Indonesia.go.id - Optimistis Harga Tiket Lebih Kompetitif

Optimistis Harga Tiket Lebih Kompetitif

  • Administrator
  • Rabu, 25 Desember 2019 | 02:23 WIB
TRANSPORTASI UDARA
  Ribuan calon penumpang antre masuk ke dalam Terminal 1 B Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (24/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

Pengguna transportasi udara anjlok 18% di 2019. Pariwisata pun tertekan. Trend pariwisata Asia-Pasifik terus menguat dan mungkin meluber ke Indonesia. Penyesuaikan harga tiket menjadi isu penting.

Fenomena tahunan terlihat lagi. Arus perjalanan wisata keluarga kembali melonjak di akhir 2019. Bandar udara, stasiun, dan terminal-terminal bus, penuh dijejali penumpang. Mobil-mobil pribadi menyemut di semua ruas jalan tol. Ujungnya, hotel-hotel dan penginapan di berbagai tempat di tanah air, diserbu tamu. Tak semua tempat kebanjiran tamu dengan intensitas yang sama.

Di Kota Medan, arus tamu dikhawatirkan tak sekencang 2018. Sepekan sebelum Natal 2019, angka reservasi baru mencapai 50% dari jumlah kamar. Padahal tahun lalu sudah mencapai 80% pada H-7. Ada kekhawatiran tingkat hunian merosot. Tapi di Yogyakarta dipastikan okupasi mencapai 95-100% meski sejumlah hotel bintang 3, 4, dan 5 ada yang menaikkan tarifnya sampai 100 persen.

Hotel-hotel di Bandung pun diperkirakan tetap akan diserbu tetamu meski isu kemacetan di Tol Cipularang masih terus membayangi. Begitu halnya dengan Semarang. Kalangan PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran) Jawa Tengah yakin, hotel-hotel di Semarang akan fully booked. Bahkan, hotel di kota-kota menengah seperti Magelang dan Salatiga dilaporkan penuh.

Bali? Jangan ditanya. Tetap ramai, baik oleh wisatawan Nusantara maupun wisatawan mancanegara. Luapan arus wisatawan pada akhir 2019 ini tentu menjadi berita gembira untuk perkembangan ekonomi nasional, terutama untuk bisnis transportasi udara yang masih dililit tren negatif sedari awal tahun. Lonjakan harga tiket yang terjadi sejak Oktober 2018 setinggi 40–120 persen, secara signifikan menekan jumlah penumpang baik di dua bulan terakhir 2018 maupun  2019, baik penumpang domestik maupun wisatawan asing (wisman).

Kenaikan harga tiket itu pula yang dianggap menjadi penyebab pencapaian target 16,5 juta wisman di tahun meleset ke sekitar 15,8 juta. Toh, tetap ada kenaikan 1,8 juta dari 2017. Target 18 juta wisman pada 2019 pun dipastikan luput, tapi tetap membukukan sekitar 16,5 juta, meningkat sekitar 800 ribu tamu dari 2018. Untuk penerbangan penumpang domestik, tekanan harga itu lebih terasa.

Dalam evaluasi akhir tahunnya, PT Angkasa Pura II mengakui bahwa jumlah penumpangnya pada 2019 anjlok 18 persen dibanding 2018, dari 112 juta ke 90,5 juta. Padahal, dalam tiga tahun sebelumnya jumlah penumpang selalu naik, yakni dari 96 juta di tahun 2016 ke 106 juta pada 2017, dan melesat ke 2.012 juta pada 2018.

PT Angkasa Pura II ini mengoperasikan 16 bandara, di antaranya adalah Bandar Udara Soekarno-Hatta, Bandara Halim Perdanakusumah, Bandara Hussein Sastranegara, serta  sejumlah bandara lain berkelas internasional di Palembang, Padang, Jambi, Batam, Pekanbaru, Medan (Kualanamu), Banda Aceh, dan beberapa lainnya. Penurunan terbesar dialami Bandara Soekarno-Hatta yang merupakan hub sentral dari bandara lainnya. Jumlah penumpang Bandara Soekarno-Hatta menciut 11 juta, dari sekitar 65 juta pada 2018 menjadi 55 juta pada 2019.

Kondisi serupa juga dialami PT Angkasa Pura I yang bermarkas di Kota Surabaya. Diperkirakan Angkasa Pura I juga mengalami kemerosotan di sekitar 18 persen pada 2019, dari jumlah penumpang 96,5 juta di tahun 2018. Angkasa Pura I ini juga mengoperasikan bandara-bandara internasional seperti Bandara Juanda di Surabaya, Adi Sucipto di Jogya, Ngurah Rai Denpasar, Hasanuddin di Makassar, dan beberapa lainnya. Ada 15 bandara yang berada di bawah manajemen PT Angkasa Pura I.

Sejumlah pelanggan pesawat terbang memilih mengalihkan moda transportasinya ke kereta api atau kapal laut. Hal ini diindikasikan dengan adanya kenaikan jumlah penumpang kereta api sampai 11% dan kapal laut sekitar 6 persen, setidaknya pada semester I tahun 2019. Meski begitu, kalangan perhotelan mengeluhkan turunnya okupansi mereka.

Menyusutnya jumlah penumpang pesawat terbang tak bisa dipungkiri berkorelasi langsung dengan tingkat hunian hotel. Ketua PHRI Hariyadi Sukamdani mengeluhkan proyeksi tingkat hunian hotel berbintang yang 52 persen pada 2019 kemungkinan tidak akan tercapai.

Memang, pada kelompok hotel bintang tiga ke atas di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Joga, Bali, tingkat huniannya dapat melampaui 63 persen. Toh, Ketua PHRI itu optimistis mematok target okupansi 55% pada 2020 bagi keseluruhan hotel bintang.

Sejumlah kalangan pelaku bisnis pariwisata yakin, bahwa setelah mengalami pelambatan di tahun 2019, arus wisman ke Indonesia akan rebound pada 2020. Mereka percaya bahwa kalangan pelaku bisnis penerbangan nasional akan menyesuaikan harga tiketnya dengan daya beli dalam negeri, dan menekan disparitas harga dari maskapai asing. Garuda Indonesia diharapkan akan menjadi lokomotif pengaturan kembali ke tingkat yang lebih kompetitif, meski tak harus ditarik ke tingkat pralonjakan harga 2018.

Potensi arus wisatawan asing juga belum mengendur. Pasifik Asia Travel Association (PATA) membuat proyeksi kenaikan wisatawan di angka 5,4% di tahun 2020. PATA memperkirakan beberapa negara Asia akan mengalami lonjakan seperti Vietnam, Laos, Malaysia, dan India. Vietnam sendiri diproyeksikan akan mencapai pertumbuhan wismannya sampai 14% tahun 2020. Dengan beberapa penyesuaikan kebijakan, bukan tak mungkin jika Indonesia juga tumbuh dua digit.

Meski masih dibayang-bayangi ketidakpastian ekonomi global, ada optimisme di kalangan pelaku usaha bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik pada 2020. Ini dikaitkan dengan upaya konsolidasi politik yang dilakukan pemerintah, yang mengindikasikan adanya stabilitas politik yang lebih baik. Investasi dan dunia industri akan membaiki kinerjanya. Walhasil, daya beli meningkat dan jumlah penumpang pesawat terbang kembali terkerek lalu dunia pariwisata kembali bergairah. (P-1)