Indonesia.go.id - Progres RCEP, Keluarnya India, dan Peluang Indonesia

Progres RCEP, Keluarnya India, dan Peluang Indonesia

  • Administrator
  • Selasa, 26 November 2019 | 20:30 WIB
KERJA SAMA MULTILATERAL
  Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) berfoto bersama dengan sejumlah kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara peserta KTT ke-3 Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) di Bangkok, Thailand, Senin (4/11/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Kebijakan proteksionis yang pernah dilakukan India selama 30 tahun  setelah kemerdekaannya hanya menghasilkan pertumbuhan yang rendah. Bergabungnya India dalam kerja sama perekonomian di tahun 90-an sedikit banyak membawa perubahan yang berarti.

Perkembangan akhir-akhir ini tentang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) atau lebih mudahnya kerja sama negara-negara anggota ASEAN ditambah beberapa negara strategis di sekitar kawasan, telah memasuki tahapan yang menentukan. Sepuluh negara ASEAN ditambah Tiongkok, Australia, New Zealand, Jepang, dan Korea Selatan telah mencapai tahapan yang lebih maju lagi setelah melalui proses perundingan panjang. Tujuh tahun adalah perjalanan diplomasi perdagangan yang melelahkan.

Pernyataan bersama pemimpin negara pada RCEP Summit yang diselenggarakan pada 4 November 2019 menyatakan bahwa 15 negara yang berpartisipasi dalam kerja sama regional RCEP telah menyelesaikan negosiasi keseluruhan dari 20 kesepakatan yang dirundingkan. Di dalam kesepakatan itu membicarakan juga isu-isu terkait akses terhadap pasar yang dibuka oleh masing-masing negara. Persoalan penyelarasan berbagai peraturan juga harus dirampungkan sebelum persiapan penandatanganan perjanjian pada 2020.

Satu hal yang menjadi perhatian bersama adalah keputusan India untuk menarik diri dari proses kemajuan perjanjian perdagangan. Negara-negara peserta kerja sama RCEP memahami bahwa India mempunyai beberapa persoalan pelik terkait persoalan pasar dalam negeri dan risiko yang dihadapi jika melakukan pembukaan pasar. Negara-negara peserta kerja sama menyatakan siap bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dengan semangat saling menguntungkan. Terkait persoalan India, negara-negara RCEP meyakini bahwa keputusan final India akan sangat bergantung dari penyelesaian yang menguntungkan dari isu-isu yang muncul sebagai persoalan.

Kerja sama RCEP, jika dapat berjalan, operasionalnya akan menjadi salah satu kesepakatan perdagangan bebas terbesar yang ada selama ini. Besarannya meliputi 32,23 persen Produk Domestik Bruto global dengan melibatkan 3,5 miliar penduduk. Jumlah ini hampir separuh dari populasi global. Ekonomi yang berputar di RCEP diperkirakan bisa mencapai 29,1 persen perdagangan global atau sekitar sepertiga aliran investasi global.

Arsitektur Ekonomi Indo-Pacific

Hugo Seymour dan Jeffrey Wilson, peneliti ekonomi dari Perth USasia Centre (Australia) menulis di situs Observer Research Foundation tentang kerangka kerja sama RCEP yang sejak awal sebenarnya sangat memperhitungkan peran India. Sejak awal menurut mereka konsep kerja sama perdagangan antarnegara terbesar di dunia ini adalah konsep untuk mengintegrasikan dua kawasan perdagangan besar yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Jika kerja sama ini bisa berjalan, blok perdagangan raksasa ini mungkin baru pertama kalinya ada dalam sejarah.

Keluarnya India dari progres perundingan RCEP ini ditanggapi dengan kritis oleh VK Vijayakumar, pengamat Strategis Geojit Financial Services di situs Quartz India, pada 21 November lalu. Kekhawatiran India atas risiko melimpahnya produk-produk murah dari Tiongkok dan terutama kekhawatiran terhadap produksi industri olahan susu jika pasar mereka terganggu oleh melimpahnya produk dari Australia dan New Zealand memang memantik kekhawatiran dari petani dan pelaku usaha kecil di dalam negeri.

Persoalannya, menurut Vijayakumar, perdagangan internasional sebenarnya merupakan salah satu mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan proteksionis dan menutup diri yang pernah dilakukan India tiga puluh tahun setelah kemerdekaan hanya menghasilkan pertumbuhan yang rendah. Bergabungnya India dalam perekonomian di tahun 90-an sedikit banyak telah membawa perubahan yang berarti.

Sektor teknologi informasi dan farmasi adalah sektor-sektor yang menikmati keuntungan besar dari perdagangan bebas dan integrasi ekonomi global.

Bagi Vijayakumar, menarik diri dari RCEP, walapun masih membuka opsi untuk masuk kembali jika muncul perkembangan yang menguntungkan, hanya akan membawa India pada kemunduran. Isu yang sebenarnya terjadi di India, menurut Vijayakumar, adalah kondisi India yang kurang kompetitif. India masih mempunyai kesulitan yang besar untuk berkompetisi dengan harga dan kualitas produk-produk para pesaingnya di luar. Banyak persoalan pengelolaan lahan dan tenaga kerja yang seharusnya bisa dilakukan perubahan secara struktural.

Problem dalam Negeri India

India, seperti juga negara-negara yang lain memiliki masalah tersendiri dengan defisit perdagangan terhadap negara-negara yang tergabung di dalam RCEP. Defisit itu naik dari tujuh miliar dollar di tahun 2004 menjadi 105 miliar dollar di tahun 2019. 

Kekhawatiran semakin muncul ketika jumlah defisit itu bagian terbesar adalah defisit perdagangan dengan Tiongkok. Nilai defisitnya mencapai 54 miliar dollar. Tentu ini adalah tantangan terberat bagi India.

Vijayakumar memandang, seharusnya India bisa melakukukan negosiasi yang lebih kuat. Terutama dengan Tiongkok. Daya saing komoditas industri farmasi dan komoditas teknologi informasi adalah kekuatan yang masih dimiliki India. Saat India berada di luar tentu India harus menempuh berbagai negosiasi perdagangan dengan negara-negara lain untuk memastikan terbukanya pasar yang berbeda. Tentu saja ini adalah kesulitan yang berbeda lagi. Dalam bahasa Vijayakumar, penarikan diri India dari RCEP bagaikan berenang melawan arus. Langkah itu hanya akan merugikan perekonomian India.

Peluang Indonesia

Indonesia sebagai salah satu negara raksasa yang menjadi motor RCEP sebenarnya sudah bisa menarik manfaat yang besar jika RCEP berjalan ke depan. Catatan ekspor terakhir menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir ekspor Indonesia bisa tumbuh sebesar 2,77% ke negara-negara anggota RCEP. Tahun 2018, dari seluruh total ekspor Indonesia 63,8% adalah ekspor ke negara-negara anggota RCEP.

Satu hal yang bisa menjadi ketidakpastian yang muncul atas keluarnya India adalah persoalan ekspor CPO Indonesia. Pasalnya perkembangan terakhir negara-negara tujuan ekspor CPO di Eropa belakangan ini mengkampanyekan isu proteksi terhadap sawit yang diproduksi Indonesia. Jika India tidak bersama-sama dalam RCEP tentu memerlukan lebih banyak usaha untuk memasarkan di luar kesepakatan blok perdagangan.

Pasar komoditas industri farmasi adalah pasar besar yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Infrastruktur bagi pengembangan industri farmasi yang maju di Indonesia sebenarnya telah cukup berkembang sejak zaman Hindia Belanda. Persoalan salah kelola dan salah menentukan prioritas bisa jadi adalah salah satu hal yang membuat pengembangan industri farmasi di Indonesia belum menjadi komoditas unggulan yang akan menjadi salah satu kekuatan utama di perdagangan global. (Y-1)