Target investasi tahun 2019 dipatok Rp792 triliun dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA). Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia merasa yakin target ini bisa tercapai. ‘’InsyaAllah, target bisa terlampaui,’’ kata Bahlil kepada pers di sela-sela acara Open House Perayaan Natal 2019, di Rumah Dinas Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut B Panjaitan di Kompleks Widya Chandra, Jakarta, Rabu (25/12/2019).
Optimisme Bahlil cukup beralasan. Selama tiga kuartal Januari-September 2019, BKPM mencatat bahwa realisasi investasi telah mencapai Rp601 triliun atau 75,9% dari target. Jadi, rata-rata Rp200 triliun per kuartal. Tak heran bila Bahlil Lahadalia yakin, Rp200 triliun lainnya bisa diraih pada kuartal keempat. Setidaknya, sejak pelantikan kabinet baru 23 Oktober 2019, situasi politik sudah lebih stabil, aksi-aksi dan narasi antiasing meredup, sentimen negatif untuk investasi mereda.
Dari angka target investasi itu, porsi PMA ditetapkan lebih besar yakni Rp473,7 triliun dan PMDN Rp308,3 triliun. Pada akhir kuartal ketiga 2019, investasi PMDN telah menyentuh angka Rp283,5 triliun atau 92%, sedangkan porsi PMA baru tercapai Rp317,8 triliun (65,7%). Karena itulah stabilitas politik yang mulai terbangun bisa menjadi modal untuk percepatan arus investasi PMA.
Angka target Rp792 triliun itu sendiri merupakan hasil kenaikan 10% dihitung dari realisasi investasi 2018 yang membukukan hasil Rp720 triliun. Naik tipis 4 persen dari realisasi 2017. Target 2018 yang sebesar Rp766 triliun hanya tercapai 94%. Sementara itu, raihan investasi Rp692 triliun pada 2017 adalah hasil terbaik pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, karena terjadi lonjakan investasi yang cukup mengesankan, yaitu ada kenaikan 16,9 persen.
Bagi Pemerintahan Jokowi, investasi adalah isu penting. Dibebani oleh neraca transaksi berjalan yang berat, akibat kesenjangan ekspor terhadap impor, maka investasi menjadi elemen penting untuk bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pada sisi lain, konsumsi masyarakat masih akan terus menjadi faktor utama dalam menjaga pertumbuhan ekonomi nasional, karena volumenya yang amat besar.
Dalam lima tahun terakhir ini pertumbuhan konsumsi masyarakat hanya berkisar 4,95% - 5,05%. Survei Bank Indoesia yang dirilis pada awal Oktober lalu menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat naik tipis. Proporsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk konsumsi meningkat dari 68,6% menjadi 68,8%. Kenaikan proporsi konsumsi itu diduga berkaitan dengan susutnya rata-rata rasio pembayaran cicilan (utang) masyarakat dari 12,5% menjadi 11,6%.
Kenaikan tersebut tak terlalu signifikan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Maka, diperlukan lonjakan ekspor dan investasi. Namun, tak mudah mendorong ekspor dan investasi di tengah kondisi ekonomi global yang lunglai. Proyeksi Dana Moneter Iternasional (IMF) untuk pertumbuhan ekonomi global 2019 pun harus dikoreksi dua kali. Pada awal 2019 proyeksinya 3,8 persen lalu dikoreksi ke 3,6 persen di pertengahan tahun, dan belakangan dipastikan jadi 3 persen saja.
Perang dagang Amerika Serikat (AS)–Tiongkok disebut memperburuk kondisi perekonomian yang sudah lesu sejak 2013. IMF menyebut perang dagang itu berkontribusi sebesar 0,8 persen kepada merosotnya laju pertumbuhan ekonomi global. Itu pun berakibat kepada menyusutnya investasi global. Pada tahun 2014, FDI (Foreign Direct Invesmet) global terjungkal, susut sampai 27%. Sejak itu terus merosot. Pada tahun 2017, laju investasi global minus 20 persen dan tahun 2018 masih minus 13 persen. Kue FDI kini tinggal tersisa USD1,3 triliun yang diperebutkan oleh seluruh dunia.
NDi tengah persaingan yang sengit itu BKPM berburu investasi. Kawasan regional Asean termasuk yang menjadi tujuan bisnis dan investasi global. Namun, Indonesia juga harus bersaing dengan negara Asean lainnya untuk menjadi tuan rumah yang ramah bagi investasi. Tapi, sejauh ini Vietnam dianggap sebagai tuan rumah terbaik dan Filipina ada di peringkat kedua.
Tak heran bila beberapa tahun terakhir kedua negara bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Pada 2018 Vietnam tumbuh 7,1%, dan tahun 2019 diperkirakan 6,9%. Filipina di peringkat kedua dengan growth sekitar 5,5%. Indonesia ada di posisi ketiga dengan pertumbuhan di sekitar 5,05 persen. Berikutnya Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Meski global investment menciut dan global economic growth tertekan, toh ada saja peluang ekonomi yang bisa diperjuangkan. Maka, Ketua BKPM Bahlil Lahadalia optmistis bahwa investasi yang masuk ke Indonesia akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Syaratnya adalah ramah, mudah, cepat dan bisa diandalkan. Kuncinya adalah keberhasilan penyusunan omnibus law, penyederhanaan hukum investasi. Bila penyusunan omnibus law berjalan dengan baik, daya saing Indonesia meningkat.
Adalah Presiden Joko Widodo yang menyebutkan rencana tersebut dalam pidato pertamanya, seusai dilantik oleh MPR-RI, 20 Oktober lalu, di Ruang Sidang Paripurna Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Di situ, Presiden Jokowi menyampaikan ada puluhan UU yang mengatur masalah investasi dan tenaga kerja. Melalui proses omnibus law ini sederet UU itu akan disederhanakan menjadi dua buah kitab UU, yakni yang satu tentang investasi dan yang lain tentang ketenagakerjaan.
Bagi Bahlil, omnibus law itu mendesak. Sambil menunggu proses legislasi yang akan memakan waktu panjang itu, dalam jangka pendek Bahlil dituntut berlaku kreatif mengundang investor dari dalam dan luar negeri. Ia harus rajin berkoordinasi kanan-kiri agar tamu-tamu investornya terlayani secara prima. Bahlil menerima amanah berupa target investasi Rp886 triliun pada 2020. (P-1)