Indonesia.go.id - Lima Pendekar Pilihan Presiden

Lima Pendekar Pilihan Presiden

  • Administrator
  • Minggu, 22 Desember 2019 | 01:49 WIB
DEWAS KPK
  Dewan Pegawas KPK periode 2019-2023 (dari kiri) Syamsuddin Haris, Harjono, Artidjo Alkostar, Tumpak Hatorangan Panggabean dan Albertina Ho saat upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Lima penggiat antikorupsi dipilih presiden untuk menjadi Dewan Pengawas KPK. Dari integritasnya seolah sudah jadi jaminan mereka bakal bekerja serius demi mendorong pemberantasan korupsi.

Presiden Joko Widodo resmi melantik lima anggota Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelantikan dilakukan di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Jumat 20 Desember 2019. Lima nama anggota Dewan Pengawas KPK yang dilantik Jokowi adalah Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Syamsuddin Haris, Harjono, dan Tumpak Hatorangan Panggabean. Dari lima anggota ini terpilih Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai ketua dewan.

Banyak pihak terhenyak, tak menduga kalau Presiden akan memilih nama-nama tersebut sebagai dewan pengawas KPK. Nama-nama itu seolah menjadi jaminan bahwa Presiden Joko Widodo bukan tengah melemahkan KPK, tapi sebaliknya. Presiden sangat serius melakukan upaya pemberantasan korupsi.

"Kita kan ingin menegakkan pemerintahan yang bersih dengan memperkuat KPK, sebagaimana pun tanpa pemerintahan bersih kita tidak bisa meningkatkan daya saing. Kita tidak bisa mengundang investor, kita tidak bisa melanjutkan pembangunan untuk Indonesia lebih baik," ujar Syamsudin Haris.

Sebelumnya banyak pihak meragukan bahwa akan dipiih Dewan Pengawas KPK yang alih-alih mendukung pemberantasan korupsi, sebaliknya mereka menduga Dewan Pengawas justru akan menghambat kerja KPK. Sehingga penolakan terhadap UU KPK hasil revisi mendapat penolakan yang massif.

Dewas KPK mempunyai tugas yang tidak ringan. Tugasnya, antara lain, tercantum dalam Pasal 37B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.  Pasal 37B menyebutkan, 1. Mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2. Memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. 3. Menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai KPK. 4. Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai KPK atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini. 5. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai KPK. 6. Melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai KPK secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Sekarang sepak terjang pemberantasan korupsi sedikit banyak sangat bergantung pada lima jawara penegak hukum ini. KPK akan bertindak lebih profesional karena sekarang ada pengawas etiknya. Berikut profil singkat kelima anggota Dewan Pengawas KPK tersebut:

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1577175951_antarafoto_pelantikan_dewas_kpk_201219_ak_2.jpg" />Anggota Dewan Pengawas KPK Artidjo Alkostar bersiap mengikuti upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

1. Artidjo Alkostar

Artidjo Alkostar mengawali karirnya sebagai pembela hukum di LBH Yogyakarta. Pria kelahiran Situbondo ini pernah menjadi hakim agung selama 18 tahun lebih. Sebelum menjadi hakim agung pada 2000, Artidjo berkarier sebagai advokat selama 28 tahun. Sebagai hakim agung, 19.708 berkas perkara pernah ia tangani. Atau rata-rata setiap tahunnya dia menangani 1.095 perkara. Selama menjabat Artidjo tak pernah mengambil cuti dan selalu menolak ketika diajak ke luar negeri.

Sebagai Hakim Agung, Artidjo Alkostar dikenal "galak" dalam memberikan hukuman kepada terdakwa kasus korupsi yang mengajukan kasasi. Dia kerap menambah hukuman bagi mereka yang justru berharap hukumannya dikurangi, bahkan dibebaskan. Artidjo mempunyai alasan dia sering memutuskan untuk memperberat hukuman koruptor.

Artidjo menjelaskan, penegakan kebenaran dan keadilan sesuai fakta yang obyektif dan meluruskan penerapan pasal-pasal yang relevan sesuai kasus, menjadi alasan hukuman terhadap koruptor yang mengajukan kasasi justru dinaikkan. Penambahan lama maupun jumlah hukuman pengaju kasasi, menurut Artidjo, dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku.

Artidjo juga menjelaskan perbedaan substansial dalam isi Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) meskipun sekilas hampir sama. Dua pasal itu bisa membuat perbedaan hukuman terhadap terdakwa. Pasal 3 itu kualifikasinya, unsurnya, setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, menguntungkan diri sendiri, juga merugikan keuangan negara.

Dia tercatat memiliki total harta Rp181 juta. Jumlah tersebut merupakan harta yang dilaporkan Artidjo ke KPK pada 29 Maret 2018. Dia tercatat memiliki dua bidang tanah di Sleman senilai Rp76 juta. Artidjo juga memiliki satu unit motor Honda Astrea tahun 1978 senilai Rp1 juta dan mobil Chevrolet tahun 2004 senilai Rp40 juta. Dia juga tercatat memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp4 juta serta kas dan setara kas senilai Rp60 juta.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1577176132_antarafoto_pelantikan_dewas_kpk_201219_ak_7.jpg" />Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho bersiap mengikuti upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

2. Albertina Ho

Albertina Ho sudah lebih dari 15 tahun menjadi hakim agung. Ia lahir di Maluku Tenggara pada 1 Januari 1960. Albertina merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Ia masuk Fakultas Hukum UGM pada 1979, dan meraih gelar Magister Hukum di Universitas Jenderal Soedirman pada 2004. Ia menjadi PNS Hakim di Yogyakarta setelah lulus S1. Selama 15 tahun ia berpindah dari satu pengadilan ke pengadilan lain di Jawa Tengah. Pada 2005-2008, Albertina ditempatkan di Mahkamah Agung sebagai Asisten Koordinator Tim B I.

Albertina Ho adalah hakim yang mengadili kasus mantan PNS Ditjen Pajak Gayus Tambunan. Albertina Ho dikenal sebagai hakim yang tegas dan sangat percaya diri. Bahkan, untuk pertama kali, jaksa Cirus Sinaga dan Fadel Regan diseret ke pengadilan untuk menjadi saksi tambahan dalam perkara mafia hukum. Albertina memangku jabatan terakhir sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Kupang.

Albertina Ho  tercatat melaporkan harta kekayaannya ke KPK pada 4 April 2019. Dalam LHKPN tersebut, Albertina Ho memiliki total harta Rp1,1 miliar. Jumlah tersebut terdiri dari tiga bidang tanah dan bangunan di Yogyakarta hingga Tangerang senilai Rp1 miliar. Dia juga tercatat memiliki satu motor serta dua unit mobil senilai Rp171 juta, harta bergerak lainnya senilai Rp4,1 juta serta kas dan setara kas senilai Rp894 juta. Albertina tercatat memiliki utang senilai Rp900 juta.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1577176264_antarafoto_pelantikan_dewas_kpk_201219_ak_5.jpg" />Anggota Dewan Pengawas KPK Syamsuddin Haris bersiap mengikuti upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

3. Syamsuddin Haris

Syamsudin Haris merupakan peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia merupakan professor riset bidang perkembangan politik Indonesia dan doktor ilmu politik, serta menjabat sebagai Kepala P2P LIPI. Syamsuddin lahir di Bima, NTB, pada 9 Oktober 1957. Syamsuddin juga dosen pada Program Pasca-Sarjana Ilmu Politik pada FISIP Unas dan Program-sarjana Komunikasi pada FISIP UI dan aktif dalam Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).

Ia masuk sebagai peneliti pada Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI pada 1985. Sejak itu, Syamsuddin memfokuskan dirinya pada masalah pemilu, parlemen, otonomi daerah, dan demokratisasi di Indonesia. Syamsuddin termasuk  yang menolak revisi UU KPK dengan menandatangani penolakan bersama teman-temannya di LIPI.

Sampai saat ini belum ada laporan harta kekayaan Syamsudin di KPK. Mungkin karena dia bukan pejabat negara sehingga tidak wajib punya laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LKHPN).

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1577176370_antarafoto_pelantikan_dewas_kpk_201219_ak_4.jpg" />Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean bersiap mengikuti upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

4. Tumpak Hatorangan Panggabean

Tumpak Hatorangan Panggabean sudah teruji sebagai pendekar antikorupsi. Ia pernah  ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Ketua KPK menggantikan Antasari Azhar pada 2009 hingga 2010. Tumpak lahir pada 29 juli 1943 di Sanggau, Kalimantan Barat. Ia merupakan lulusan hukum Universitas Tanjungpura Pontianak. Ia lalu melanjutkan kariernya di Kejaksaan Agung meliputi Kajari Pangkalan Bun (1991-1993), Asintel Kejati Sulteng (1993-1994), Kajari Dili (1994-1995).

Tumpak juga pernah menjabat sebagai Kasubdit Pengamanan Ideologi dan Politik pada JAM Intelijen (1996-1997), Kajati Sulawesi selatan (2000-2001). Selanjutnya, pada 2003, Tumpak diusulkan oleh Jaksa Agung RI untuk bertugas di KPK. Setelah menjabat sebagai salah satu Pimpinan KPK, Tumpak sempat menjabat Komisaris PT Pos Indonesia, dan Komisaris Utama Pelindo II.

Tumpak tercatat memiliki harta Rp9,9 miliar. Jumlah tersebut merupakan yang terdapat dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang disetorkan Tumpak ke KPK pada 10 Maret 2019.  Berdasarkan LHKPN, Tumpak memiliki dua unit tanah dan bangunan di Jakarta Timur dengan nilai Rp3 miliar. Tumpak juga tercatat memiliki mobil Pajero Sport seharga Rp500 juta. Selain itu, Tumpak memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp203 juta serta kas dan setara senilai Rp6,2 miliar.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1577176492_antarafoto_pelantikan_dewas_kpk_201219_ak_3.jpg" />Anggota Dewan Pengawas KPK Harjono bersiap mengikuti upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

5. Harjono

Harjono adalah mantan Hakim Mahkamah Konstitusi. Ia lahir pada 31 Maret 1948 di Nganjuk, Jawa Timur. Harjono merupakan alumni Fakultas Hukum di Universitas Airlangga, Surabaya. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjananya, ia melanjutkan kuliah di bidang hukum di Southern Methodist University, Dallas, Texas, AS dan mendapatkan gelar Master of Comparative Law (MCL). Harjono kemudian menjadi dosen paska sarjana di UNAIR dan beberapa universitas di Malang dan Yogyakarta.

Pada 1999, Harjono menjadi anggota MPR melalui PDI-P. Pada 2003, anggota PAH I BP MPR dari PDI-P mengajukan Harjono sebagai Hakim Konstitusi melalui jalur DPR dan disambut Presiden Megawati yang mencalonkan dirinya sebagai hakim konstitusi untuk periode 2003-2008. Ia terpilih kembali menjadi hakim konstitusi periode 2008-2013 melalui jalur DPR. Pada 12 Juni 2017, Harjono dilantik sebagai anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum.

Harjono tercatat melaporkan LHKPN pada 23 Februari 2019. Berdasarkan LHKPN yang dilaporkannya ke KPK, Harjono memiliki harta total Rp13,8 miliar. Harta tersebut terdiri dari sepuluh bidang tanah dan bangunan senilai Rp6,3 miliar yang tersebar di Nganjuk hingga Surabaya. Harjono juga tercatat memiliki 4 unit mobil senilai Rp433 juta dan harta bergerak lainnya senilai Rp75 juta. Harjono juga memiliki kas dan setara kas senilai Rp7 miliar. (E-2)