Indonesia.go.id - Bisnis Digital Pun Menanti Lahirnya Omnibus Law

Bisnis Digital Pun Menanti Lahirnya Omnibus Law

  • Administrator
  • Kamis, 12 Desember 2019 | 01:06 WIB
KEBIJAKAN EKONOMI
  Ilustrasi Ekonomi Digital. Foto: Int/Ilustrasi

Bisnis berbasis digital sangat menjanjikan, dan menjawab tantangan di masa depan.

Bakar duit. Istilah ini beberapa waktu ini lagi ngetren. Benar, istilah itu ngetren setelah Bos Lippo Grup Mochtar Riady melontarkan pernyataan bahwa dirinya menyerah atau angkat tangan dengan menjual sebagian sahamnya di OVO.

Apa pasal bakar duit dan apa itu OVO? Bakar duit adalah istilah yang banyak dilakukan startup agar usahanya yang berbasis teknologi bisa meraih konsumen sebanyak-banyaknya dengan jor-joran memberikan diskon kepada konsumen barunya.

Itulah yang dilakukan oleh OVO, sebuah aplikasi pembayaran berbasis digital yang dibesut oleh Grup Lippo. Di tengah menjamurnya bisnis alat pembayaran berbasis digital, cara membakar duit adalah salah satu alat untuk meraih customer base.

Jeritan itu diungkapkan Pendiri sekaligus Chairman Grup Lippo Mochtar Riady. Dirinya mengaku telah menjual sebagian saham OVO yang dikendalikan oleh PT Visionet International, anak usaha di bawah kendali Grup Lippo.

“Kami [Lippo] sudah nggak kuat lagi bakar duit melalui praktik diskon jor-joran. Kami menjual sebagian saham. Sekarang kita tinggal sekitar 30-an persen atau satu pertiga. Jadi dua pertiga kita jual," ujar Mochtar, dalam acara Indonesia Digital Conference (IDC), Kamis (28/11/2019),

Mochtar menjelaskan Lippo tak kuat lagi mendanai OVO yang terus membakar uang demi promosi. "Terus bakar uang, bagaimana kita kuat?" tutur Mochtar gundah.

Disebut-sebut, Grup Lippo berniat hengkang karena tak kuat memasok dana untuk mendukung aksi bakar uang dengan layanan gratis, diskon, dan cashback. Dalam dua tahun terakhir OVO disebut agresif bakar uang investor. Grup itu disebut-sebut tiap bulan menghabiskan USD50 juta, atau setara Rp700 miliar untuk kepentingan tersebut.

Cerita soal bakar duit itu sudah sesuatu yang mahfum dilakukan di dunia digital, atau tepatnya startup. Pengakuan yang sama juga pernah diungkapkan Presiden Direktur SoftBank Masayoshi Son. Son mengakui kalau investasinya di perusahaan startup ada yang gagal. Salah satunya adalah WeWork.

Son mengatakan, biaya yang ditelan mencapai USD4,6 miliar untuk WeWork dan ia menyalahkan atas keputusannya yang buruk. "Ada masalah dengan penilaian saya sendiri, itu sesuatu yang harus saya renungkan," kata Son mengutip Bloomberg, Rabu (6/11/2019).

Softbank, investor pembiayaan asal Jepang, memang bisnisnya bukan hanya investor utama Grab, penyedia aplikasi berbagi kendaraan. Mereka pernah melewati kisah yang hampir sama jauh sebelum di WeWork. Namun, harus diakui bisnis di era digital membutuhkan dana yang kuat.

Bila tidak kuat dari sisi pendanaanya, janganlah meniru bisnis startup melalui skema bakar duit, yang identik demi mengakuisisi pelanggan atau pengguna sebanyak-banyaknya. Bila skala usaha kelas kecil, berhentilah menggunakan pola bakar duit.

Sebagai bisnis yang baru tumbuh dan menjamur. Harus diakui, bisnis berbasis digital sangat menjanjikan, dan menjawab tantangan di masa depan. Bayangkan, negara ini tercatat sebagai negara dengan tingkat populasi terbesar ketiga di dunia. Dari total populasi, sekitar 130 juta penduduknya sangat aktif sebagai pengguna sosial media.

Menurut data yang dirilis McKensey and Company, ekonomi Indonesia akan terdongkrak sebesar 10% melalui aktivitas digital pada 2025. Melalui pendekatan teknologi digital, negara ini berpeluang menciptakan lapangan pekerjaan baru sebanyak 3,7 juta orang, termasuk dari skema job matching dan permintaan tenaga kerja melalui platform berbasis online.

Peta digital Indonesia tumbuh dengan cepat dalam beberapa tahun ini, yang ditopang oleh naiknya penggunaan big data dan mobile Internet telah mendongkrak platform layanan berbasis digital. Bonus demografi dan penetrasi pengguna mobile Internet yang besar inilah yang dilihat sebagai peluang bisnis ekonomi digital tersebut.

Wajar saja, besarnya kue bisnis termasuk pemainnya yang menjamur dilihat oleh pemerintah sebagai objek pajak yang potensial di tengah-tengah melemahnya penerimaan pajak untuk pembiayaan negara.

Sistem Elektronik

Belum lama ini, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan merilis aturan kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce. Beleid itu tertuang di Peraturan Menkeu 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

PMK 2010/PMK.010/2018 itu mengatur Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan atas perdagangan barang dan jasa melalui sistem elektronik (e-commerce), baik berupa online retail, classified ads, daily deals, atau media sosial.

Selain itu, PMK itu kembali diperkuat lagi dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019. Regulasi ini mengatur soal perdagangan melalui sistem elektronik atau disebut dengan PP PMSE.

Seperti diakui oleh Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, penerbitan PP No. 80 Tahun 2019 tentang PMSE bertujuan membuka basis perpajakan. Kendati demikian, DJP masih ragu mengimplementasikan beberapa poin dalam pasal tersebut. 

"Jadi ke depan, basis baru akan muncul ketika kita menerapkan PP e-commerce ini. Kedua, mengenai e-commerce ini bagaimana kita memajaki [perusahaan luar negeri] dengan memajaki penghasilannya di Indonesia," tutur Suryo di kantor pusat DJP, Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Seperti diketahui, dalam pasal 7 PP Nomor 80/2019 tertulis setiap PMSE asal luar negeri wajib menujuk perwakilan yang berkedudukan di wilayah hukum NKRI yang dapat bertindak sebagai dan atas nama pelaku usaha yang dimaksud.

Artinya, bagi pelaku ekonomi digital asal luar negeri wajib hukumnya untuk memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang dipergunakan subjek pajak luar negeri. Adapun mekanisme perpajakan diatur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara itu, Kemenkeu berencana juga akan meredefinisikan kembali mengenai BUT. Di mana BUT tidak hanya didefinisikan lewat bagaimana kantor cabang perusahaan luar negeri bisa hadir tanpa ada kantor fisik.

Sayangnya Ditjen Pajak belum mempunyai keputusan final bagaimana mengatur soal organisasi BUT itu, apalagi pemerintah tengah menyiapkan Omnibus Law perpajakan.

Bagi pelaku usaha, mereka diharapkan bisa menaati setiap regulasi, termasuk melalui payung Omnibus Law tersebut. Harapannya, payung hukum itu bisa menjawab tantangan ekonomi nasional tahun depan yang semakin menantang dan penuh onak, dan pelaku usaha nasional tetap mampu survive di tengah gelombang tersebut. (F-1)