Presiden Jokowi geram ketika mengetahui 33 pabrik yang hengkang dari Cina, tidak satupun yang beralih ke Indonesia. Mereka lebih memilih Vietnam, Kamboja, dan Thailand, karena dianggap ramah investasi.
Peristiwa itu menjadi contoh getir, bahwa birokrasi Indonesia belum benar-benar berani bersaing. Salah satu sebab enggannya perusahaan asing itu masuk ke Indonesia, karena regulasi yang ruwet. Vietnam sebagai contoh, selain regulasinya mudah, juga menawarkan upah buruh yang ramah. Ditambah lagi produktivitas dalam pekerjaan juga dianggap lebih baik.
Vietnam, untuk beberapa poin di atas itu memang lebih unggul. Dan ini sungguh menghadirkan pertanyaan besar. Mengingat di masa lalu, mereka belajar banyak dari Indonesia. Sekarang Vietnam melakukan pembangunan besar-besaran. Membuat perbaikan di banyak sektor.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menemukan, ada 190 kasus investasi yang terhambat akibat sejumlah masalah. Akibatnya, rencana investasi sebesar Rp708 triliun dari 24 perusahaan berpotensi terhambat.
Sebanyak 32,6% dari hambatan itu disebabkan masalah perizinan, 17,3% masalah pengadaan lahan, dan 15,2% masalah regulasi. Khusus soal regulasi yang menghambat investasi, antara lain, mencakup izin khusus, sertifikasi, surat dirjen, hingga peraturan menteri.
Pemerintah pada tahun sebelumnya telah membuat peraturan baru untuk menyelesaikan persoalan itu, yakni dengan membuat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018, tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Melalui Online Single Submission (OSS).
Namun masalah itu tetap muncul. Peraturan itu tidak cukup kuat untuk menyelesaikan silang-sengkarut. Dari sana bisa ditarik kesimpulan, ada persoalan mendasar yang perlu segera diselesaikan secara menyeluruh.
Oleh sebab itu, diperlukan kerja keras dari hulu ke hilir dari seluruh stakeholder yang ada. Apalagi BKPM menargetkan investasi asing langsung ke Indonesia mencapai Rp805 triliun pada tahun depan.
Sejumlah strategi telah disiapkan guna merealisasikan target tersebut. Pertama, mempercepat perizinan di daerah.
Izin-izin terutama rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR) akan dipercepat. Selain itu, pemerintah akan menginventarisasi dan merevisi regulasi di daerah yang dianggap menghambat investasi. Dengan begitu, karpet merah siap digelar pemerintah untuk investor-investor besar.
Hingga kuartal III 2019, BKPM mencatat realisasi investasi langsung mencapai Rp205,7 triliun, naik 18,4% dibanding periode yang sama tahun lalu Rp173,8 triliun. Ini tentunya jadi kabar gembira. Meski, belum cukup menggairahkan.
Realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) naik 18,9% menjadi Rp100,7 triliun, sedangkan penanaman modal asing (PMA) naik 17,8% menjadi Rp105 triliun. Sementara itu, penyerapan tenaga kerja dari realisasi investasi mencapai 212.581 orang, terdiri dari PMDN mencapai 109.475 orang dan PMA mencapai 103.106 orang.
Data BKPM juga menunjukkan realisasi investasi mulai bergeser ke luar Jawa. Pertumbuhan investasi di luar Jawa tercatat lebih tinggi, yakni mencapai 23,5% dibanding pertumbuhan investasi di Jawa. Investasi hingga Rp700 triliun masih tertahan masuk dan terealisasi di Indonesia karena mayoritas masih terkendala di daerah.
Investasi Rp700 triliun belum terealisasi salah satunya karena urusan lahan di daerah kurang lebih Rp220 triliun. Kemudian urusan perizinan itu di daerah Rp100 triliun lebih. Sementara itu beberapa yang lainnya di pusat hampir Rp200-an triliun.
Yang kedua, pemerintah akan mengintensifkan sinkronisasi. Masalah yang sering terjadi di daerah itu utamanya karena tumpang tindih aturan. Hal itu perlu sinkronisasi. Oleh sebab itu pemerintah akan membuat keputusan strategis, baik untuk BKPM, maupun menyampaikan langsung ke kementerian terkait.
Tumpang tindih aturan yang ada memang cukup membingungkan bagi pengusaha. BKPM pun perlu terus berkoordinasi dengan kementerian teknis untuk memperbaiki aturan agar tidak mempersulit atau menghambat investor.
Misalnya hari ini keluar peraturan menteri, besok keluar lagi surat keputusan menteri. Hal itu yang membuat BKPM membutuhkan koordinasi dari kementerian terkait.
Ketiga, memperkuat dukungan dari aparatus hukum. Untuk mengawal kerja BKPM, Presiden Jokowi telah memerintahkan kejaksaan tinggi, kepala daerah, hingga kepolisian daerah untuk ikut mendukung realisasi investasi yang tertahan itu.
Selain memberikan dukungan untuk mempermudah masuknya investasi, aparatus hukum itu juga akan melakukan pengawalan. Sehingga investasi yang berjalan di daerah-daerah itu bisa berjalan dengan baik. Tidak boleh ada lagi hambatan yang dilakukan oleh oknum di lapangan.
Keempat, pemerintah akan menyelesaikan sejumlah aturan yang menghambat. Salah satunya, aturan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Kemudian, pemerintah juga akan merevisi puluhan Undang-Undang (UU) menggunakan skema Omnibus Law.
Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Karena peraturan yang tumpang-tindih itu hanya memungkinkan untuk dipangkas.
Pada dasarnya ada persoalan konflik antara penyelenggara pemerintahan, saat ingin melakukan inovasi atau kebijakan yang kemudian berbenturan dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga konsep omnibus law menjadi salah satu jalan keluar yang mungkin bisa diambil oleh pemerintah.
Yang kelima, pemerintah daerah diharuskan memetakan potensi wilayahnya masing-masing. Tujuannya untuk memudahkan investor dalam menentukan rencana investasinya. Pemetaan potensi wilayah selama ini baru dilakukan di wilayah Sumatra dan Jawa.
Sedangkan, wilayah seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua masih belum memiliki pemetaan potensi wilayah. Saat ini, lanjut Bahlil, rencana investasi asing senilai Rp701,1 triliun belum dapat direalisasikan. Penyebabnya berbagai macam, mulai dari perizinan, perpajakan, hingga pengadaan lahan.
Investasi tersebut berasal dari 21 proyek. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 proyek dengan nilai Rp480,6 triliun tengah difasilitasi oleh BKPM. Sisanya merupakan 4 mega proyek senilai Rp226,5 triliun. Secara rinci, investasi asing senilai Rp264,3 triliun menghadapi kendala lahan.
Kemudian, investasi asing senilai Rp21,3 triliun terkendala regulasi daerah. Investasi tersebut berada di Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Adapun investasi senilai Rp190,2 triliun terkendala rekomendasi dan izin teknis di sejumlah daerah. Kemudian, Rp1,6 triliun terkendala pada business-to-business Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rp3,3 triliun terkendala isu lainnya, dan Rp226,5 triliun terkendala insentif fiskal.
Persoalan yang rumit itu perlahan mulai dipetakan dan dicarikan jalan keluar. Indonesia telah berbenah untuk menerima masuknya investor di masa mendatang. Kasus pindahnya puluhan perusahaan asing dari Tiongkok dan menghindari Indonesia sebagai tujuan investasi, merupakan pukulan telak yang tak boleh terulang lagi. (E-1)