Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md yang mendengungkan kembali perlu dibentuknya KKR sekembalinya dari kunjungan kerja ke Papua awal Desember 2019. Mahfud mengatakan, ada usulan dari tokoh Papua untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Berita ini terus menggelinding kencang. Sejumlah tokoh bereaksi dan media menjadi ramai. Mahfud menyebut pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan HAM masa lalu yang mandek. Rencana pembentukan KKR akan diatur lewat RUU yang segera disetor pemerintah ke DPR dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 yang akan disahkan 18 Desember 2019.
“Sudah belasan tahun reformasi, kami ingin menyelesaikan masalah HAM masa lalu. Setelah dipetakan, ada yang sudah diadili, ada yang tidak ditemukan objek maupun subjeknya, sehingga perlu dicari seperti apa sih kebenarannya, lalu rekonsiliasi," kata Mahfud di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu, 11 Desember 2019.
Mahfud mengatakan ada banyak pelanggaran HAM masa lalu yang sulit diungkap karena berbagai faktor, seperti tidak ada lagi saksi ataupun tidak mungkin untuk visum korban pelanggaran HAM masa lalu. Peristiwa-peristiwa masa lalu itu yang akan diselesaikan.
Rencana pembentukan kembali KKR mulai berhembus kembali beberapa waktu lalu. Pembentukan ini diyakini untuk mengungkap berbagai pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu melalui komisi tersebut.
Sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini belum tuntas diselesaikan, antara lain pembunuhan massal dan penghilangan orang medio 1965-1966, Tanjung Priok 1984, Aceh sejak 1976, penembakan misterius rentang waktu 1982-1985, Talangsari 1989, penghilangan aktivis dalam rentang 1996-1998, Tragedi Semanggi I dan Tragedi Semanggi II pada 1998, Tragedi Wasior dan Wamena pada 2000, hingga kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib pada 2004.
Mahfud mengaku, peta jalan atau roadmap terkait pembentukan KKR sudah ada. Pihaknya hanya perlu menindaklanjuti konsep yang sudah ada. Setelah masuk program legislasi, barulah konsep tersebut dibahas. Dalam pembahasannya nanti, KKR akan mengundang koalisi masyarakat sipil dan sejumlah elemen hingga keluarga korban. Langkah itu bertujuan untuk mencari penyelesaian masalah secara komprehensif.
"Semua akan kita dengar. Tetapi semua harus fair. Fair artinya terbuka. Jangan ngotot-ngotot. Sudah tidak bisa masih saja ngotot begitu. Intinya nanti kita lihat saja," tutur mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Sebelumnya Indonesia sudah punya Undang-Undang 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun sebelum UU ini dijalankan penuh, pada 2006 Mahkamah Konstitusi membatalkannya dalam sidang, karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Pembatalan UU KKR terekam dalam surat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 006/PUUIV/2006. Menurut putusan tersebut, pembatalan UU KKR dilakukan berdasarkan hasil uji materi terhadap sejumlah pasal yang termuat dalam produk legislasi tersebut.
Uji materi UU KKR dilayangkan pada 28 Maret 2006 oleh delapan orang yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan korban pelanggaran HAM masa lalu. Mereka adalah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Imparsial, Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru, dan korban penculikan aktivis serta korban peristiwa 65.
Mereka minta MK untuk menguji materi UU KKR terutama Pasal 1 ayat 9, Pasal 27, dan Pasal 44. Yang menurut mereka bertentangan dengan prinsip HAM universal.
Pada Pasal 1 Ayat 9, misalnya, UU itu dimungkinkan pelaku pelanggaran HAM berat memperoleh amnesti dari presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bunyi Pasal 1 Ayat 9 “Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pasal 27 yang berbunyi “kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”. Menurut Pasal 19, Subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Huruf b, bertugas memberikan pertimbangan hukum dalam pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 16 Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 terdiri atas: a. subkomisi penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi; dan c. subkomisi pertimbangan amnesti.
Ada pun Pasal 44 UU KKR menyebutkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad hoc.
Hasil gugatan materi pun tidak sekadar merevisi pasal demi pasal. Bahkan MK ketika itu membatalkan seluruh bagian materi UU KKR. Berikut adalah Amar putusan MK Nomor 006/PUUIV/2006 hasil uji materi undang-undang nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut:
- Mengabulkan Permohonan para Pemohon;
- Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
- Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Selain itu Mahkamah berpendapat Pasal 27 UU KKR menentukan bahwa kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 19, yaitu pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi, diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Penjelasan pasal tersebut menentukan bahwa, apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban sebagai ahli warisnya, pelaku pelanggaran HAM berat dapat mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden.
Apabila permohonan beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan korban diberikan kompensasi dan/atau rehabilitasi. Sedangkan apabila permohonan amnesti ditolak, kompensasi dan rehabilitasi tidak diberikan negara, dan perkaranya ditindaklanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan UU Pengadilan HAM.
Menurut MK, pengaturan ini mengandung kontradiksi antara satu bagian dengan bagian yang lain, terutama sekali antara bagian yang mengatur: (1) Pelaku telah mengakui kesalahan, kebenaran fakta dan menyatakan penyesalan serta kesediaan minta maaf kepada korban. (2) Pelaku dapat mengajukan Amnesti kepada Presiden. (3) Permohonan dapat diterima atau dapat ditolak. (4) Kompensasi dan atau rehabilitasi hanya diberikan jika amnesti dikabulkan Presiden. Dan (5) Jika amnesti ditolak, perkara diajukan ke Pengadilan HAM Ad hoc.
MK juga berpedapat terjadi pencampuradukan dan kontradiksi yang terdapat dalam Pasal 27 UU KKR adalah menyangkut tekanan yang melihat pada pelaku secara perorangan dalam individual criminal responsibility, padahal peristiwa pelanggaran HAM sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, baik pelaku maupun korban serta saksi-saksi lainnya sungguh-sungguh sudah tidak mudah ditemukan lagi. Rekonsiliasi antara pelaku dan korban yang dimaksud dalam undang-undang a quo menjadi hampir mustahil diwujudkan, jika dilakukan dengan pendekatan individual criminal responsibility. Mestinya dengan pendekatan demikian, yang digantungkan pada amnesti hanyalah restitusi, yang merupakan ganti rugi yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga.
Di pihak lain, jika tujuannya adalah rekonsiliasi, dengan pendekatan yang tidak bersifat individual, maka yang menjadi titik tolak adalah adanya pelanggaran HAM berat dan adanya korban yang menjadi ukuran untuk rekonsiliasi dengan memberikan kompensasi dan rehabilitasi. Kedua pendekatan tersebut, dalam hubungan dengan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi tidak dapat digantungkan pada satu pokok masalah yang tidak mempunyai keterkaitan. Karena, amnesti merupakan hak prerogatif presiden, yang pengabulan atau penolakannya tergantung kepada Presiden.
Fakta bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, yang sesungguhnya merupakan kewajiban negara untuk menghindari atau mencegahnya, dan timbulnya korban yang seharusnya HAM-nya dilindungi negara, telah cukup untuk melahirkan kewajiban hukum baik pada pihak negara maupun individu pelaku yang dapat diidentifikasi untuk memberikan restitusi, kompensasi, serta rehabilitasi kepada korban, tanpa persyaratan lain.
Penentuan adanya amnesti sebagai syarat, merupakan hal yang mengesampingkan perlindungan hukum dan keadilan yang dijamin oleh UUD 1945. Hal demikian juga merupakan praktik dan kebiasaan secara universal sebagaimana telah dimuat dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law And Serious Violations of International Humanitarian Law, yang menetapkan adanya adequate, effective, and prompt reparation for harm sufferred, yang dimaksudkan untuk memajukan keadilan dalam penanganan pelanggaran HAM berat, dengan memberikan reparation yang proporsional sesuai dengan bobot pelanggaran dan kerugian yang dialami. Hal demikian merupakan tafsiran yang digunakan untuk melihat Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (1), Ayat (4), dan Ayat (5), sehingga dengan alasan tersebut permohonan Pemohon mengenai Pasal 27 UU KKR cukup beralasan.
Pada Pasal 44 UU KKR berbunyi, ”Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad hoc.” Dari Penjelasan Umum UU KKR dapat disimpulkan bahwa tugas KKR adalah untuk mengungkap kebenaran serta menegakkan keadilan dan untuk membentuk budaya menghargai HAM guna mewujudkan rekonsiliasi untuk mencapai persatuan nasional, karena adanya pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM. KKR tidak menyangkut proses penuntutan hukum, tetapi mengatur proses pengungkapan kebenaran, pemberian restitusi, dan/atau rehabilitasi serta memberi pertimbangan amnesti. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah KKR merupakan substitusi atau pengganti pengadilan atau tidak.
Penjelasan umum juga secara tegas menentukan bahwa apabila pelanggaran HAM berat telah diputus oleh KKR, maka Pengadilan HAM Ad hoc tidak berwenang memutuskan, kecuali apabila permohonan amnesti ditolak oleh Presiden. Demikian juga sebaliknya jika Pengadilan HAM Ad hoc telah memutus, KKR tidak berwenang memutus. Meskipun dikatakan bahwa KKR hanya merupakan alternatif terhadap Pengadilan HAM dan bukan merupakan badan penegakan hukum, maka jelas bahwa dia merupakan satu mekanisme alternative dispute resolution, yang akan menyelesaikan satu perselisihan HAM secara amicable dan apabila berhasil akan menutup mekanisme penyelesaian secara hukum.
Walaupun dalil-dalil pemohon mengutip argumen dan prinsip HAM internasional yang menentang impunitas, penyelesaian pelanggaran HAM secara demikian telah diterima dalam praktik internasional, misalnya di Afrika Selatan, dan telah dikenal pula dalam hukum adat. Ketertutupan proses hukum melalui Pengadilan HAM Ad hoc apabila memperoleh penyelesaian di KKR adalah akibat yang logis dari satu mekanisme alternative dispute resolution sehingga tidak perlu dilihat sebagai pembenaran impunitas. Karena, pada umumnya, penyelesaian dengan mekanisme hukum terhadap pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, telah mengalami kesukaran dengan berlalunya jangka waktu yang lama yang menyebabkan hilangnya alat-alat bukti untuk dijadikan dasar pembuktian dalam pendekatan individual criminal responsibility.
KKR juga dengan pengaturan dalam UU KKR, bertujuan untuk menegakkan keadilan sejauh masih dimungkinkan dalam mekanisme penyelesaian secara alternatif. Oleh karenanya, Mahkamah berpendapat tidak terlihat dasar dan alasan konstitusional yang cukup untuk mengabulkannya, terutama karena ketentuan tersebut hanya berlaku untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM;
Pasal 1 Angka 9 UU KKR menetapkan bahwa ”Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pengertian pelanggaran HAM berat ditentukan dalam Pasal 1 Angka 4 UU KKR sebagai “pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana ditentukan UU Pengadilan HAM, yang dalam Pasal 7 menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat itu meliputi a. Kejahatan genosida, b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.”
UU Pengadilan HAM yang merujuk pada Statute of Rome On International Criminal Court mengkualifikasikan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan yang paling serius dalam komunitas internasional secara keseluruhan. Praktik internasional maupun General Comment Komisi HAM PBB umumnya berpendapat bahwa amnesti tidak diperkenankan dalam pelanggaran HAM berat. Dikatakan bahwa meskipun KKR dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi keberadaan perdamaian dan rekonsiliasi nasional, tapi perlu upaya yang menentukan batasan terhadap amnesti, yaitu pelaku tidak boleh diuntungkan oleh amnesti tersebut.
Amnesti seyogianya tidak mempunyai akibat hukum sepanjang menyangkut hak korban untuk memperoleh pemulihan (reparation), dan lagi pula amnesti tidak boleh diberikan kepada mereka yang melakukan pelanggaran hak asasi dan hukum humaniter internasional yang merupakan kejahatan, yang tidak meperbolehkan amnesti dan kekebalan bentuk lainnya.
Meskipun General Comment dan Laporan Sekjen PBB tersebut belum diterima sebagai hukum yang mengikat, tampaknya pengertian demikian merupakan muatan UUD 1945 yang mengatur tentang prinsip-prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia yang dimuat dalam Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk bebas dari penyiksaan, Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 yaitu hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, Pasal 28 Ayat (4) dan Ayat (5) UUD 1945 yaitu perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab negara. Akan tetapi Pasal 1 Angka 9 tersebut hanya merupakan pengertian atau definisi yang termuat dalam ketentuan umum, dan bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan berkait dengan pasal-pasal yang lain, sehingga permohonan Pemohon berkenaan dengan ketentuan tersebut dikesampingkan dan akan dipertimbangkan lebih lanjut bersamaan dengan pasal-pasal yang terkait dengan amnesti, sebagaimana akan diuraikan di bawah;
Oleh karena itu MK dengan menimbang bahwa semua fakta dan keadaan ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan. Dengan memperhatikan pertimbangan yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR,sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid).
Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.
Putusan MK ini sangat tidak diduga oleh banyak kalangan penggiat HAM. Awalnya mereka hanya ingin memperbaiki pasal-pasal yang merugikan, sehingga proses rekonsilisasi bisa dilaksanakan. Tapi keputusan pembatalan UU KKR, membuat upaya penyelesaian kasus masa lalu jadi berhenti. Karena tujuan mulia dibentuknya UU KKR sebenarnya ke arah truth telling (pengungkapan kebenaran) dan healing (penyembuhan) atas pelanggaran HAM masa lampau. Keberadaan KKR harusnya jadi jaminan terkuaknya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, serta mengobati luka keluarga korban pelanggaran HAM.
Inisiatif tentang dibentuknya KKR pertama kali muncul pada 2000. Kala itu, pembentukan KKR termasuk dalam upaya penyelesaian masalah masa lalu sebagai bagian dari agenda reformasi nasional. Kemudian, KKR mendapatkan legalisasi ketika MPR mengeluarkan Ketetapan Nomor V/MPR/2000 yang menugaskan Presiden dan DPR untuk melakukan mewujudkan UU KKR.
Tahun 2001, keluar UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Pasal 46 dari UU Otsus Papua menyatakan KKR dibentuk untuk "melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa" (ayat 1). Selain itu, juga dikatakan bahwa KKR bertugas "merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi" (ayat 2).
Juga pembentukan KKR pun diamanatkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 229 dari UU tersebut menjelaskan bahwa KKR bertugas mencari kebenaran atas pelanggaran HAM di Aceh. Dan sampai sekarang amanat ini tidak juga beranjak jauh.
Kini publik pun kembali menuntut agar presiden dan Menkopolhukam soal penyelesaian kasus HAM dapat direalisasikan. Menurut Mahfud, jika mau menuntaskan perkara HAM jangan diartikan harus sesuai dengan kehendak sekelompok. "Harus untuk kepentingan bangsa dan negara. Kalau diselesaikan ada yang tidak setuju, lalu dianggap tidak selesai, itu bukan hidup bernegara, [itu] cara preman kalau begitu," kata Mahfud.
Maka ia berencana menghidupkan lagi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), untuk cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia.
Kini, pemerintah tengah menyiapkan kembali Rancangan Undang Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang baru. RUU tersebut ditujukan untuk menuntaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu. Kasus pelanggaran HAM masa lalu telah dipetakan. Ada yang telah diselesaikan dan diadili. Tetapi ada pula kasus yang belum rampung dan menjadi perhatian. Oleh karena itu perlu dicari kebenaran dari kasus tersebut dan bagaimana proses rekonsiliasi.
"Kan subjek pelaku sudah tidak ada, saksi sudah tidak ada, bagaimana misalnya kalau diminta visum atas korban tahun 1984? siapa yang mau visum?" jelas Mahfud.
Mengenai proses pengadilan, Mahfud bilang tidak semua akan melalui sistem pengadilan. Kasus HAM yang bersifat yudisial akan diselesaikan melalui sistem pengadilan. Namun, hingga saat ini belum ditentukan mana yang akan masuk dalam kasus yudisial. Mahfud sebelumnya bilang hingga saat ini masih ada 12 pelanggaran HAM masa lalu yang menunggu diselesaikan. (E-2)