Sebuah penelitian dari lembaga studi AT Kearney menjelaskan bahwa faktor pajak menjadi pertimbangan yang paling diperhatikan oleh investor. Bukan hanya soal tarif, tetapi juga berkenaan dengan kemudahan pengurusannya. Negara-negara yang ramah investasi, seringkali menggunakan senjata fiskal ini untuk menarik sebanyak-banyaknya investor.
Oleh sebab itu, di tengah gencarnya pemerintah menarik investasi, pemerintah rajin memberikan gula-gula insentif pajak bagi para pelaku bisnis. Yang paling akhir, misalnya, pemerintah sedang merancang sebuah UU baru yang terkait dengan ketentuan dan fasiltas perpajakan.
Dalam RUU tersebut, pemerintah antara lain akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan secara bertahap dari 25% menjadi 20% mulai 2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, revisi aturan ini dibuat agar kebijakan perpajakan Indonesia bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di dunia internasional.
Dengan demikian, perekonomian Indonesia diharapkan tak mengalami penurunan akibat kebijakan negara lain.
Selain memangkas tarif PPh badan secara keseluruhan, pihaknya juga tetap akan mengenakan pajak lebih rendah sekitar 3% bagi perusahaan terbuka. Artinya bisa 17% sama dengan PPh di Singapura, terutama (perusahaan) go public yang baru mau masuk ke bursa.
Persoalan lain, pemerintah juga berencana menghapuskan PPh atas dividen dari dalam dan luar negeri untuk seluruh kepemilikan saham. Selama ini hanya wajib pajak dengan kepemilikan saham di atas 25% yang tidak dikenai PPh atas dividen.
Sementara itu, wajib pajak dengan porsi kepemilikan saham di bawah 25% dikenakan PPh atas dividen sebesar 15% dan wajib pajak orang pribadi (WPOP) sebesar 10%. Dalam RUU semua pajak PPh dividen dihapuskan apabila dividen itu ditanamkan dalam investasi di Indonesia.
RUU ini akan mengubah rezim perpajakan bagi WPOP dari worldwide income tax system menjadi teritorial. Dengan demikian, warga negara Indonesia (WNI) atau warga negara asing (WNA) menjadi wajib pajak di Indonesia bergantung kepada masa tinggal mereka.
Hanya WNI dan WNA yang tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia yang akan dikenakan rezim pajak teritorial. Artinya kalau ada WNI tinggal lebih dari 183 hari di luar negeri, dapat income dan bayar pajak di luar, maka dia tak lagi jadi WP dalam negeri.
Hal lain yang akan diatur dalam RUU ini terkait dengan proses pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Selama ini wajib pajak yang mengalami kurang bayar dan melakukan pembetulan SPT baik secara tahunan atau masa dikenakan sanksi. Sanksi yang dikenakan yakni 2% per bulan dari pajak yang kurang bayar.
Dalam RUU ini, pemerintah menurunkan sanksinya menjadi per bulan prorata suku bunga acuan di pasar ditambah 5%. Ini apabila wajib pajak lakukan pembetulan. Apabila dia harus lakukan koreksi karena ada penetapan, maka sanksi lebih tinggi.
RUU ini juga akan menurunkan sanksi denda bagi wajib pajak yang tidak membuat atau tidak menyerahkan faktur pajak tepat waktu. Selama ini wajib pajak yang tidak membuat atau tidak menyerahkan faktur pajak tepat waktu dikenakan sanksi 2% dari pengenaan pajaknya. Dalam RUU ini, sanksi akan diturunkan menjadi 1%.
Sementara, RUU ini akan memberikan sanksi administrasi bagi pengusaha yang tidak melaporkan usahanya melalui pengukuhan Perusahaan Kena Pajak (PKP). Ini bagaimana sanksi administrasi perpajakan didesain ulang agar kepatuhan pajak menjadi jauh lebih mudah dan lebih logis dibanding jika mereka membangkang.
RUU ini akan memberikan relaksasi terhadap hak untuk mengkreditkan pajak masukan. Hal itu bakal diberikan khususnya kepada PKP yang selama ini hasil produksinya tidak dibukukan sebagai objek pajak.
Artinya berbagai pajak masukan yang selama ini tidak bisa dikreditkan, dalam RUU ini sekarang bisa dikreditkan, diklaim untuk kurangi kewajiban pajak. RUU ini akan menempatkan seluruh fasilitas insentif perpajakan dalam satu bagian. Hal ini dilakukan agar seluruh fasilitas insentif perpajakan memiliki landasan hukum dalam satu peraturan. Dengan demikian, fasilitas insentif perpajakan akan jauh lebih konsisten.
RUU ini juga memuat poin yang isinya bakal mengukuhkan perusahaan digital internasional, seperti Amazon dan Google sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, mereka nantinya bisa menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% ke Indonesia.
Ini semua dilakukan supaya tidak ada penghindaran pajak, karena mereka tahu berapa jumlah volume kegiatan ekonominya.
Dalam RUU ini akan mengubah definisi Badan Usaha Tetap (BUT). BUT nantinya tak lagi didasarkan pada kehadiran fisik, melainkan significant economic presence (SEP). Perubahan definisi BUT ini dilakukan agar bisa memajaki perusahaan digital internasional yang tak memiliki BUT di Indonesia.
Presiden Joko Widodo sendiri meminta agar Kemenkeu mematangkan dulu RUU ini. Diperlukan juga konsultasi publik terhadap RUU ini sehingga naskah akademiknya bisa segera disampaikan kepada DPR. (E-1)