Pemerintah menjamin serapan batubara di dalam negeri melalui instrumen domestic market obligation (DMO) dalam lima tahun ke depan. Bukan itu saja, pemerintah bahkan baru saja menaikkan harga batubara acuan menjadi USD66,27 per ton, atau naik 22,27% dibandingkan dengan HBA Oktober 2019 sebesar USD64,8 per ton.
Itulah yang dikemukakan Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabinet Jokowi jilid II. Mantan Dubes RI untuk Jepang itu memang telah memiliki pengalaman di bidang energi.
Bagi pria lulusan ITB jurusan Teknik Kimia dan menduduki jabatan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Jepang pada 13 Maret 2017 ini, yang menjadi penekanan dirinya sebagai pengampu di sektor ESDM, salah satunya adalah komoditas batubara.
Di sektor ESDM, prioritas yang tak kalah penting adalah soal peningkatan DMO Batubara. "Kami perkirakan dalam 5 tahun ke depan DMO batubara akan meningkat karena kebutuhannya meningkat. Ini dilakukan dari skala besar dan skala kecil," jelas Arifin.
Sektor batubara merupakan salah satu kekayaan sumber daya alam Indonesia yang luar biasa. Saat ini meskipun harganya mulai naik di pasar spot internasional, terutama menjelang musim dingin di beberapa negara, dalam setahun belakangan ini harganya menunjukkan tren menurun
Kementerian ESDM sendiri baru saja menaikkan harga batubara acuan (HBA). Yang melatarbelakangi kenaikan HBA adalah proyeksi adanya peningkatan permintaan komoditas itu seiring dengan persiapan musim dingin di sejumlah negara.
Kenaikan HBA itu bagi produsen batubara tidak membuat mereka optimistis terhadap prospek komoditas itu. Bagi mereka, kenaikan harga itu lebih disebabkan lantaran karakteristik komoditas itu memiliki volatile yang tinggi. Harga batubara tidak bisa melesat terbang tinggi karena kondisi pasar yang masih kelebihan pasokan alias oversupply.
Faktor utama masih datang dari Tiongkok dan India. Perlu diketahui, kedua negara itu menjadi penentu harga batubara dunia karena impor mereka mencapai 30% pangsa pasar dunia
Tak dipungkiri, menjelang musim dingin, harga batubara cenderung mengalami tren kenaikan. Harga kontrak ICE Newcastle, pelabuhan batubara Australia yang selalu jadi patokan harga internasional, sejak awal pekan ini ditutup menguat 35 sen atau naik 0,52% ke level USD67,8 per ton pada perdagangan Kamis (15/11/2019).
Menjelang musim dingin yang jatuh pada akhir tahun hingga Februari tahun berikutnya, permintaan terhadap pemanas itu akan naik. Hal tersebut biasanya mendongkrak kebutuhan energi listrik. Salah satu bahan bakar pembangkit listrik adalah batubara.
Biasanya menjelang musim dingin, permintaan dan harga batubara juga ikut terdongkrak? Atau hanya menjadi pemanis atau kado Natal bagi produsen di akhir tahun?
Tak dipungkiri, batubara tetap menjadi bahan bakar utama pembangkit untuk pemanas bagi sejumlah negara. Apalagi, saat ini harga gas sebagai bahan bakar substitusi masih relatif mahal dan memberikan margin yang kecil ketimbang harga batubara.
Bagi negara yang banyak menggunakan pembangkitannya tentu lebih menguntungkan menggunakan batubara dan harganya lebih terjangkau dibandingkan gas di tengah kondisi ekonomi global yang sedang kurang kondusif. Harga gas di pasar internasional di kisaran USD5,4 – USD6,2 per juta Btu (British thermal unit).
Analis memprediksikan, impor batubara Tiongkok tahun ini sebesar lebih dari 300 juta ton. Artinya dalam dua bulan terakhir impor batubara Tiongkok berada di level 15 juta ton. Masih jauh lebih rendah dibanding impor batubara bulan-bulan sebelumnya yang mencapai lebih dari 20 juta ton.
Begitu juga dengan India, impor negara ini diprediksi mengalami penurunan. Mengutip data Refinitiv, impor batubara India pada Oktober turun menjadi 14,7 juta ton, atau turun 16,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Mengutip Reuters, porsi batubara untuk pembangkit listrik AS juga diperkirakan turun menjadi 25% tahun ini dan 22% pada 2020 dari sebelumnya 28% di 2018. Energy Information Agency (EIA) AS memprediksi bahwa konsumsi batubara untuk sektor pembangkit listrik tahun ini mencapai 558,3 juta ton, terendah sejak 1979 dan 488,9 juta ton pada 2020 terendah sejak 1978.
Itu artinya, kalaupun permintaan batu bara naik mungkin tak bisa banyak dan harga batubara akan cenderung datar atau mengalami kenaikan terbatas. Wajar saja, bila pemerintah berencana menyerap DMO batubara lebih besar lagi dalam lima tahun mendatang.
Indonesia sebagai pemilik 2% cadangan batubara dunia serta kekayaaan SDA lainnya memang tidak bisa lagi hanya mengandalkan ekspor tanah dan air saja. Oleh karena itu, pemerintah memproyeksikan produk dari komoditas itu hanya untuk kepentingan domestik pada 2045.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) menjalankan aturan terkait alokasi penjualan batubara untuk kepentingan domestik sebesar 25% pada 2018.
Berdasarkan data Ditjen Minerba, Kementerian ESDM, produksi batubara nasional dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun ini, proyeksi produksi batubara akan mencapai 530 juta ton, turun 5% dibandingkan dengan produksi 2018 sebesar 557 juta ton.
Dari total produksi itu, ekspor diharapkan bisa mencapai 402 juta ton. Proyeksi ekspor itu turun dibandingkan proyeksi ekspor 2018 yang mencapai sebesar 442 juta ton.
“Namun, realitasnya kinerja ekspor kita secara umum memang terbebani oleh kondisi ekonomi global yang melemah, terutama secara spesifik ekspor dua komoditas, minyak kelapa sawit dan batubara, yang terus mengalami kejatuhan,” ujar Kepala BPS Suharyanto, Selasa (15/10/2019).
Masih menurut Ditjen Minerba, Kementerian ESDM, kebutuhan dalam negeri tahun ini diperkirakan menyerap 128 juta ton. Pada 2018, DMO batubara mencapai 115 juta ton. DMO pada 2014 mencapai 76 juta ton, 95 juta ton (2015), 90 juta ton (2016), 97 juta ton (2017), 115 juta ton (2018) dan 128 pada 2019.
Apa saja strategi dari pemerintah untuk menyerap komoditas batubara dalam lima tahun ke depan? Seperti disampaikan Arifin Tasrif, Menteri ESDM, pemerintah akan lebih besar lagi menyerapnya untuk kepentingan pembangkitan listrik.
Tidak itu saja, produsen perlu mulai melakukan peningkatan produk bernilai tambah, seperti melalui gasifikasi dan produk syngas, yang kemudian bisa diwujudan dalam bentuk DME (Demethyl ether). Inilah yang perlu dilakukan semua pemangku kepentingan negeri ini dan itu butuh kerja keras, tidak lagi ekspor berupa tanah dan air saja. (F-1)