Indonesia.go.id - Diolah Agar Menjadi Duit

Diolah Agar Menjadi Duit

  • Administrator
  • Kamis, 12 Desember 2019 | 00:36 WIB
SAMPAH
  Tempat Pembuangan Akhir Sampah di Kecamatan Puuwatu, Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (11/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Jojon

Penanganan sampah merupakan buah kebijakan yang tertata dan konsisten. Selain, perubahan budaya masyarakat. Perangkat hukum yang pas harus disertai kesadaran masyarakat agar proses pengolahan sampah menjadi lebih baik.

Sampah memang selalu menjadi masalah pelik. Ini bukan saja mengenai limbah yang harus ditangani. Tetapi pada intinya berkenaan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat. Mengelola sampah, sejatinya bukan hanya menangani gunungan limbah masyarakat. Tetapi yang sangat penting melibatkan semua unsur masyarakat untuk ikut menangani.

Di Jawa Timur baru-baru ini, misalnya, muncul isu tentang telur ayam yang terpapar racun akibat pembakaran sampah plastik yang digunakan sebagai bahan bakar industri. Kondisi ini menyebabkan kandungan telur menjadi beracun. Jika tidak ditangani serius, sampah plastik menjadi sumber malapetaka besar. Sebab zat yang terkandung di dalam plastik, tidak mudah terurai di dalam tanah.

Di Indonesia, kebijakan pengelolaan sampah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Perpres ini kemudian menjadi cetak biru bagi perjalanan menuju Indonesia Bersih Sampah 2025 yang melahirkan kebijakan dan strategi nasional (Jakstranas). Target besarnya, sampah berkurang hingga 30 persen dan melakukan pengelolaan 70 persen sampah pada 2025.

Jakstranas ini juga yang menjadi pedoman bagi pemerintah daerah merumuskan turunannya untuk masing-masing provinsi dan/atau kabupaten/kota. Surabaya menjadi salah satu contoh kota yang terdepan soal inovasi membudidayakan sampah.

Pemerintah Kota Surabaya di bawah arahan Wali Kota Tri Rismaharini membangun 28 Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) dengan fasilitas pengolahan sampah dalam rangka memangkas ongkos pembuangan sampah ke TPA.Dalam operasionalnya, Pemkot Surabaya melibatkan kontraktor yang diikat selama 20 tahun.

Di sisi lain, sampah yang pada akhirnya terkumpul di TPA juga dimanfaatkan. Surabaya memang punya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang ada di Benowo. Fasilitas ini bisa menghasilkan energi 1-2 MW pada 2016 dan rencananya ditargetkan akan meningkat menjadi 11 MW tahun ini. Namun senjata utama Surabaya justru ada di keterlibatan masyarakat dalam mengelola kebersihan.

Dibangunnya sejumlah bank sampah di kelurahan, RT, dan RW diimbangi dengan edukasi ke masyarakat untuk memilah berdasar kategori, organik, dan anorganik. Dampaknya sendiri terbilang positif. Jumlah penduduk Kota Surabaya yang mencapai 3,07 juta jiwa hanya memproduksi 1.600 ton sampah sehari. ”Dengan jumlah sebesar itu, harusnya jumlah sampah berdasarkan rasio mencapai 2.600 ton per hari.

Budaya partisipatif dalam pengolahan sampah di Surabaya tidak lepas dari ekosistem yang dibuat di sana. Salah satu yang menarik adalah Suroboyo Bus, yaitu transportasi ramah lingkungan yang mensyaratkan pembayaran ongkos bus dengan sampah plastik. 

Tidak aneh kalau Kota Surabaya berhasil meraih Adipura Kencana, penghargaan tertinggi bagi kota yang berhasil dalam kebersihan dan pengelolaan lingkungan perkotaan selama minimal tiga tahun berturut-turut. Belum ada kota lain yang pernah mendapat penghargaan ini.

Sementara itu kalau mau melihat peluangnya, pemanfaatan sampah plastik juga masih terbuka sangat lebar. Berdasar data Inaplas 2017, ada 5,76 juta ton plastik yang dikonsumsi, 2,7 juta ton di antaranya adalah plastik sekali pakai yang seharusnya bisa langsung di daur ulang.

Sayangnya, baru sekitar 1,66 juta ton sampah plastik tersebut yang diolah kembali. Ini menyisakan sekitar 1,04 juta ton sampah plastik yang menumpuk di TPA ataupun belum diolah kembali. Tumpukan sampah ini bisa dipandang sebagai masalah, tapi juga bisa jadi potensi ekonomi ataupun energi jika mau dikelola dan diolah lebih baik lagi.

Contoh Negara Lain

Kita perlu mencontoh banyak negara yang telah berhasil mengelola limbah warganya. Jerman adalah negara dengan tingkat daur ulang sampah terbaik di dunia berdasar data dari Eunomia, yang dikutip oleh World Economic Forum.

Di Jerman, persentase sampah yang diolah kembali sudah di atas 50 persen. Sistem pengolahan dan pemilahan yang dilakukan Jerman sebenarnya sederhana. Hanya saja, sangat mendetail.

Kotak pembuangan sampah ‘warna-warni’ yang ada di sekitar daerah tempat tinggal, mendorong pemilahan dilakukan oleh tiap-tiap individu atau setidaknya dari rumah masing-masing. 

Kotak pembuangan ini punya pengkhususannya sendiri untuk tiap warnanya. Sementara khusus, untuk sampah botol plastik, di Jerman dikenal istilah ‘Pfandflaschen’. Secara harfiah istilah ini dapat diartikan sebagai pengembalian botol.

Minuman dalam botol plastik diperlakukan dengan sistem jaminan. Jadi setelah minumannya habis botol dikembalikan sebuah mesin deposit yang umum ditemukan di pasar swalayan dan nantinya konsumen akan mendapat kembali uang jaminannya. 

Jepang dan Korsel

Bergeser sedikit ke wilayah Asia, ada Jepang dan Korea Selatan, yang mulai menggalakkan upaya pengolahan dan daur ulang sampah. Dua negara Asia Timur ini sebelumnya cenderung abai soal pengolahan sampah dan sebenarnya baru benar-benar berbenah masalah sampah 10 tahun terakhir--bahkan kurang.

Namun berkat keseriusan dan upaya maksimal yang dikerahkan, hasilnya Korea Selatan sudah masuk lima besar negara dengan tingkat daur ulang terbaik di dunia. Baik Jepang maupun Korea Selatan memperkuat sisi pemilahan sampah dimulai dari rumah tangga. 

Di Negeri Gingseng, faktor regulasi, imbalan, dan sanksi sosial menjadi pendorong masyarakatnya rajin melakukan pengelolaan dan mengurangi sampah. Mengutip dari Waste4Change, abai dalam menerapkan pemilahan sampah bisa berdampak pada pemindahan paksa dari rumah tinggal.

Sementara itu Jepang memfokuskan pada sistem pemilahan sampah yang detail. Setiap rumah tangga di Jepang tidak bisa memasukkan semua sampah dalam satu wadah. Berdasarkan informasi dari The New York Times, bahkan setiap penduduk dibekali buklet 27 halaman yang menerangkan bagaimana seharusnya mereka memilah sampah, termasuk pembagian 518 jenis yang ada di sana. 

Khusus untuk sampah plastik, baik Jepang maupun Korea Selatan, mencoba membatasi penggunaan kantong plastik. Di Korea Selatan, per 1 Januari 2019 penggunaan plastik sekali pakai hanya diperbolehkan untuk membungkus daging dan ikan.

Sementara itu di Jepang mulai pertengahan tahun kemarin, otoritas lingkungan hidupnya melarang praktik penyediaan kantong plastik sekali pakai secara gratis. Rencananya mereka akan mengenakan biaya tidak lebih dari 10 yen (sekitar Rp1.300) untuk satu kantong plastik. 

Proporsi kantong plastik di antara sampah plastik tidak besar, tetapi pembayaran itu akan menjadi simbol upaya Jepang untuk mengurangi limbah tersebut.

Singapura, juga sebenarnya sudah memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik. Tingkat daur ulang di sana--juga berdasar data Eunomia--mencapai 61 persen untuk berbagai jenis sampah. Selain angka persentasenya besar, yang menarik dari sistem pengelolaan sampah di Singapura adalah partisipasi aktif dari pihak swasta. Berdasar informasi dari lembaga kelingkungan nasional Singapura, National Environment Agency, ada sejumlah perusahaan swasta yang ditunjuk sebagai public waste collectors (PWCs).

Mereka bertanggung jawab dalam proses pengumpulan sampah dalam periode tujuh sampai delapan tahun. Bicara soal teknologi, Singapura juga sudah mulai mengandalkan metode waste to energy setelah sebelumnya masih akrab dengan penumpukan atau landfill. Transisi ini dilakukan mengingat adanya keterbatasan lahan.

Pengolahan sampah menjadi energi ini secara khusus diberlakukan untuk sampah plastik. Setelah dikumpulkan sampah-sampah tersebut dibawa ke pabrik insinerator.

Proses pembakaran dengan metode ini dilakukan dengan suhu 1.000 derajat Celcius dan dilakukan selama 7 hari atau seminggu penuh.

Singapura, misalnya, menjual 80 persen dari energi listrik yang diproduksi, sementara 20 persen sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi di pabrik. Metode pengolahan sampah menjadi energi itu diklaim mampu mengurangi sampah hingga 90 persen dan menghasilkan energi listrik 150 MWh setiap harinya. (E-1)