjana selalu menjadi tempat yang paling banyak dia teliti, John Ario Katili menyebutkan Banda Aceh, Padang, Bukittinggi, Banten, Pandeglang, Ambon, Sorong, dan Biak. Saat ini jika orang membandingkan sekian banyak bencana gempa yang terjadi sejak 2000-an, hanya beberapa kota saja yang belum mengalami bencana alam.
Untuk kasus Palu, program pengurangan risiko bencana atau mitigasi memang abai dilakukan padahal pada tahun 2012, badan geologi setempat telah mengeluarkan Peta Potensi Bahaya Liquifaksi. Kerja penelitian potensi terjadinya bencana gempa yang disusul oleh tsunami hanya masuk menjadi arsip negara. Hasil penelitian mitigasi itu tidak ditindaklanjuti. Tidak ada penegakan aturan pembuatan bangunan yang harus disesuaikan dengan kondisi tektonik aktif. Tidak juga dibuat pelatihan-pelatihan massal untuk melakukan berbagai tindakan yang tepat dan semestinya jika ada kejadian bencana.
Gempa Palu, terjadi pada September 2018. Bulan Juli 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebenarnya telah melakukan ekspedisi survei pengawasan terhadap aktivitas sesar Palu-Koro. Tetapi entah mengapa survei aktivitas sesar Palu-Koro tidak kemudian dijadikan catatan penting bagi penanganan bencana yang terjadi dua bulan berikutnya.
Mitigasi, Segera!
Bencana alam sudah pasti akan terjadi. Tinggal soal waktunya saja yang teknologi belum bisa memprediksikan kapan terjadinya. Teknologi hanya bisa memperhitungkan kejadian dalam waktu yang sangat dekat dengan kejadian ketika indikator-indikator bencana raksasa telah menunjukkan dirinya. Artinya hanya tersedia waktu dalam hitungan detik atau menit sebelum kekuatan alam menunjukkan dirinya dan siap menerjang apapun yang berdiri maupun melata di permukaan bumi.
Buka kembali catatan-catatan tentang daerah-daerah yang sudah berkali-kali disebutkan oleh para ahli geologi tentang potensi kebencanaan yang berpotensi merenggut banyak korban nyawa manusia. Lakukan lebih dalam berbagai penelitian-penelitian yang memadai untuk menghasilkan kertas kerja, peta, zonasi, grafik pergerakan lempeng bumi, hingga tabulasi data raksasa tentang pergerakan lempeng bumi yang saling mempengaruhi dalam kurun seratus tahun terakhir.
Penting untuk melakukan pengecekan terhadap sensor-sensor kebencanaan yang tersebar di berbagai titik yang rawan terhadap aktivitas seismik maupun tektonik. Peralatan deteksi dini yang bagus harganya harus diperbaiki, diperbarui, ditambahi, dan dimutakhirkan.
Bagi Kota Palu yang telah mengalami bencana alam yang luar biasa, sudah saatnya mengikuti rekomendasi para ahli yang telah melakukan survei pascabencana. Karena gempa besar yang disertai deformasi sesar permukaan ini akan terjadi lagi berulang-ulang di masa depan maka sebaiknya rumah-rumah dan bangunan lain yang sudah rusak berat yang berada di zona sepanjang jalur sesar aktif Palu-Koro tidak dibangun lagi. Di sekitar sesar aktif itu harus dibuat zona aman atau buffer selebar 100 meter di kiri dan kanan sesar.
Jalur sesar permukaan ini sangat penting untuk dipetakan lagi menggunakan bantuan peta dasar atau foto udara dengan resolusi yang sangat tinggi. Penggunaan LIDAR sangat direkomendasikan. Jika tidak ada minimal ada peta udara dengan ketajaman grid data atau pixel sebesar 30 cm atau yang lebih tinggi lagi.
Lokasi-lokasi terjadinya likuifaksi di Palu yang meliputi Balaroa, Sigi, Petobo, Jono Oge, Sidondo, dan Sibalaya saat ini akan lebih baik jika digunakan sebagai zona hijau. Di lokasi yang strategis bisa dibangun Museum Gempabumi-Likuifaksi-Tsunami. Lainnya dibuatkan jalur yang bisa digunakan sebagai jogging track, bike track, atau ruang hijau terbuka.
Fenomena gempa bumi Palu sangat unik dan langka. Jarang ada peristiwa gempa besar yang diikuti proses likuifaksi dan pembangkitan tsunami sekaligus. Likuifaksi yang terjadi di palu adalah likuifaksi paling besar dan paling luar biasa yang pernah terjadi di atas bumi ini. Pergerakan tanah berkekuatan raksasa yang tertangkap foto satelit adalah sumbangan sangat besar bagi ilmu kebencanaan dan geologi yang akan sangat penting di masa depan.
Jika melihat semua keluarbiasaan itu, akan sangat baik jika di Kota Palu didirikan museum yang mutlifungsi. Selain monumen sejarah, tempat itu harus menjadi tempat perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata.
Bagi kota-kota lain yang mempunyai potensi bencana yang akan merenggut nyawa penghuninya, akan lebih baik melakukan program mitigasi sebaik-baiknya. Berdasarkan beberapa perkembangan terakhir beberapa wilayah di Indonesia sangat mungkin untuk terjadi bencana alam yang rawan terhadap jatuhnya korban jiwa.
Wilayah itu meliputi beberapa di antaranya adalah, Gempa-Tsunami Megathrust Mentawai (Barat Padang-Bengkulu), Gempa-Tsunami Megathrust Selat Sunda (Banten, Lampung, Bengkulu, SumBar, Jabar, DKI, Jateng, DIY, Jatim), Gempa-Tsunami Pelabuhan Ratu-Cimandiri (Sesar Mendatar Cimandiri), Gempa Sesar Mendatar Lembang, Gempa Sesar Naik Surabaya-Bojonegoro, Gempa dan Tsunami Sesar Naik Selat Madura, Gempa dan Tsunami Palu- Koro segmen selatan ke Teluk Bone, Gempa dan Tsunami Sesar Naik Offshore Sulawesi Barat (Mamuju dan sekitarnya), Gempa dan Tsunami sepanjang pantai Sulawesi Utara dari Zona penunjaman Sulawesi Utara, Gempa dan Tsunami Tarakan dari Zona penunjaman Sulawesi Utara, Gempa sepanjang 12 segmen Sesar Sumatra, Gempa Sesar Baribis (Jawa Barat Utara – DKI), Gempa dan Tsunami Megathrust selatan Jember-Banyuwangi, Gempa dan Tsunami Megathrust Selatan Bali/Lombok/Sumbawa, Gempa dan Tsunami dan Liquifaksi Sesar Sorong dan Zona Penunjaman utara Papua. (Y-1)