Zulkifli Zaini akhirnya resmi ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Penunjukan Zulkifli itu mengakhiri hiruk-pikuk di media selama beberapa pekan terakhir ini, siapa yang ditunjuk Kementerian BUMN untuk menduduki orang nomor satu di perusahaan setrum milik negara.
Beberapa nama sempat mengemuka untuk menduduki kursi Dirut PLN. Sebut saja Rudiantara, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika. Bahkan, pria asal Bogor menjadi kandidat yang sangat kuat untuk menduduki kursi itu.
Tidak kurang Pramono Anung, Mensekneg, atau Luhut B Pandjaitan, Menko Maritim dan Investasi pun sudah menyebut Rudiantara dipastikan jadi Dirut PLN. Meski tanpa menyebut secara implisit mantan Menkominfo sebagai pimpinan perusahan setrum itu, Erick Thohir pun menyebut Rudiantara salah satunya. “Tunggu, RUPS PLN Senin (23/12/2019).”
Di tengah-tengah gegap-gempita pemberitaan soal pimpinan PLN, mantan Menkominfo Rudiantara ternyata sudah meninggalkan Indonesia untuk berlibur bersama keluarga ke Amerika Serikat.
Ternyata, benar yang ditunjuk adalah Zulkifli Zaini, mantan Dirut Bank Mandiri, bukan Rudiantara. Zulkifli, pria asal Bukit Tinggi bersama Amien Sunaryadi telah ditetapkan sebagai dirut dan komut PLN. Sebuah tugas yang tidak mudah dan ringan.
“Baik Pak Amien maupun Pak Zulkifli memiliki rekam jejak yang sangat baik, siap berkeringat dan berakhlak,” ujar Erick Tohir, menanggapi penunjukan keduanya di PLN.
Sejak ditunjuk sebagai Menteri BUMN, tiada hari tanpa pemberitaan dari Erick Tohir, terutama berkaitan soal BUMN. Harus diakui, tidak ringan tugasnya. Bayangkan, dari 142 BUMN di bawah kendalinya, hanya 15 perusahaan saja yang berkinerja positif.
Ke-15 perusahaan itu menyumbang 76% dari total pendapatan di sektor BUMN tersebut. Pernyataan kementerian itu tentu membuat kita miris. Kenapa bisa terjadi demikian, selama ini dibawa ke mana saja, di luar 15 perusahaan itu?
Apalagi bila kita berbicara soal perusahan yang berkelas dunia, atau masuk 500 versi Fortune Global. Tentu sebagai bagian bangsa berharap BUMN negara ada yang masuk 500 Fortune Global, tidak hanya PT Pertamina yang berada di peringkat 175 dari 500 perusahan dunia.
Harus diakui beban Erick membenahi manajemen BUMN tentu tidak ringan. Pasalnya, sektor BUMN merupakan salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia yang beraset hingga Rp8.000 triliun, dan berkontribusi penciptaan peluang kerja dan program sosial.
Tidak itu saja, BUMN telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perusahaan negara itu tidak saja menjadi faktor produksi, tapi juga menyediakan barang dan jasa.
Artinya keberadaan BUMN menjadi agen pembangunan nasional, berupa menggerakkan peluang bisnis, penyediakan lapangan kerja, dan keuntungan selain juga ada tanggung jawab sosialnya.
Kinerja BUMN
Bagaimana soal kinerjanya? Mengutip data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), bangsa ini patut bersyukur masih memiliki BUMN kinerja yang cukup bagus. Misalnya, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, BUMN yang berhasil meraih laba terbesar pada 2018.
Perusahaan pemerintah yang memiliki kode perdagangan (BBRI) di BEI tersebut mencatatkan laba bersih Rp32,35 triliun. Angka tersebut mengalahkan kinerja BUMN lainnya.
Adapun BUMN dengan keuntungan terbesar kedua adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebesar Rp25,02 triliun. Kemudian diikuti PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk di posisi ketiga dengan laba sebesar Rp18,03 triliun.
Dari total laba 10 BUMN dengan laba tersebar tersebut mencapai Rp124,94 triliun atau sekitar 90% dari total laba BUMN sebesar Rp 138,11 triliun pada 2018. Sebagai informasi, jumlah BUMN hingga akhir 2018 sebanyak 113 perusahaan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 100 perusahaan meraih laba.
Namun, tidak sedikit perusahaan pelat merah yang berkinerja merah. Sebut saja PLN yang memiliki utang hingga Rp394 triliun, Garuda (Rp12,6 triliun), Krakatau Steel (Rp35 triliun), BUMN karya (Rp169 triliun) dan banyak BUMN lainnya.
Dalam satu kesempatan, Menteri BUMN Erick Thohir mengaku dibuat pusing oleh beberapa BUMN sakit. Salah satu BUMN yang disorotinya adalah PT Industri Gelas atau PT Iglas.
Selain kinerjanya yang terus merugi, operasional perusahaan itu juga sudah kepayahan. Erick menyebut BUMN ini dengan ungkapan mati segan hidup tak mau. Mengutip laman resmi Kementerian BUMN, PT Iglas bergerak di bidang pembuatan kemasan gelas, khususnya botol.
Aset PT Iglas saat ini berada di bawah pengelolaan PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) atau PPA. Sepinya order membuat perusahaan itu terus mengalami keterpurukan dan pabriknya sudah tak lagi berproduksi sejak 2015.
Merujuk laporan PPA, pada tahun 2008, aset PT Iglas hanya Rp188,69 miliar, sedangkan utangnya mencapai Rp318,99 miliar. Perusahaan mencatatkan rugi sebesar Rp86,26 miliar. Kemudian pada 2017, asetnya susut menjadi Rp119,87 miliar, beban utang Rp1,09 triliun, ekuitas minus Rp977,46 miliar, pendapatan Rp824 juta, dan rugi bersih Rp55,45 miliar.
Erick pun tengah menunggu peraturan presiden (PP) mengenai perluasan hak Kementerian BUMN agar juga bisa melakukan merger ataupun melikuidasi perusahaan-perusahaan dengan kinerja yang kurang mentereng.
"Nanti kami menunggu PP yang bisa membuat peran Kementerian BUMN lebih besar, yaitu dengan merger ya kan atau likuidasi supaya kita bisa lebih efisien," ucap Erick.
Erick pun mengaku harus bersikap tegas dengan tidak membiarkan BUMN yang terus merugi dibiarkan. "Semua serba segan? Ya enggak. Itu enggak sehatlah, ngapain kita membohongi diri sendiri kepada sesuatu yang bukan ahlinya. Bahkan itu hanya kamuflase perusahaannya," ujarnya.
Berkaitan dengan rencana terhadap BUMN yang berkinerja buruk, Erick pun berkata, "Pemimpin terbaik yang bisa membuat keputusan tepat, termasuk tadi perusahan-perusahaan BUMN yang sudah tidak jelas bentuknya. Pegawai tidak gajian itu sama saja kejam lho. Apa kita mau menjadi pemimpin seperti itu? Kan enggak mau," jelas dia.
Tidak itu saja, Kementerian BUMN sudah menyusun rencana jangka panjang Salah satunya adalah menggugurkan rancangan pembentukan superholding yang digagas menteri terdahulu, dan menggantinya dengan konsep subholding.
"Superholding kita ubah konsepnya menjadi subholding atau unit usaha," ujar Erick Thohir dalam rapat bersama Komisi VI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, (2/12/ 2019).
Sebagai ilustrasi soal subholding, misalnya rencana penerapan subholding untuk sektor pelabuhan yang saat ini digarap PT Pelindo I hingga Pelindo IV. Dengan konsep yang dirancang teranyar ini, Erick menyatakan perseroan dimungkinkan tak lagi menerapkan pencabangan berdasarkan wilayahnya, melainkan fungsinya.
"Pelindo akan dipisahkan berdasarkan fungsinya. Misalnya ada yang menjadi pelabuhan peti kemas, ada yang curah air. Jangan sampai ada kanibal di tubuh perusahaan," ujarnya.
Rencana subholding ini juga memungkinkan kementerian menyinkronkan anak-anak usaha di sejumlah perusahaan induk BUMN. "Karena banyak BUMN dan anak BUMN itu overleaping dan akhirnya kontraproduktif. Bisnis model seperti ini harus diperbaiki.”
Menurutnya, jumlah perseroan yang menghasilkan untung terlampau minim, nasib jangka panjang dari sektor perusahaan pelat merah yang tercatat profit dipertanyakan. Erick Thohir pun memastikan kementeriannya segera menyusun strategi jangka panjang untuk mengantisipasi persoalan ini.
Tak dipungkiri, banyak tantangan yang siap menghadang rencana ekspansi BUMN ke pasar global. Tantangan itu antara lain, timpangnya pendapatan BUMN, banyaknya anak usaha BUMN yang memiliki banyak irisan usaha, struktur gemuk dan inefisiensi di tubuh BUMN, hingga me-review kembali aturan likuiditas BUMN.
Terlepas dari semua itu, Erick Tohir telah diberi mandat dan amanah dari Presiden. Semoga di bawah Erick Tohir, kinerja BUMN semakin moncer dan lebih banyak lagi yang masuk ke 500 Fortune Global, tidak hanya Pertamina. Langkah awalnya sudah sesuai harapan. (F-1)