Indonesia.go.id - Menggenjot Pertumbuhan Hingga Dua Digit

Menggenjot Pertumbuhan Hingga Dua Digit

  • Administrator
  • Selasa, 26 November 2019 | 02:11 WIB
EKSPOR FURNITUR
  Pekerja membongkar muat rotan untuk kebutuhan bahan baku industri mebel di Desa Tibang, Banda Aceh, Aceh, Rabu (16/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Perusahaan-perusahaan asal Tiongkok beramai-ramai melirik Indonesia untuk mengembangkan industri furniture. Ketersediaan kayu dan rotan menjadi modal utama Indonesia untuk menarik minat investor. Apalagi tenaga kerja terampil yang tersedia juga sangat banyak. Targetnya, pertumbuhan ekspor sampai dua digit.

Industri furniture sepertinya masih menarik perhatian. Apalagi Indonesia dikenal memiliki sumber bahan baku dengan kualitas sangat bagus. Selain itu, ketersediaan tenaga kerja terampil juga menjadi pertimbangan tersendiri.

Secara umum, industri furnitur di Indonesia terbagi atas dua klaster. Pertama, industri furnitur berbasis kayu. Klaster ini terpusat di Pulau Jawa, termasuk Jepara dan Sukabumi, serta di Pulau Bali. Kedua, industri furnitur berbasis rotan yang terutama berkembang di Cirebon.  Sementara itu, bahan baku rotan banyak dihasilkan di Pulau Kalimantan dan Sumatra.

Pengusaha furnitur asal Tingkok, misalnya, banyak yang melirik potensi besar yang dimiliki Indonesia ini. Beberapa waktu lalu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan sebanyak 200 pengusaha kayu dan produk kayu asal Shandong, Tiongkok, berencana untuk membangun bisnis di Batang, Jawa Tengah.

Ini berdasarkan hasil pertemuan dengan pimpinan Asosiasi Pengusaha Kayu Shandong di Kedutaan Besar Indonesia di Beijing, Rabu, 20 November 2019 lalu. Pertemuan itu merupakan kelanjutan dari kunjungan para pengusaha kayu Shandong ke Indonesia, bulan lalu. “Mereka menyatakan sedang membidik Batang, Jawa Tengah, sebagai destinasi investasi di bidang perkayuan dan furnitur,” kata Anggota Komite Investasi Bidang Komunikasi dan Informasi Rizal Calvary Marimbo di Beijing.

BKPM sendiri berkomitmen akan membantu investor yang berminat masuk ke Indonesia. Tujuannya, percepatan realisasi investasi. BKPM akan membantu dari sejak awal investor menyampaikan minat hingga penyelesaian kendala di lapangan.

Sebetulnya selain Indonesia, para pengusaha furnitur asal Tingkok tersebut juga tertarik berinvestasi di Vietnam atau Kamboja. Bahkan Pemerintah Vietnam dan Kamboja memberikan dukungan berupa penyediaan lahan. Berbeda dengan Indonesia yang harus disiapkan sendiri lahannya.

Namun demikian, pertimbangan kualitas kayu ikut menentukan pilihan investor. Kualitas kayu di Indonesia jauh lebih bagus dibanding Kamboja atau Vietnam.

Bukan hanya di Batang, Jawa Tengah. Pengusaha Tiongkok itu juga mempertimbangan wilayah lain di Indonesia untuk membangun usahanya. Para pengusaha asal Shandong mempertimbangkan untuk membangun bisnis di Kalimantan Timur. Sebab, harga lahan di Kalimantan Timur jauh lebih murah dibandingkan Jawa Tengah. Selain itu, Kalimantan Timur memiliki kayu hutan yang melimpah.

Hanya saja, Jawa Tengah unggul di ketersediaan sumber daya manusia dan infrastruktur penunjang lainnya. Dalam jangka panjang, mulai dibicarakan para pengusaha asal Tiongkok itu akan membangun kawasan furnitur di Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua.

Memang, dunia masih membutuhkan pasokan produk mebel terutama berbahan baku kayu dan rotan dari Indonesia. Untuk meningkatkan target ekspor hingga mampu tumbuh sampai dua digit diperlukan investasi besar-besaran di Indonesia untuk membantu mengeksplorasi ketersediaan sumber daya yang ada.

Tiongkok sendiri merupakan pasar yang sangat menyukai produk furnitur asal Indonesia. Terutama yang berbahan baku rotan. Tiongkok sendiri tidak memiliki bahan baku rotan untuk industri furniturnya. Sementara itu, Indonesia merupakan penghasil 80% rotan dunia sebagai bahan baku dengan daerah penghasil rotan yang tersebar di beberapa pulau, seperti Sulawesi, Sumatra, dan Kalimantan. Indonesia juga memiliki 312 spesies rotan yang bisa dimanfaatkan dalam industri furnitur.

Kehadiran investor asing ini memang diperlukan, untuk meningkatkan potensi furniture Indonesia. Apabila tidak ada investasi baru, pertumbuhan ekspor furnitur Indonesia akan stagnan di level single digit atau sekitar 5% setiap tahun.

Sebetulnya tidak hanya investor asal Tiongkok yang tertarik menanamkan modal di Indonesia, tetapi juga investor asal Eropa dan Amerika Serikat. Nah, dengan makin kencangnya pemerintah menyiapkan infrastruktur, potensi daerah akan semakin dilirik investor asing dan domestik.

Kawasan Industri Kendal, menjadi salah satu kawasan yang menarik minat investor karena kawasan ini memiliki pelabuhan sendiri sehingga memudahkan pabrikan mengirimkan barang produksinya. Terlebih, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian juga membangun politeknik untuk menghasilkan tenaga kerja di industri mebel.

Kementerian Perindustrian mencatat, sepanjang 2018, kontribusi industri furnitur terhadap PDB industri nonmigas sebesar 1,36%. Di samping itu, pertumbuhan sektor industri furnitur di Indonesia memperlihatkan tren positif, di mana dari tahun ke tahun para pelaku usahanya semakin bertambah.

Berdasarkan data BPS pada 2017, tercatat sebanyak 1.918 unit usaha di skala menengah dan besar dengan menyerap tenaga kerja langsung hingga 200.000 orang.

Kinerja ekspor industri furnitur Indonesia dalam tiga tahun terakhir juga menunjukkan tren kenaikan. Pada 2016, nilai ekspornya sebesar USD1.60 miliar, naik menjadi USD1.63 miliar pada 2017. Sepanjang 2018, nilai ekspor produk furnitur nasional kembali mengalami kenaikan hingga USD1.69 miliar atau naik 4% secara tahunan. (E-1)