Badan Pusat Statistik (BPS) kembali meliris neraca dagang di November 2019 dan kembali bangsa ini mencatat neraca dagang defisit sebesar USD1,31 miliar. Laporan lembaga itu juga menyebutkan komoditas yang menyumbang defisit itu adalah dari impor buah-buahan.
Impor itu bukan jenis buah yang tidak ada di negeri ini, realitasnya buah impor itu adalah apel dan jeruk, buah-buahan yang juga ada dan tumbuh di negeri tropis ini, buah lokal tidak kalah dengan buah impor itu. Impor buah-buahan itu menyumbang nilai impor konsumsi yang cukup tinggi selama November.
Seperti disampaikan Kepala BPS Suhariyanto, komoditas impor yang meningkat paling banyak di November 2019, yakni berasal dari Tiongkok terutama buah-buahan. “Barang konsumsi yang paling banyak diimpor adalah buah-buahan asal Tiongkok,” ujarnya, pada Senin (16/12/2019).
BPS juga melaporkan nilai impor konsumsi pada November 2019 naik cukup tinggi berdasarkan penggunaan barang. Impor barang konsumsi mencapai sebesar USD1,67 miliar, atau naik 16,13% dibanding Oktober, dan 16,28% secara tahunan.
Dari impor barang konsumsi itu, Kepala BPS menyebutkan, impor komoditas buah-buahan pada November 2019 mencapai USD134,4 juta. Nilai tersebut naik 48,84% dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Bahkan, nilai itu naik 109,35% jika dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Terlepas dari impor barang konsumsi terutama buah-buahan yang naik selama November, kenaikan impor itu merupakan bukti bahwa pasar negara ini sangat besar sekali. Tak dipungkiri, buah impor itu sangat menarik dan cantik. Wajar saja, konsumen lebih tertarik dengan buah impor tersebut.
Namun, persoalannya adalah negara ini juga sangat kaya terhadap produk holtikutura, tak kalah dengan buah-buahan dari impor itu. Kenapa apel atau jeruk lokal kalah bersaing dengan buah impor itu?
Dalam pelbagai kesempatan ketika melakukan kunjungan ke Belanda beberapa waktu lalu, saya pun mendapatkan sejumlah buah-buahan seperti mangga, buah kelapa yang berasal negara tropis. Setelah ditanya kepada penjualnya, jawaban mereka buah-buahan itu berasal dari Thailand. Saya pun juga menemukan buah asal Vietnam.
Melihat kondisi itu, saya sangat miris. “Di Indonesia, buah seperti itu tersedia banyak, seperti mangga. Kenapa harus dari Thailand?” teriak saya dalam hati. Tak dipungkiri, buah-buah itu masih terjaga kesegarannya, cantik, dan manis rasanya. Kenapa cita rasanya masih terjaga meskipun dijual di kawasan Eropa yang cukup jauh? “Bisa jadi mereka sudah memiliki metode khusus untuk pengiriman,” guman saya.
Sadar dengan keunggulannya, pemangku kepentingan di Kementerian Pertanian terutama di Ditjen Hortikultura Kementan pun terus berusaha mempromosikan produk hortikultura tersebut. Menurut data Kementan merujuk data dari BPS, subsektor pertanian memiliki peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia.
PDB sektor pertanian Triwulan II-2019 meningkat 5,41%. Pertumbuhan PDB tersebut lebih besar dari Triwulan II-2017 dan 2018 yang masing-masing sebesar 3% dan 5,01%.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2018 produksi buah-buahan mencapai 21,5 juta ton, sayuran 13 juta ton, tanaman hias 870 juta tangkai, dan tanaman obat mencapai 676.000 ton. Sementara itu, kinerja volume ekspor hortikultura pada 2018 mencapai 435.000 ton, naik 10,36% dibanding 2017 sebanyak 394.000 ton.
"Subsektor hortikultura menjadi penyumbang terbesar kedua untuk PDB sektor pertanian yakni 6,11%," jelas Dirjen Holtikultura Kementan Prihasto Setyanto.
Dongkrak Daya Saing
Dalam rangka itu, Kementan pun telah merumuskan arah pengembangan hortikultura dalam lima tahun ke depan, khususnya dalam hal peningkatan daya saing komoditas hortikultura. Mereka memiliki program yang dinamakan Gedor Horti, yang berarti gerakan mendorong produksi, daya saing, ramah lingkungan hortikultura.
Kementan berharap melalui Gedor Horti mampu meningkatkan persaingan di pasar internasional. Utamanya dalam menjaga kualitas dan standar mutu produk hortikultura yang berorientasi ekspor. "Kualitas merupakan hal yang paling penting bagi konsumen,” ujar Prihasto.
Tidak hanya sebatas program, pendanaan bagi petani hotikultura pun menjadi perhatian pemerintah. Kementerian itu berencana menggandeng perbankan agar petani bisa memperoleh pendanaan melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan suku bunga rendah, sehingga produktivitas petani naik selain produknya berdaya saing.
Meskipun sudah memberikan sumbangan ekspor, komoditas hortikultura masih banyak persoalan yang masih perlu dibenahi. Hal itu diakui Asisten Deputi Agribisnis Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Yuli Sri Wilanti dalam satu kesempatan di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Menurutnya, permintaan pasar internasional terhadap produk hortikultura saat ini cukup tinggi. Namun, hingga kini Indonesia belum bisa mengekspor komoditas tersebut karena keterbatasan pasokan. "Kebutuhan pasar luar negeri sangat terbuka luas (besar). Hanya saja kita belum bisa memenuhi kebutuhan itu," kata Yuli Kamis (3/10/2019).
Menurut Yuli, minimnya persediaan produk hortikultura yang dapat diekspor karena sejumlah masalah, baik dari hulu maupun hilir. Akan tetapi, titik pangkal ada pada soal regulasi dan kemauan pemerintah serta instansi terkait guna mengembangkan sektor yang masuk kategori pertanian ini.
Karena fakta di lapangan, petani atau pelaku usaha belum bisa memenuhi kouta untuk ekspor dan masih sebatas kebutuhan dalam negeri. "Kembali lagi, kita memang belum seiring sejalan. Artinya bicara ekspor kita harus ada investasi, itu juga banyak faktornya," ungkapnya.
Dia menerangkan, saat ini peluang dan kesempatan ekspor komoditas hortikultura sangat besar bagi Indonesia di tengah tingginya permintaan pasar luar negeri. Melihat kondisi itu, Yuli menyampaikan bahwa saat ini pemerintah sudah mulai mengidentifikasi apa saja penyebab Indonesia belum bisa mendongkrak ekspor produk hortikultura. Persoalan-persoalan ini sudah mulai dibahas dan dibicarakan bersama kementerian/lembaga, instasi terkait, dan lainnya.
"Kebutuhan pasar luar negeri sangat tebuka luas, hanya saja kita belum bisa memenuhi kebutuhan itu. Makanya ini menjadi prioritas yang paling utama, melihat dari keunggulan daya saing produk hortikultura yang punya nilai tambah sangat tinggi dibandingkan dengan produk lain," lanjutnya.
Di tengah-tengah persaingan global, produk holtikulura bisa menjadi produk unggulan ekspor karena negara ini kaya raya terhadap komoditas tersebut. Dan itu, harus dimulai dengan cinta terhadap buah-buahan lokal.
Bila serapan permintaan dalam negeri bagus dan diterima, baru go global. Artinya, peningkatan produksi tersebut harus diimbangi dengan penguatan sistem pemasarannya. Baik untuk memenuhi kebutuhan domestik, maupun untuk memperluas ceruk pasar ekspor. (F-1)